Debat pasangan Calon Presiden/Calon Wakil Presiden tahap pertama telah rampung. Setelah debat tahap pertama selesai, Komisi Pemilihan Umum melakukan evaluasi. Terutama menyangkut mekanisme pelaksanaan debat. Pada saat yang sama, sejumlah pihak memberikan masukan dan kritik terhadap debat yang mengangkat tema hukum, pemberantasan korupsi, hak asasi manusia, dan terorisme itu.
KPU menerima dan mendengar masukan dari berbagai pihak terkait jalannya debat tahap pertama, Kamis (17/1) lalu. Salah satu yang banyak dipersoalkan adalah pemberian kisi-kisi debat kepada pasangan calon. KPU memastikan pada debat tahap kedua, tidak ada lagi pemberian kisi-kisi. “Yang pasti abstraksi kisi-kisi soal tidak akan kami beritahukan kepada pasangan Calon Presiden dan Calon. Wakil Presiden,” ujar Komisioner KPU, Wahyu Setiawan kepada wartawan sesaat setelah menjadi pembicara dalam diskusi terkait evaluasi dan proyeksi debat paslon, Minggu, (20/1), di Jakarta.
Menurut Wahyu, evaluasi terhadap jalannya debat merupakan prosedur tetap yang selalu dijalankan KPU paska pelaksanaan acara berlangsung. Melalui evaluasi tersebut, KPU memutuskan untuk mengubah format dan mekanisme debat pasangan calon untuk tahap kedua.
Selain persoalan kisi-kisi debat, KPU menangkap ketidakpuasan publik terhadap jalannya debat yang sama sekali tidak menunjukkan pertukaran ide dan gagasan kedua pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Untuk itu KPU berencana akan akan mengatur format dan mekanisme debat tahap kedua yang bisa memungkinkan untuk pasangan calon lebih mengeksplorasi visi-misi dan programnya. “Agar memungkinkan bagi pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden menunjukkan performa, menunjukkan kapasitas terkait dengan penyampaian gagasan-gagasan besar yang tercantum dalam visi-misi program untuk memimpin Indoensia lima tahun,” ujar Wahyu.
KPU juga berencana meninjau ulang durasi setiap segmen yang diberikan kepada pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Durasi tiga menit yang diberikan untuk penyampaian visi-misi dan program kandidat dinilai sangatlah kurang. Untuk itu menurut Wahyu, terbuka kemungkinan bagi KPU untuk menambah durasi setiap segmen. Demikian juga tata panggung yang akan diperbaharui untuk menjaga kondusivitas jalannya debat.
Terkait kondusivitas, KPU mengakui suara pendukung pasangan calon yang kerap terdengar ketika kedua pasangan calon tengah menyampaikan visi-misi program dan juga ketika tanya jawab berlangsung sangat mengganggu publik pemilih yang menyaksikan jalannya debat melalui statsiun televisi. KPU selaku penyelenggara serta moderator yang mengarahkan jalannya proses debat telah beberapa kali mengingatkan pendukung pasangan calon untuk tidak bersuara sepanjang debat berlangsung. “Teknis panggung juga akan kita perbaharui karena rakyat merasa tidak nyaman dengan kegaduhan di tayangan itu,” terangnya.
KPU meyakini proses debat sangat berdampak terhadap keputusan bagi pemilih yang selasam ini belum menentukan pilihannya juga kepada pemilih yang masih ragu-ragu menentukan pilihan. Artinya kepentingan rakyat banyak sebagai pemilih sangat diperhatikan sepanjang debat berlangsung. Kehadiran pendukung pasangan calon semestinya tidak menganggu kepentingan pemilih untuk menyaksikan debat berlangsung.
Sementara untuk panelis, KPU sedang memikirkan untuk memberikan kesempatan kepada panelis menyampaikan pertanyaan spontan kepada pasangan calon sebagai upaya pendalaman terhadap jawaban-jawaban dari pertanyaan yang disampaikan oleh moderator. Hal ini juga merupakan bentuk komitmen KPU untuk menghadirkan debat yang lebih substansial, edukatif, serta menarik untuk ditonton.
Semua hasil evaluasi akan dikoordinasikan KPU dengan para pihak pasangan calon pada Senin, (21/1) pukul 16.00 WIB di kantor KPU dalam rapat koordinasi. Rencananya, model dan format terbaru yang telah disusun oleh KPU akan disampaikan disaat tersebut. “Setelah rapat koordinasi dengan para pihak kami sampaikan keputusan kita terkait format dan mekanisme debat”.
Wahyu juga menginformasikan hingga saat ini KPU telah mengantongi puluhan nama calon panelis yang akan bertugas menyusun daftar pertanyaan yang akan disampaikan. hingga saat ini belum ada kepastian tentang jumlah orang yang akan dijadikan panelis. Bila pada debat sebelumnya berjumlah enam orang, dapat saja di debat tahap kedua ini akan bertambah seiring dengan format dan mekanisme yang ditentukan. “Jadi jumlahnya bisa tergantung temanya,” tutup Wahyu.
