Untuk diberitakan pada 14 Oktober 2018 (Pukul. 16.00 WIB) dan setelahnya.

Rangkaian pertemuan tahunan IMF-World Bank telah usai digelar dalam minggu ini. Selama pertemuan berlangsung, kurang lebih terdapat 8 isu yang menjadi topik bahasan utama, antara lain mengenai ekonomi digital, urbanisasi, pembangunan manusia, pembiayaan risiko bencana, perubahan iklim, infrastruktur, keuangan internasional, serta keuangan syariah. Topik-topik tersebut selain dibahas melalui pertemuan negara-negara anggota, juga dibahas dalam diskusi dan seminarseminar yang berlangsung selama 7 hari ini di kawasan terpadu Nusa Dua, Bali.

Dari pertemuan tingkat dunia tersebut, terdapat beberapa kesepakatan utama dan komitmen yang dianggap bermanfaat bagi perekonomian Indonesia. Di antaranya adalah di bidang ekonomi dan keuangan digital (financial technology–fintech) melalui kesepakatan 12 Bali Fintech Principles; pengembangan sumber daya manusia (Human Capital Project) di mana Indonesia akan menjadi pelopor–sebagai bagian dari menyukseskan tujuan pembangunan berkelanjutan; bantuan bagi penanganan korban dan pemulihan dampak bencana alam di Palu dan Lombok; serta kerja sama peningkatan ekonomi digital dan beberapa komitmen investasi terutama di bidang infrastruktur yang sebagian besar bekerja sama dengan BUMN. Indonesia juga akan bekerja sama dengan bank sentral Singapura terkait swap and repo guna mempertebal bantalan cadangan devisa. Di samping itu, Indonesia juga memperoleh kesempatan untuk melakukan pengenalan dan mempopulerkan untuk pertama kalinya instrumen keuangan syariah berupa Green Sukuk yang juga diklaim sebagai bentuk komitmen pada ekonomi hijau.

Dalam rangkaian pertemuan tersebut, dunia juga diingatkan oleh penanganan dampak perang dagang yang harus dikendalikan dengan baik, dampak pemanasan global, risiko bencana alam, risiko hutang serta ancaman gizi buruk yang memperparah kualitas pembangunan manusia dan penanggulangan kemiskinan di semua negara-negara di Dunia. Lebih lanjut dunia diingatkan akan dampak pertumbuhan ekonomi global yang harus ditangani dengan hati-hati, khususnya akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang juga berdampak pada negara-negara emerging market, termasuk Indonesia. Termasuk dampak kebijakan The FED dalam penaikan suku bunga yang dapat melemahkan nilai tukar mata uang negara-negara lain di dunia. Christine Lagarde – Managing Director IMF menyatakan “Apakah ekonomi cukup kuat? Saya jawab, tidak. Jelas kami lihat, pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun ini 3,7%.’” Kata dia di BICC-Bali, tiga hari lalu, sebagaimana dikutip oleh Kompas.

Maryati Abdullah, Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, yang juga sedang menghadiri pertemuan di Bali tersebut menekankan pentingnya Pemerintah Indonesia untuk menjaga ketahanan dan kelentingan ekonomi dan fiskal dari risiko-risiko perubahan global tersebut, terutama saat dunia dihadapkan pada tantangan risiko bencana dan pemanasan global saat ini. “Pemerintah harus dapat mengendalikan defisit fiskal khususnya dari impor minyak mentah dan BBM, agar tidak semakin memperbesar minus neraca perdagangan dan memperburuk nilai tukar rupiah. Jika menaikkan harga BBM bukan merupakan pilihan tepat saat ini-karna khawatir terjadi penurunan daya beli, maka Pemerintah harus mengawasi penyaluran BBM bersubsidi dan menjalankan strategi transisi dari ekonomi berbasis energi fosil ke energi yang rendah karbon, inilah saatnya untuk mempercepat kebijakan yang mendukung energi terbarukan, sebagaimana disebut-sebut dalam pidato Presiden Jokowi pada Pertemuan IMF/WB dua hari lalu” tuturnya.

Sementara itu, Dadang Tri Sasongko, Sekjen Transparency International Indonesia (TII) menghimbau dalam menjalankan berbagai proyek-proyek pembangunan, Pemerintah hendaknya meningkatkan efisiensi dengan memperketat peluang kebocoran dan korupsi. Termasuk mendorong proyek-proyek dengan due diligence yang ketat – termasuk mencegah praktik penggelapan pajak dan pencucian uang. “Proyek-proyek Public Private Partnership (PPP) harus dijalankan dengan transparan dan akuntabel, dengan pengawasan dari publik, termasuk juga bantuan hibah bagi penanganan bencana alam yang nantinya diberikan oleh World Bank” imbuhnya di Bali.

Terkait pembangunan rendah karbon, Maryati Abdullah menambahkan, diperlukan upaya yang terencana, terukur dan menyasar pada outcome dalam mitigasi dan adaptasi dampak pemanasan global, diantaranya melalui pengurangan emisi gas rumah kaca melalui pengurangan deforestasi dan degradasi. Hal tersebut dimungkinkan antara lain dengan menyediakan skema transfer fiskal berbasis ekologis yang memberikan insentif bagi Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun di tingkat subnasional, dalam melindungi dan melakukan konservasi hutan. “Konsep skema transfer fiskal di tingkat daerah dapat dikembangkan bagi daerah-daerah tertentu melalui celah diskresi dan ruang desentralisasi fiskal yang telah ada, dan upaya ini tentu harus didukung melalui kolaborasi berbagai pihak” tegasnya.

Maryati juga menambahkan, kelentingan ekonomi (economic resilience) kita juga harus didukung oleh skema APBN yang bukan hanya menghitung potensi dan aset yang dimiliki saja, melainkan juga menghitung risiko – termasuk risiko bencana alam. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pagi ini menegaskan “Diperlukan skema semacam asuransi dalam pendanaan bencana alam, sebagai mekanisme yang kredibel dan pasti, sehingga kita tidak perlu menunggu terlalu lama” imbuhnya pagi ini di Bali.

Jakarta, 14 Oktober 2018.

Contact Person:
Asri Nuraeni (081354723226 / asri.nuraeni@pwyp-indonesia.org