Tahun 2018 merupakan tahun ke-empat dari 5 (lima) tahun periode kabinet pemerintahan Jokowi-JK dan DPR RI hasil Pemilu 2014. Sepanjang tahun 2018, sektor energi, migas dan pertambangan diwarnai oleh berbagai peristiwaperistiwa yang dapat dipandang dari berbagai sisi, mulai dari (1) aksi dan strategi korporasi, (2) tata kelola dan regulasi, (3) hilirisasi, fiskal dan perekonomian, (4) aspek sosial dan lingkungan, hingga (5) aspek penegakan hukum. Sektor yang dipandang siginifikan mempengaruhi kondisi makro ekonomi ini, sedikit banyak mempengaruhi suhu politik dan percaturan bisnis di dalam negeri, yang tentunya sangat berdampak pada kondisi sosial masyarakat dan daya tahan lingkungan hidup.

Pada aspek (1) aksi dan strategi korporasi, tahun 2018 diwarnai oleh peristiwa penataan korporasi besar milik negara berupa pembentukan BUMN holding migas nasional yang diperankan oleh Pertamina; penyelesaian proses divestasi Freeport melalui BUMN holding tambang Inalum; penyelesaian proses renegosiasi dan amandemen Kontrak Kontrak Karya Pertambangan ataupun perubahan Kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan; hingga proses terminasi, perpanjangan, maupun penawaran Kontrak Bagi Hasil Migas (Production Sharing Contract) menggunakan skema baru Gross Splits; Termasuk juga pergantian direktur utama Pertamina yang entah agaknya menjadi perhelatan rutin tahunan.

Pada aspek (2) tata kelola dan regulasi, tahun ini dilakukan evaluasi GNPSDA (Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam) KPK di sektor pertambangan dan energi, penerbitan sistem integrasi perizinan dan pengawasan usaha pertambangan termasuk kebijakan satu peta, terbitnya peraturan presiden tentang prinsip-prinsip mengenali dan pembukaan kepemilikan perusahaan atau ‘beneficial ownership’ untuk pencegahan tindak korupsi dan aliran dana illegal; terbitnya beberapa peraturan menteri yang mengatur sektor energi-migas-pertambangan, hingga lagi lagi belum selesainya revisi UU Migas dan Minerba untuk yang kesekian kalinya di DPR RI, termasuk regulasi di bidang energi terbarukan yang nampaknya belum terlihat progressive. Tahun ini, keanggotan Indonesia dalam inisiatif EITI (Extractive Industries Transparency Initiative) kembali divalidasi, guna menilai dan memperkuat arena-arena critical yang perlu direformasi. Rencana aksi inisiatif pemerintahan terbuka (Open Government Partnerhsip, OGP) dan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Tahun 2018-2019 sebagai upaya pembenahan izin, peningkatan penerimaan negara, perpajakan dan reformasi hukum- termasuk di sektor pertambangan dan sumber daya alam. Menjelang akhir tahun, rencana revisi Peraturan Pemerintah di bidang usaha pertambangan juga menyelimuti momentum berakhirnya Kontrak Kontrak Karya Pertambangan.

Pada aspek (3) industri hilir, fiskal dan perekonomian, tahun ini tidak banyak kemajuan di bidang hilirisasi dan peningkatan nilai tambah sektor mineral maupun pertambangan, serta sektor hilir yang diwarnai oleh pewajiban penggunaan biodiesel kandungan 20% (B20) dari CPO. Sementara itu, kondisi fiskal terus mengalami defisit neraca perdagangan akibat impor minyak (mentah maupun BBM) yang terus membengkak, serta pelemahan rupiah yang diperparah oleh keengganan eksportir (termasuk eksportir bahan mentah pertambangan) untuk menukarkan DHE (Dana Hasil Ekspor) ke rupiah ataupun menyimban di bank-bank dalam negeri. Demikian halnya, dari sisi kebijakan pajak dan penerimaan negara, proses penagihan piutang PNBP dan perubahan skema dan tarif perpajakan dan PNBP juga mewarnai sektor ini di tengah fluktuasi harga komoditas di pasar global dan gonjang ganjing penambahan quota produksi serta tarik ulur kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) Batubara.

