Jakarta – Pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat telah melakukan pembahasan rancangan APBN dan telah menyepakati asumsi makro sebagai bahan dasar dalam penyusunan APBN 2019. Berdasarkan catatan koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN (Fitra, PWYP Indonesia, INFID, dan Prakarsa) terdapat sejumlah persoalan kritis terkait dengan Rancangan APBN 2019 yakni: Pertama, yakni menyangkut upaya pemerintah dalam memobilisasi sumber-sumber pendapatan negara dan optimalisasi pajak; Kedua, aspek belanja negara dan capaiannya terhadap SDG’s; Ketiga, upaya pemerintah dalam mengalokasikan belanja negara untuk mendorong peningkatan belanja publik (kesehatan) yang berkualitas; Keempat, isu lingkungan dan energi.
Mobilisasi sumber-sumber pendapatan negara dan optimalisasi pajak.
Pendapatan negara dan hibah diproyeksi mencapai Rp2.142 triliun, dimana dari jumlah tersebut 83% disumbang oleh sektor perpajakan. Pemerintah sejatinya melakukan program Tax Amnesty dan Tax Holiday untuk mendorong penerimaan yang lebih besar. Namun, Tax Amnesty nyatanya belum mampu menyasar tujuannya sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak, yakni mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta yang akan berdampak pada memperkuat nilai tukar rupiah. Akan tetapi, pada praktiknya nilai tukar rupiah justru makin mengalami pelemahan pasca pelaksanaan program Tax amnesty.
Tax Amnesty juga belum berdampak maksimal dalam meningkatkan partisipasi wajib pajak. Total peserta tax Amnesty hanya sebesar 965.983 WP atau jika dikomparasikan hanya setara dengan 2,95 % WP pada tahun 2016. “Tax Amnesty dalam hal ini memang belum mampu menjadi solusi penerimaan negara, Namun dari sudut pandang jangka panjang adanya deklarasi harta kekayaan senilai Rp 4.800 Triliun patut diapresiasi karena dapat menjadi modal awal yang baik” ungkap Misbah Hasan, Direktur Seknas Fitra. “Pemerintah dalam hal Ini kemudian harus konsisten dengan tujuan awal diberlakukannya Tax Amnesty dan tidak hanya puas dengan penerimaan pajak dalam negeri” paparnya.
Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa tahun 2019 akan menjadi tahun yang berat bagi keuangan negara karena banyak hutan-hutang dari pemerintahan-pemerintahan terdahulu akan jatuh tempo. Dalam nota keuangan dan RAPBN 2019 dijelaskan bahwa total pembayaran Bungan Hutang pada tahun 2019 adalah sebesar Rp. 275,4 triliun atau sebesar 17,1 persen dari total Belanja Negara. Angka ini lebih tinggi disbanding Belanja untuk Fungsi Pendidikan yang rata-rata hanya 11 persen dan Kesehatan yang hanya 4 persen (rata-rata dalam 5 tahun). Dari waktu-ke waktu, utang masih menjadi salah satu andalan pemerintah untuk mengatasi kekurangan sumber-sumber pembiayaan negara. Pada tahun 2019 diperkirakan pembiyaan negara yang bersumber dari utang sebesar 259.279,1 triliun atau sebesar 15% dari total Belanja Negara.
Terkait dengan ini Misbah Hasan, Direktur Seknas Fitra, mengungkapkan bahwa memang dari waktu-ke waktu, utang masih menjadi salah satu andalan pemerintah untuk mengatasi kekurangan sumber-sumber pembiayaan negara. Pada tahun 2019 diperkirakan pembiyaan negara yang bersumber dari utang sebesar 259.279,1 triliun atau sebesar 15% dari total Belanja Negara. Bahkan hingga akhir tahun 2018, pemerintah akan kembali berhutang demi membayar hutang, untuk menutupi keseimbangan primer hingga akhir tahun ini yang negatif Rp. 64,8 triliun rupiah.
Aspek Belanja Negara dan Capaiannya Terhadap SDGs
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2019 tidak lagi akan berfokus pada infrastruktur, melainkan pada upaya untuk pengembangan Sumber Daya Manusia. RAPBN 2019 akan menyasar bidang-bidang seperti pendidikan, kesehatan serta sosial sebagai fokus utamanya. Program Manager INFID, Siti Khoirun Nikmah, mengapresiasi langkah pemerintah tersebut. Menurutnya kebijakan ini merupakan langkah positif dalam mendukung percepatan pencapaian poin-poin indikator SDGs.
Meski demikian, Nikmah memberikan catatan bahwa anggaran-anggaran yang ada nantinya harus dialokasikan dan digunakan secara tepat agar dapat memberikan hasil yang optimal. “Anggaran harus ditujukan untuk mendanai program-program yang secara strategis telah diidentifikasi akan mendukung pencapaian SDGs. Salah satunya menyediakan akses pelatihan kerja bagi perempuan dan anak muda, memastikan tersedianya sanitasi bagi semua, dan memastikan penurunan angka kematian ibu melahirkan” ungkapnya. Sehingga, porsi anggaran yang begitu besar nantinya juga berimplikasi secara optimal dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan.
Alokasi Belanja Negara untuk Mendorong Peningkatan Belanja Publik yang Berkualitas.
Nilai anggaran kesehatan ini meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2019, anggaran kesehatan tumbuh sebesar 13,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pemerintah pada RAPBN 2019 mengalokasikan anggaran kesehatan mencapai 122 triliun rupiah dari total belanja negara yang mencapai 2.439.7 triliun rupiah. Hal ini sesuai dengan mandat APBN yang mengharuskan alokasi untuk bidang kesehatan sebesar 5 persen. Anggaran kesehatan terdiri atas alokasi melalui belanja pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan, BPOM, dan BBKBN sebanyak 88,2 triliun rupiah, selain itu melalui transfer ke daerah dan dana desa yang mencapai 33,7 triliun rupiah.