Peneliti Perkumulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Fadli Ramdanil ditempat yang sama menyampaikan sejumlah rekomendasi terkait panelis debat. Menurut Fadli, Perludem merekomendasikan pada debat tahap berikutnya, panelis harus merupakan sosok yang netral dan imparsial yang berarti tak partisan dan tak punya jejak partisan ke peserta pemilu/parpol.
Perludem juga mendorong kehadiran panelis yang memliki latarbelakang akademisi atau unsur lembaga masyarakat sipil, serta menguasai bidang/tema debat. KPU hendaknya mengoptimalkan kemandirian dalam menentukan panelis. KPU tak perlu meminta atau menerima usulan nama dari para paslon. “Ini penting untuk menjaga kredibilitas dan netralitas panelis,” ujar Fadli.
Senada dengan rencana KPU, Fadli berharap KPU bisa mengoptimalkan peran panelis melalui segmen debat dengan mempersilahkan panelis bertanya langsung kepada tiap calon/Paslon sehingga bisa leluasa membahas kasus konkret terkiat tema debat sebagaimana format debat dalam penyelenggaraan Pilkada yang sudah-sudah.
Dari aspek teknis penyelengaraan, Perludem mendorong KPU menjelaskan bentuk penyelenggaraan debat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 277 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjelaskan debat Pasangan Calon melalui sejumlah ayat. Ayat (1), debat dilaksanakan 5 kali, yang dijelaskan pada bagian penjelasan undang-undang dengan rincian, 3 kali debat calon presiden (Capres), dan 2 kali debat calon wakil presiden (cawapres).
“Namun, KPU dalam publikasi resminya menyebut lima kali debat meliputi dua kali debat Paslon, dua kali debat Capres, dan satu kali debat Cawapres. Skema ini bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017,” tambah Fadli.
Reforma Agraria
KPU telah menjadwalkan debat tahap kedua pasangan calon akan diselenggarakan pada 17 Februari. Debat kali ini akan mengangkat topik mengenai Energi dan pangan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup dan Infrastruktur. Melihat topik ini, arah debat yang bisa diprediksi adalah pemaparan visi-misi dan program di bidang ekonomi. Kepala Departema Kampanye Konsrsioum Pembaruan Agraria (KPA), Benny Wijaya menilai ada hal yang tertinggal dari debat pertama dan mungkin kurang mendapat perhatian dari debat kedua yakni terkait agenda reformasi agrarian.
Benny mendorong, pembahasan mengenai reforma agraria harus menjadi landasan berfikir dari pasangan calon dalam memaparkan visi-misi dan program pada debat tahap kedua. Jika hal tersebut tidak dilaksankan, sukar kedepan untuk berharap banyak agar pemerintah manaruh perhatian lebih terhadap refroma agraria. Kenapa reforma agraria?
Topik mengenai energi dan pangan, kemudian sumber daya alam, lingkungan hidup dan infrastruktur adalah sejumlah topik yang jika ditarik lebih jauh berdampak langsung terhadap persoalan tanah. Sementara arus utama topik debat tahap kedua bukanlah berbicara mengenai tanah. Ada kekhawatiran, jika topik debat ini terlalu kental maka persoalan mendasar terkait tanah hanya menjadi subordinat dari topik-topik pembahasan dalam debat kedua. “Harusnya adil dulu baru sejahtera, bukan sejahtera baru kemudian adil,” ungkap Benny.
Hal ini ia sampaikan sebagai refleksi terhadap pola penanganan persoalan terkait agraria yang selama ini digunakan oleh pemerintah. KPA mencatat hingga saat ini dengan dalil pembangunan ekonomi, lebih dari 940 orang petani yang telah dikriminalisasi akibat mempertahankan hak mereka atas tanah yang oleh pemerintah dimasukkan dalam wilayah pembangunan.
Tidak hanya itu, menurut catatan KPA, Benny menyebutkan sepanjang periode sepuluh tahun terkahir, tedapat sekitar tiga ribuan letupan konflik agraria diseluruh Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh karena akar permasalahan sesungguhnya yang tidak diselesaikan oleh pemerintah. Program bagi-bagi sertifikat yang dilaksanakan oleh Presiden Joko Widodo oleh Benny dipandang bukan merupakan solusi dari persoalan ketidakadilan disektor agraria yang saat ini dirasakan oleh masyarakat. “Reformasi agraria tidak bisa diselesaikan dengan langkah sertifikasi tanah,” ujar Benny.
Gugus tugas reforma agraria yang telah dibentuk oleh Pemerintahpun dalam bekerja masih mengedepankan ego sektoral sehingga praktis persoalan terkait agraria menjadi pekerjaan rumah pemerintah dari tahun ke tahun. Terkait aturan, KPA mencatat sekitar 630 peraturan yang mengatur tentang agraria dan saling tumpeng tindih di sana-sini.