Pada aspek (4) sosial, masyarakat dan lingkungan, lagi lagi ironi terjadi kembali : lubang bekas tambang batubara di wilayah izin konsensi terbanyak Kalimantan Timur kembali menelan korban yang hingga kini mencapai 32 anak-anak akibat lemahnya perencanaan-pengawasan dan penempatan dana untuk kewajiban reklamasi dan pasca tambang, kriminalisasi dan tindak kekerasan di sekitar PLTU Batubara, hingga peristiwa longsornya bukit yang ditambang batubara dan menelan rumah warga. Sementara, masyarakat di sekitar pegunungan Kendeng terus menunggu kepastian pelaksanaan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) secara tegas melalui kebijakan Tata Ruang dan Wilayah Daerah serta Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah yang mengakomodasi nasib ribuan petani di sekitar cekungan air tanah (CAT) Watu Putih Pegunungan Kendeng. Sementara, puluhan organisasi masyarakat sipil non-pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat tahun ini mendeklarasikan gerakan #bersihkanindonesia sebagai gerakan damai untuk mengajak publik mendukung energi bersih dan membebaskan Indonesia dari korupsi dan pencemaran lingkungan.

Demikian halnya, pada aspek (5) penegakan hukum, publik dihenyakkan oleh peristiwa korupsi proyek PLTU Riau-I yang menunjukkan semakin nyatanya korupsi politik di sektor energi fossil ini sebagai gambaran kelit kelindan yang sempurna antara politik, kebijakan dan bisnis di sektor ekstraktif. Tahun ini, upaya penegakan hukum juga diwarnai oleh kriminalisasi akademisi yang melakukan perhitungan/valuasi lingkungan dan kerugian negara guna memperkuat tuntutan korupsi dalam kasus penerbitan ijin tambang oleh kepala daerah Sulawesi Tenggara.

Publish What You Pay Indonesia – sebuah sekretariat koalisi nasional organisasi non-pemerintahan dan lembaga swadaya masyarakat yang concern pada isu transparansi, akuntabilitas, dan perbaikan tata kelola pemerintahan di sektor sumberdaya energi-migas dan pertambangan, memberikan catatan tahunan atas dinamika, tantangan dan perbaikan ‘critical’ yang harus terus dilakukan untuk kemajuan pembangunan dan kepentingan publik. Berikut ulasan, analisis dan rekomendasi penting kami dalam Catatan Akhir tahun 2018 – yang sekaligus merupakan evaluasi atas kinerja 4 Tahun Nawacita Jokowi-JK dan Kinerja DPR di bidang energi, migas, dan pertambangan:

1. Pembentukan Holding BUMN : Integrasi Sektor Migas dan Jalan Panjang Divestasi Freeport

Awal tahun 2018, keputusan pembentukan holding migas menandai integrasi BUMN untuk menata pengusahaan negara di bidang minyak dan gas bumi. Integrasi ini antara lain ditujukan guna memperkuat struktur permodalan, memaksimalkan pemanfaatan cadangan gas dan pembagian peran hulu-hilir, meningkatkan efisiensi anak-anak holding BUMN, serta menyinergikan investasi modal dan capital expenditure. Kini, efektifitas holding ini dinanti-nanti publik guna memaksimalkan pemanfaatan migas untuk pemenuhan energi dan industri hilir dalam negeri, serta mendorong semakin profesionalnya Pertamian di tengah tuntutan efisiensi dan peran pemenuhan BBM satu harga, serta tuntutan peningkatan daya saing di dunia migas.

Sementara, holding BUMN Pertambangan melalui Inalum menghadapi fase panjang proses divestasi Freeport, terutama dalam tahapan proses akuisisi saham hingga mencapai 51%. Divestasi yang ditargetkan selesai akhir tahun ini mensyaratkan adanya penerbitan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), stabilitas perpajakan, kewajiban pembangunan smelter, dan penyelesaian masalah Iuran Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Belum lagi, biaya akuisisi saham oleh Inalum yang mencapai US$ 3,85 miliar atau Rp 55,8 Triliun (Kurs 14.500) inipun telah diambil keputusan dengan menerbitkan obligasi valuta asing (global bond) senilai US $ 4 miliar (US$ 3,85 miliar untuk pembayaran saham dan US$ 150 juta untuk refinancing). CNBC mencatat, ini bukan hanya obligasi valas pertama Inalum tapi juga terbesar yang pernah diterbitkan perusahaan negara selama Indonesia berdiri, serta merupakan akuisis terbesar ke-6 di Asia Tenggara dalam 10 Tahun terakhir. Sementara, proses pelibatan Pemda Papua juga menghadapi tantangan mengenai akomodasi kepentingan daerah. Publik tentunya berharap, over claim keberhasilan divestasi hendaknya tidak sekedar jadi dagangan politik semata, namun harus diikuti langkah-langkah strategis dan taktis dalam fungsi pengendalian dan kontrol, penyelesaian dan pengawasan berbagai kewajiban seperti pembangunan smelter, termasuk transparansi dalam prosesnya, seperti yang ditekankan oleh Kemenkeu : “Jangan Ada Yang Membonceng dalam Divestasi Freeport !”.

