Joko Widodo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI periode 2019-2024 menyampaikan akan mengusulkan penerbitan 2 (dua) UU besar, yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM melalui skema Omnibus Law. Melalui skema ini, pemerintah hendak merampingkan, memangkas dan menghapus puluhan regulasi setingkat UU yang tumpang tindih dan menghambat kemudahan investasi. Omnibus Law dianggap lebih efektif dan efisien untuk mengganti beberapa norma hukum di dalam UU, sehingga disebut juga sebagai UU “Sapu Jagat”.

Di antara yang menjadi cakupan dalam Omnibus Law ini adalah UU di sektor Sumber Daya Alam (SDA) – baik sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan lingkungan hidup. Dalam rangka mendiskusikan apa Omnibus Law serta bagaimana perkembangan proses dan upaya mensinkronkan Omnibus Law dengan regulasi sektor pertambangan dan sumberdaya alam, PWYP Indonesia menyelenggarakan PWYP Knowledge Forum (PKF) pada Selasa (3/12) di Sekretariat PWYP Indoensia, Jakarta.

PKF adalah forum diskusi dan berbagi pengetahuan yang diselenggarakan secara rutin oleh koalisi PWYP Indonesia, untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas, serta mengembangkan diskursus publik terkait isu-isu dan kebijakan terkini yang sedang menjadi sorotan, sebagaimana wacana Omnibus Law. Diskusi yang digelar di area rooftop ini mengundang Dr. Ahmad Redi S.H.,M.H., Dosen Universitas Tarumanagara, yang juga Anggota Tim Perumus Omnibus Law, Kemenko Perekonomian.

Berdasarkan keterangannya, Ahmad Redi bersama tim mengaku telah menyelesaikan Naskah Akademik dan RUU Omnibus Law sejak 13 November lalu. Rencananya, draf ini akan disampaikan secara resmi oleh Presiden kepada DPR pada 13 Desember mendatang.

Melalui kajiannya, Ahmad Redi memaparkan terdapat setidaknya 10 Negara yang telah menerapkan Omnibus Law, diantaranya Amerika Serikat, Australia, Vietnam, dan Jerman. Hal tersebut menjadi pertimbangan dasar Pemerintah Indonesia untuk ikut menerapkan Omnibus Law terhadap beberapa sektor strategis termasuk SDA.

“Bahkan sebenarnya Indonesia pernah menerapkan konsep Omnibus Law ini dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, meski saat itu belum dinamai demikian dan hanya mencakup perubahan beberapa UU saja”, Ujar Ahmad Redi.

Sumber: Presentasi Ahmad Redi – Omnibus Law: Gagasan Pengaturan untuk Kemakmuran Rakyat, Desember 2019

Sebagai koordinator ­tim Omnibus Law di sektor ESDM dan Sumber Daya Alam, Ahmad Redi berkata telah terjadi pembahasan yang alot dalam proses perumusan naskah, mengingat sektor SDA, terutama pertambangan yang sangat vital dan memiliki implikasi besar terhadap lingkungan dan hajat hidup banyak orang.

Terakhir, sudah ada 75 UU yang disinyalir akan terkena dampak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Ke-75 UU tersebut dikatergorisasikan ke dalam 11 klaster yang jika dijumlahkan menjadi 177 UU. Klaster tersebut terdiri dari Klaster Sanksi (54 UU), Klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha (49 UU), Klaster Administrasi Pemerintahan, Pembinaan dan Pengawasan (24 UU), dan Klaster Persyaratan Investasi (16 UU).

Sumber: Presentasi Ahmad Redi – Omnibus Law: Gagasan Pengaturan untuk Kemakmuran Rakyat, Desember 2019

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, menyoroti wacana pemerintah yang mengatakan bahwa Omnibus Law ini dilakukan guna mempermudah perizinan (investasi) dan memperketat pengawasan. Menurutnya, baik sisi prior (sebelum perizinan) maupun post (control & law enforcement) memiliki bobot yang sama penting. Artinya, pemberian izin usaha terutama di sektor pertambangan tetap krusial karena dari sana publik dapat ikut mengetahui dan menilai akuntabilitas dari perizinan yang ada. Terlebih, tambah Maryati, sistem pengawasan pemerintah di sektor pertambangan selama ini nyatanya masih terbilang lemah.

“Di satu sisi kita melihat ada niat positif, tapi di sisi lain kita masih sangat meragukan mulai dari segi kapasitas, kecukupan anggaran maupun SDM. Sebagai contoh di sektor pertambangan, kekurangan inspektur tambang dalam memastikan koordinasi perizinan awal yang tanpa Omnibus Law saja masih menjadi pertanyaan besar, apalagi dengan adanya Omnibus Law?” Tanya Maryati.

Oleh karenanya, Maryati mengusulkan adanya masa transisi yang matang serta upaya peningkatan kapasitas SDM di dalam struktur pemerintahan demi memastikan rencana penerapan dan prasyarat yang diperlukan dapat terpenuhi. Hal ini dinilai sangat penting demi mencegah konflik baru di antara pihak-pihak terkait yang membuat kebijakan menjadi kontra produktif.

Adapun beberapa pertanyaan lain diajukan peserta berkaitan dengan wacana penghapusan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang pernah disuarakan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN), Sofyan Djalil, dan diteruskan oleh wakilnya, Surya Tjandra.

Menurut Ahmad Redi, AMDAL tetap akan ada bagi usaha yang dikategorisasikan ke dalam level “high risk” menurut penetapan skema resiko bisnis. Sementara untuk kategori “middle risk” dan “low risk”, izin berusaha cukup mengacu pada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan/Upaya Kelola Lingkungan (UPL/UKL). Penentuan kategorisasi jenis perusahaan ini nantinya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Sementara itu, ide penghapusan IMB, jawab Ahmad Redi, masih dalam tahap pertimbangan. Namun demikian, kemungkinan besar nantinya IMB akan digantikan dengan prasyarat lain dimana setiap perencanaan pembangunan oleh pengembang harus didasarkan pada standar ISO dan/atau sertifikat profesi. Hal ini, tambahnya, selain untuk memudahkan perizinan usaha, juga dimaksudkan agar setiap bentuk pelanggaran nantinya dapat ditindak secara administratif, yang berarti tidak lagi menyasar kepada individu/pemilik (pidana) melainkan izin perusahaan atau profesi yang sebelumnya telah diberi kewenangan. (AA)