Secara khusus, Sekertaris Jenderal Aliansi Masayarakat Adat Nasional (AMAN), Rika Sombolinggi menyitir proses pembangunan yang membuka lahan yang tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adat. Menurut Rika hingga saat ini masyarakat adat sebagai pemilik sah dari tanah itu sendiri sama sekali tidak diperhatikan. Untuk itu Rika mendorong di debat tahap kedua mendatang harus dibahas pula terkait hak masyarakat adat.
“Kami menginginkan adanya penghormatan dan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat menjadi tanggung jawab presiden terpilih setelah ini. Ada 9,6 juta hektar wilayah adat harusnya bukan di sertifikasi tanahnya tapi harus diakui karena dengan sertifikat itu berbahaya buat keberlangsungan wilayah adat,” tegas Rika.
Sumber Daya Alam
Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah mengingatkan, topik-topik yang akan dibahas pada debat tahap kedua nantinya bersangkutan dengan pemangku kepentingan yang tidak sedikit. Ia mendorong KPU untuk mendengar dan melibatkan perwakilan pemangku kepentingan. Jika ingin menjawab persoalan terkait topik-topik yang dibahas, KPU seharusnya tidak hanya memperhatikan keinginan kandidat, tapi juga melibatkan para pemangku kepentingan.
PWYP mendorong pasangan calon untuk membahas lebih jauh sejumlah soal antara lain, terkait jerat korporasi pelaku tindak pidana korporasi (korupsi, pengemplang pajak, perusak hutan dan lingkungan serta pelaku pencucian uang); kriminalisasi terhadap pegiat HAM, aktivis lingkungan, dan aktivis antikorupsi; perkuat Komisi Pemberantasan Korupsi; pemberantasan mafia migas dan tambang, mafia hutan dan lingkungan; pengembangan sistem pencegahan korupsi yang integral sekaligus berintegritas; cegah konflik kepentingan dan state capture; tutup kebocoran pajak dan PNBP sektor Sumber Daya Alam; lakukan penegakan hukum sektor SDA melalui pendekatan multidoors.
Menurut Maryati, sejumlah isu tersebut seharusnya relevan dan sangat penting untuk diselesaikan oleh kedua kandidat capres-cawapres, utamanya sektor sumber daya alam (SDA) yang menjadi salah satu sektor strategis yang harus bersih dari korupsi dan pelanggaran HAM. Kedua kandidat sama sekali tidak menyinggung persoalan terkait kriminalisasi terhadap Pembela HAM, aktivis lingkungan, maupun aktivis dan akademisi anti korupsi.
Nasib aktivis seperti Salim Kancil dan Indra Pelani misalnya, yang ditemukan tewas. Budi Pego di Banyuwangi dan sejumlah warga Kendeng yang menolak aktivitas pertambangan berujung kriminalisasi. Atau, 723 kasus kriminalisasi pejuang lingkungan hidup sepanjang lima tahun terakhir yang dicatat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, luput dari perhatian pasangan calon.
Problem lainnya yang sangat mendasar dan menjadi musuh bangsa ini, yaitu state capture corruption, termasuk di isu SDA, tidak menjadi sorotan. Fakta korupsi di sektor SDA banyak melibatkan pejabat di berbagai level, mulai dari Menteri, anggota parlemen, Kepala SKK Migas, Gubernur, Bupati hingga ASN lain sepanjang rantai proses industri ekstraktif, menjadikan masa depan sektor SDA menjadi sangat buram.
Apalagi tipologi kejahatan SDA di Indonesia yang melibatkan mafia tambang, mafia migas, mafia hutan dan mafia lingkungan yang berkelindan dengan mafia birokrasi dan oligarki politik, tidak akan bisa diselesaikan dengan jargon-jargon. Mesti ada langkah kongkrit. Korupsi politik yang sempurna, struktural dan sistematis sangat sulit tersentuh penegakan hukum, harus disentuh oleh kedua pasangan calon.
Isu penegakan hukum kontemporer seperti tindak pidana korporasi, pencucian uang, kejahatan perpajakan, penguatan KPK, konflik kepentingan sektor SDA, sepertinya masih belum (tidak) menjadi fokus dari kedua kandidat, baik dalam debat kandidat perdana, termasuk dokumen visi misi kandidat yang diserahkan ke KPU.
PWYP Indonesia mengusulkan sejumlah isu yang hendaknya dapat dielaborasi oleh kedua paslon pada debat kedua yaitu ketahanan energi yang meliputi akses, pemerataan, harga dan infrastruktur; tata kelola SDA meliputi perizinan, tata lahan dan hutan, hak-hak masyarakat dan isu hilirisasi; rente bisnis dan korupsi; adaptasi dan mitigasi perubahan iklim; serta diversifikasi ekonomi dan percepatan transisi energi menuju energi terbarukan. “Jadi saya kira itu masukan saya,” tutup Maryati.
Sumber: Hukum Online