2. Amandemen/Peralihan Izin Kontrak Karya dan Terminasi/Penawaran Wilayah Kerja Migas

Setelah melalui proses yang panjang, proses renegosiasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) hampir tuntas dilakukan pada tahun ini. Dari total 101 perusahaan dengan rincian 33 KK dan 68 PKP2B, hanya satu perusahaan yang belum melakukan amandemen kontrak, yakni perusahaan mineral, PT Kumamba Mining. Meski demikian, hal ini seharusnya telah dilakukan pemerintah sejak delapan tahun yang lalu, mengingat Pasal 169 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) memandatkan penyesuaian ketentuan kontrak pertambangan, kecuali aspek penerimaan negara, paling lambat satu tahun sejek beleid tersebut berlaku, yakni 12 Januari 2010. Catatan penting dari proses renegosiasi KK dan PKP2B ini adalah absennya transparansi. Transparansi merupakan hal krusial agar publik dan segenap pihak mendapatkan informasi yang benar dan seimbang mengenai keadaan sesungguhnya dari proses yang sedang berlangsung, sehingga tidak terjadi informasi yang asimetris, yang mana dapat memicu kekeliruan-bahkan polemik publik yang tidak sehat–akibat ketidaktahuan dan kurangnya informasi. Standar transparansi dan keterbukaan informasi publik menurut UU juga mensyaratkan pemerintah untuk memberikan alasan kebijakan dan argumen yang sejelas-jelasnya kepada publik akan dasar pertimbangan pengambilan keputusan publik.

Sementara di sektor Migas, tantangan penerapan skema gross split mewarnai proses terminasi dan penawaran (perpanjangan maupun baru) bagi blok-blok Wilayah Kerja Migas di seluruh Indonesia. Kebutuhan peningkatan pencadangan migas dari kegiatan eksplorasi menuntut skema gross split yang semakin kompetitif. Demikian halnya dengan tuntutan untuk tetap mempertahankan bahkan meningkatkan kinerja produksi blok-blok terminasi yang beralih ke Pertamina seperti Blok Mahakam, Blok Rokan dan sebagainya, menjadi tantangan tersendiri di sektor ini. Demikian halnya dengan pertanyaan mengenai eningkatan status Blok Masela yang cukup ditunggu-tunggu tahun ini. Pergantian Kepala SKK Migas tahun ini mencatatkan pekerjaan rumah yang tidak ringan, selain peningkatan kinerja lifting – pencadangan migas – juga efisiensi cost recovery dan perbaikan kontrol PSC menjadi tuntutan publik di sektor hulu migas. Sementara di Riau, akses masyarakat atas Kontrak-Kontrak Migas masih saja mengalami kendala di tengah semangat penerapan transparansi dan tuntutan tata kelola yang baik di sektor pemerintahan dan kebijakan publik.

3. Evaluasi GNPSDA KPK : Capaian dan Tantangan Reformasi di Sektor Minerba, Migas dan Energi

Tahun 2018 ini, KPK bersama Kementerian/Lembaga terkait dan Pemda melakukan evaluasi pelaksanaan GNPSDA, termasuk di sektor pertambangan mineral dan batubara, serta sektor migas dan energi. GNPSDA yang merupakan kegiatan koordinasi dan supervisi KPK ini sedikit banyak telah menunjukkan kemajuan berupa berkurangnya IUP Non Clean and Clear, meningkatnya penerimaan negara dan berkurangnya tagihan piutang PNBP Minerba, pencabutan izin yang tidak memenuhi ketentuan reklamasi dan pasca-tambang, serta supervisi aspek lain seperti sistem pengawasan produksi dan penjualan serta pemenuhan kewajiban hilirisasi dan peningkatan nilai tambah (PNT). Evaluasi GNPSDA tahun ini secara umum merekomendasikan adanya koordinasi yang lebih interns lintas kementerian dan lembaga khususnya dalam menyelesaikan persoalan tumpang tindih kewenangan dan wilayah, penguatan kelembagaan dan anggaran bagi pengawasan sektor pertambangan dan migas, pengembangan sistem monitoring yang terintegrasi antara proses perizinan – penerimaan negara – dan aspek sosial dan lingkungan hidup. Salah satu bentuk rekomendasi dari peningkatan dan integrasi sistem tersebut diterbitkannya sistem daring MOMS (Minerba Online Monitoring System) dan One Map Geoportal, PWYP mengapresiasi upaya tersebut dengan catatan pengintegrasian tersebut diharapkan dapat berjalan efektif baik dari sisi perizinan-penerimaan negara dan aspek kepatuhan sosial dan lingkungan, serta memastikan transparansi dan saluran pengaduan publik juga disediakan dengan baik.