Anggaran tersebut diantaranya diarahkan untuk program percepatan peningkatan kepesertaan jaminan kesehatan nasional, peningkatan akses dan layanan kesehatan, mendorong pola hidup sehat melalui Germas, hingga percepatan penurunan stunting melalui skema Program for Result (PforR).
Cakupan kepesertaan JKN hingga Juni 2018 mencapai 75,5 persen dari total penduduk. Sementara target kepersertaan pada tahun 2019 harus 100 persen. Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa menyampaikan, “Target kepesertaan ini akan sulit diwujudkan apabila pemerintah tidak secara tegas berupaya meningkatkan kepatuhan para pemberi kerja untuk mendaftarkan karyawannya dalam kepesertaan BPJS Kesehatan.” Padahal, segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) maupun Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPUBU) sangat potensial dan banyak yang belum menjadi peserta JKN.
Di sisi lain, permasalahan defisit pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus terjadi. Hal ini terjadi karena pengelolaan yang kurang baik dari BPJS Kesehatan terkait penerimaan iuran dan pembiayaan hingga tingkat kolektabilitas yang rendah. Pembiayaan BPJS Kesehatan melalui pajak rokok juga perlu dioptimalkan agar justru tidak menjadi pemicu lebih banyaknya orang yang merokok.
“Negara sebagai pihak yang berkewajiban memenuhi hak dasar warga negaranya untuk mengakses layananan kesehatan harus memastikan penambahan peserta PBI tepat sasaran, agar negara memastikan telah berlaku adil dan transparan,” kata Ah Maftuchan.
Sumberdaya Mineral dan Energi
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyoroti sejumlah aspek kritis terkait dengan Rancangan APBN 2019. Dalam RAPBN 2019, aspek subsidi energi pada tahun ini yang nilainya masih lebih besar dari subsidi non-energi. Pemerintah melalui Badan Anggaran DPR telah menyepakati angka subsidi energi sebesar Rp. 157,79 triliun rupiah. Jumlah tersebut berarti naik sebesar ± 63% jika dibandingkan dengan alokasi tahun anggaran sebelumnya yang sebanyak Rp94,53 triliun.
Subsidi energi masih saja mendominasi komponen anggaran subsidi secara keseluruhan. Hal ini menandakan bahwa energi merupakan sektor yang sangat rentan (terutama karena volatilitas harga). “Dengan momentum melambungnya harga minyak dunia pada tahun ini, hal ini tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk menaikkan anggaran subsidi energi. Mengingat tahun depan adalah tahun politik, pemerintah seharusnya tidak mengambil kebijakan populis yang pada akhirnya justru membebani APBN” ungkap peneliti PWYP Indonesia Meliana. “Rasionalisasi subsidi juga harus diarahkan untuk alokasi lain seperti yang lebih strategis seperti untuk program pengentasan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan dasar yang memberikan dampak positif terhadap pencapaian pembangunan berkelanjutan” imbuhnya.
Tahun ini, di tengah kenaikan harga minyak dunia, pemerintah sendiri menetapkan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$70 per barel. Angka ini sejatinya merupakan angka yang juga memiliki potensi kerentanan, karena gejolak dinamika saat ini terdapat kemungkinan bahwa harga minyak rata-rata berpotensi dapat melambung ke rentang angka US$80.
Asumsi makro untuk harga minyak (ICP) jelas harus diambil secara hati-hati dengan rentang yang moderat mengingat karakter volatilitas harga minyak dan kondisi geopolitik global—terlebih di tengah situasi perang dagang yang perlu diantisipasi berpengaruh terhadap harga minyak.
Pemerintah menetapkan asumsi lifting minyak sebesar 775 Ribu Barel per Hari (BOPD). Asumsi lifting ini harus ditetapkan dengan penuh pertimbangan, karena jika tidak kedepannya proyeksi angka tersebut rentan tidak tercapai. Asumsi lifting minyak harus memperhatikan situasi lesunya investasi sektor hulu migas dan kondisi transisi beberapa blok migas dari pengelola lama ke pengelola baru. Hal lain yang patut menjadi aspek pertimbangan dalam penentuan target lifting adalah fluktusi harga minyak.
Peneliti Publish What You Pay Indonesia, Meliana Lumbantoruan selanjutnya juga menyoroti aspek Cost Recovery. Cost Recovery perlu memperhatikan temuan BPK yang mencatat sejak tahun 2010-2016 potensi kerugian negara dari sektor migas sebesar Rp.17,64 riliun dan US$66,47 juta (Total 18,24 triliun dengan asumsi US$1 = Rp9000).2 “Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah kasus kejadian potensi kerugian negara dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas karena adanya penggantian biaya operasional (cost recovery) kontraktor kontrak kerja sama minyak dan gas bumi (KKKS Migas) yang tidak sesuai aturan”, karena membebankan biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan dalam cost recovery “ujarnya.
Selain itu, Meliana juga menyoroti persoalan PNBP SDA dan Migas yang masih menjadi andalan utama. Pemerintah menargetkan pendapatan SDA Migas sebesar Rp144,32 triliun dan PNBP SDA sebesar Rp30,01 triliun. “Ketergantungan PNBP pada sektor cenderung akan mendorong eksploitasi SDA. Pemerintah dalam hal ini kemudian tidak boleh mengesampingkan kelestarian lingkungan, termasuk misalnya melakukan kebijakan Ecological Fiscal Transfer” pungkasnya.