Meskipun Indonesia telah menetapkan target penurunan emisi yang ambisius, dalam sidang keterbukaan informasi terbaru terungkap bahwa PT. PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan Pemerintah masih mempertahankan pandangan bahwa data emisi merupakan informasi yang dikecualikan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Kompas, 2023). Padahal, transparansi terkait data emisi menjadi kunci dalam menghadapi dampak perubahan iklim, dan seharusnya data ini bisa diakses oleh publik, bahkan dipublikasikan tanpa terhalang oleh status informasi rahasia perusahaan atau negara.

Meski demikian, langkah-langkah seperti penetapan target penurunan emisi pada 2030 dan peluncuran pasar karbon pada akhir September lalu menunjukkan upaya serius dari pemerintah dalam mengendalikan emisi, di mana 99 PLTU yang mencakup 86% pembangkit listrik tenaga batu bara telah bergabung dalam perdagangan karbon (IESR, 2023).

Pada 24 November 2023, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia selenggarakan PWYP Knowledge Forum (PKF) berjudul Transparansi dan Akuntabilitas Data Emisi dalam Pasar Karbon di Indonesia sebagai rangkaian kegiatan dari #ClimateActionWeek. PKF ini bertujuan untuk, pertama, membahas transparansi data emisi dalam konteks keterbukaan informasi publik di Indonesia. Kedua, mempertimbangkan sejauh mana pasar karbon efektif sebagai bagian dari strategi pengendalian emisi. Ketiga, mengulas peran masyarakat sipil dalam mengawasi implementasi pasar karbon.

Bella Nathania, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyampaikan perbandingan pengalaman China dan Australia dalam membuka data emisi karbon. China misalnya, berhasil mengurangi 2/3 emisi karbon setelah data tersebut dibuka ke publik. Artinya, dengan dibukanya data emisi ke publik, ada cara-cara yang dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim lewat masukan-masukan dari masyarakat. Sayangnya, hukum di Inonesia masih cenderung multitafsir dan memiliki tone yang negatif. Sehingga, kita tidak dapat menggunakan satu kerangka hukum untuk menafsirkan hukum kelingkunganan. Dengan kata lain,masih banyak sekali pekerjaan rumah untuk hukum keterbukaan data emisi di Indonesia .

Giorgio “Jojo” Budi Indrarto, Direktur Program Madani Berkelanjutan menjelaskan bagaimana menakar perdagangan karbon dari kacamata keadilan iklim di Indonesia. Perdagangan karbon hanyalah satu dari tiga mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021. Sedangkan dua lainnya adalah pembayaran berbasisi kinerja (Result Based Payment – RBP) dan pungutan atas karbon. Menurut Jojo, Indonesia belum memiliki satu pun standar sertifikasi yang memenuhi kriteria penting perdagangan karbon secara menyeluruh. Begitu juga standar safeguards yang terintegrasi untuk seluruh aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Untuk itu, perlu ada upaya untuk mengkonsolidasikan berbagai standar safeguards sosial dan lingkungan yang ada.

Pekerjaan rumah lainnya yang perlu diperhatikan ialah transparansi dan akuntabilitas perdagangan karbon dalam berbagai aspek seperti perizinan dan perundang-undangan. Bila dioptimalkan, penikmat keuntungan perdagangan emisi karbon dapat dinikmati oleh masyarakat langsung, bukan hanya pada oknum-oknum tertentu saja.

Penulis: Ersya Shafira Nailuvar
Reviewer: Aryanto Nugroho