4. Pembukaan ‘Beneficial Ownership’ : Penyiapan Sistem dan Efektifitas Pencegahan Korupsi dan Aliran Dana Ilegal. Penguatan Komitmen dalam Aksi OGP dan Stranas Pencegahan Korupsi.

Lahirnya Peraturan Presiden No.13 Tahun 2018 tentang prinsip mengenali pemilik sesungguhnya (beneficial ownership) dari perusahaan diapresiasi publik, yang menandai komitmen Pemerintah untuk melaksanakan pencegahan korupsi melalui tindak pencucian uang dan aliran dana-dana ilegal. Komitmen ini juga dicatat sebagai pelaksanaan peta jalan EITI Indonesia dalam pembukaan BO, dan juga menjadi komitmen rencana aksi keterbukaan pemerintahan (Open Government Partnership, OGP) dan Stranas Pencegahan Korupsi Tahun 2018-2019. Pembukaan BO ini juga dikerangkakan dalam optimalisasi dan peningkatan penerimaan negara, yang menjadi bagian dari penguatan data pada kepesertaan Indonesia dalam komitmen pertukaran informasi untuk kepentingan perpajakan (Automatic Exchange of Informatio, AEOI) yang dimulai bulan September tahun 2018 ini. Sebagai catatan dan rekomendasi, proses pengumpulan data BO dan integrasi sistem perlu dipersiapkan dengan baik, termasuk akses masyarakat menjadi penting untuk meningkatkan pengawasan dan mencegah dampak tindak korupsi dan aliran dana ilegal bagi publik. Kebijakan pembukaan BO ini juga perlu diikuti dengan kebijakan lain seperti pencegahan konflik kepentingan dalam kebijakan publik dan bisnis, serta kebijakan integrasi dan deklarasi harta dan kekayaan pejabat, guna memastikan sektor publik tidak digunakan untuk kepentingan memperkaya segelintir orang dan kelompok mengingat banyaknya bisnis-bisnis yang ditengarai memiliki hubungan dan dipengaruhi oleh person-person politik (politically exposed persons – PEPs).

5. Revisi Undang-Undang Migas dan Pertambangan : Jalan di Tempat (DPR) ! atau Tersendat?

Revisi undang-undang Migas dan Minerba sebagai prolegnas DPR RI yang kesekian kalinya tahun ini , lagi lagi tidak ada kemajuan berarti atau jalan tempat. Kecuali kemajuan pada status Revisi UU Migas yang ditetapkan menjadi inisiatif DPR RI, itupun setelah lebih dari 5 tahun menjadi prolegnas. Efektifitas peran DPR dalam fungsi legislasi ini sungguh menjadi tuntutan prioritas dalam reformasi sektor energi dan sumberdaya mineral. Termasuk efektifitas peran DPR dalam mengawasi berbagai kebijakan dan pelaksanaan oleh Eksekutif, sebut saja misalnya masalah divestasi Freeport, Hilirisasi Mineral, kebijakan perizinan, penertiban IUP, dan banyak persoalan lain, sungguh DPR terlihat adem ayem dan kalem – bahkan terhadap korban anak-anak di lubang tambang dan longsor yang menelan rumah warga. Sementara, upaya deregulasi peraturan oleh Kementerian ESDM yang semakin sering bergonta-ganti, menimbulkan kebingungan di sana-sini, termasuk menuntut penyesuaian di Kementerian/Lembaga lain seperti kementerian Perdagangan dalam perizinan dan pengawasan ekspor, naik turun kebijakan DMO Batubara, hingga berbagai bentuk perubahan peraturan Menteri ESDM yang belum belum dilaksanakan dan dievaluasi, lagi lagi sudah diganti. Rendahnya assesment dan konsultasi publik dalam penyusunan beleid ini menjadi sorotan tersendiri, baik dari pelaku usaha maupun dari masyarakat luas.

6. Kebijakan perluasan penggunaan B20 : Efektifitas Antara Hilirisasi Pertambangan, Energi Terbarukan dan Pengendalian Deforestasi

Per 1 September 2018, pemerintah menetapkan kebijakan perluasan mandatori penggunaan B20 ke sektor non-PSO lainnya, seperti pertambangan, ketenagalistrikan, perkeretaapian, manufaktur dan sebagainya. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) melalui pengurangan impor solar. Sekaligus dapat dijadikan sebagai instrumen pengendalian harga komoditas, termasuk komoditas pertanian (Agustian dkk. 2015). Selain itu, perluasan B-20 diharapkan mempercepat proses transisi energi dari fosil menuju energi terbarukan.

Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini mengalami berbagai macam persoalan di lapangan. Mulai dari kebijakan alasan tujuan jangka pendek untuk menyelamatkan rupiah; Macetnya pasokan FAME dan kendala distribusi; serta problematika kelembagaan dan tata kelola komoditas kelapa sawit. Kebijakan perluasan mandatori B-20 ternyata ditengarai belum mampu untuk menyelesaikan persoalan perluasan lahan sawit yang menjadi penyebab utama deforestasi. Apalagi alokasi dana dari BPDPKS yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pos-pos kegiatan riset, peremajaan sawit, pengadaan sarana prasarana, pengembangan SDM, sebagian besar dihabiskan untuk insentif biodiesel. Ketidakpastian kebijakan B-20 semakin kentara dengan kebijakan Pemerintah yang menyetop sementara dana pungutan ekspor minyak kelapa sawit dan turunannya yang dikelola oleh BPDPKS per 4 Desember 2018 ini.

7. Defisit Fiskal Migas dan Ketergantungan Energi Fossil: Diversifikasi Energi Yang Tidak Bisa Ditawar Lagi !

Ketergantungan Indonesia pada impor minyak terus saja saja menghantui defisit neraca transaksi berjalan (CAD) akibat impor minyak mentah dan BBM yang hingga November 2018 telah mencapai angka Rp. 176 Triliun – defisit terdalam dalam sejarah. Meski volume mulai terkurangi, namun volatilitas harga minyak di pasar global tidak dapat melepaskan kerentanan sektor ini. Konsumsi energi fossil di dalam negeri, dan subsidi BBM yang sulit untuk dikurangi dalam tahun politik, merupakan jebakan ketergantungan fossil dan pembangunan ekonomi. Kondisi ini juga memperparah pelemahan nilai tukar rupiah yang juga terkena dampak dari kebijakan Amerika Serikat – China dalam perang dagang. Meski upaya pengendalian melalui perluasan penggunaan B20 untuk shifting dari bahan bakar fossil ke biodisel, namun sejumlah tantangan dan kendala masih dihadapi. Termasuk upaya untuk mendorong penukaran Dana Hasil Ekspor (DHE) eksportir – termasuk eksportir bahan mentah pertambangan, juga menjadi tantangan tersendiri yang tidak ringan dan membutuhkan stabilitas kebijakan dan kepercayaan pasar yang tinggi. Dalam kondisi ini, agaknya strategi jangka panjang diversifikasi energi ke arah terbarukan – bukan saja minyak mentah, menjadi kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi ke depan–dan menjadi tuntutan kebijakan kandidat Presiden ke depannya, siapapun itu.

8. Quota Produksi dan DMO Batubara: Antara Inkonsistensi Pengendalian Produksi dan Insentif bagi Pengusaha.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 memandatkan pengendalian produksi batubara, yakni maksimal 406 juta ton di tahun 2018. Nyatanya, pemerintah pada tahun 2018 menetapkan target produksi batubara nasional sebesar 485 juta ton. Tak hanya itu, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan insentif penambahan produksi batubara melalui Kepmen ESDM 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Jual Batubara untuk Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum yang mengatur insentif kenaikan produksi sebesar 10% bagi perusahaan yang memenuhi ketentuan DMO 25% dengan harga jual USD 70 per ton. Meski pelaksanaan pemberian insentif tidak serta merta dapat dilakukan, namun hal ini sudah mencerminkan rendahnya komitmen pemerintah dalam melaksanakan pengendalian produksi batubara secara konsisten. Bahkan, pemerintah kembali menambah alokasi produksi batubara tahun ini sebesar 100 juta ton untuk kebutuhan ekspor melalui Kepmen ESDM No.1924 K/30/MEM/2018 dengan dalih meningkatkan devisa negara mengingat harga batubara di tahun 2018 sempat menyentuh angka tertinggi dalam lima tahun terakhir. Sehingga target produksi mencapai 585 juta ton. Target produksi menjadi tak terkendali dan terus mengejar tuntutan pasar ekspor. Sementara kewajiban DMO sebesar 25% belum sepenuhnya terpenuhi. Hingga Juli 2018, pemenuhan DMO baru 69 juta ton, sementara target DMO nasional mencapai 131 juta ton. Sektor ini dihadapkan pilihan pelik, antara pengendalian produksi dan insentif bagi pengusaha.

9. Korupsi PLTU : Potret Sempurna Korupsi Politik (Relasi Bisnis-Kebijakan-Politik) Yang Memilukan!

Korupsi sektor listrik terkuak di tahun 2018, yakni korupsi Proyek PLTU Riau-1 yang melibatkan elit partai politik dan bisnis, yakni Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR Fraksi Golar yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI, Johanes Budi Sutrisno Kotjo selaku pemilik Blackgold Natural Insurance Limited, dan Idrus Marham, mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar. Eni dan Idrus diduga terlibat untuk memuluskan penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1. Eni diduga menerima suap sebesar Rp 500 juta dari Johannes sebagai bagian dari commitment fee (2,5%) untuk proyek PLTU-Riau-2 yang mencapai Rp 4,8 miliar. Sementara Idrus dijanjikan commitment fee sebesar Rp1,5 miliar. Bahkan terdapat indikasi aliran dana ke entitas partai politik. Kasus ini menunjukkan bagaimana proyek strategis negara masih dijadikan “sapi perah” untuk kepentingan tertentu. Tak hanya itu, kasus ini menjadi preseden buruk dalam pengembangan proyek 35.000 MW. Besar peluang modus serupa juga terjadi di proyek PLTU lainnya. Tuntutan publik atas penerapan prinsip corporate crime liabilities mewarnai proses peradilan kasus korupsi sebagai tontotan yang sempurna atas berkelit-kelindannya bisnis-politik-dan kebijakan, sebuah tontotan yang memilukan !.

10. Korban Lubang Tambang dan Efektifitas Reklamasi/Pasca-Tambang: Lepas Tanggung Jawab Tak Berkesudahan !

Lubang bekas tambang kembali menelan korban. Tahun ini, empat orang tewas tenggelam di lubang tambang batubara di Kalimantan Timur yang menambah jumlah korban menjadi 32 orang sejak tahun 2011. Permasalahan ini tak terlepas dari rendahnya kepatuhan perusahaan dalam menempatkan jaminan reklamasi dan pascatambang. 60% IUP (Penanaman Modal Dalam Negeri) tercatat belum menempatkan jaminan reklamasi (Ditjen Minerba, Juli 2018). Sementara fungsi pengawasan yang kini berada di pemerintah pusat tidak dapat berjalan optimal. Indikasi saling lempar tanggung jawab serta minimnya jumlah inspektur tambang makin memperlemah pengawasan. Hingga Oktober 2018, total jumlah inspektur tambang hanya 260 personil, padahal jumlah izin yang diawasi mencapai ribuan izin. Di sisi lain, penegakan hukum terkait hal ini juga sangat lemah. Sejauh ini, pemerintah hanya memberlakukan sanksi administratif yang nyatanya tidak diindahkan oleh perusahaan. Pemerintah seharusnya menggunakan instrumen pidana, baik yang telah diatur dalam UU 4/2009 tentang Pertambangan Minerba maupun UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkugan Hidup (PPPLH), maupun terhadap seluruh perusahaan yang terbukti tidak patuh terhadap kewajiban reklamasi & pascatambang yang menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang signifikan dan menyebabkan hilangnya nyawa.

11. Pengabaian Hak-Hak Masyarakat dan Kriminalisasi/Kekerasan Masyarakat di Sekitar Industri Ekstraktif

Kasus pengabaian hak-hak masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan tidak sedikit terjadi di berbagai wilayah, sebut saja pertambangan karst di sekitar pegunungan Kendeng yang hingga kini masih menjadi penantian ribuan petani Sedulur Kendeng akan pelaksanaan KLHS dalam rencana tata ruang dan wilayah daerah. Belum lagi kasus kriminalisasi yang dialami warga di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara di berbagai wilayah; serta upaya kriminalisasi akademisi atas perhitungan/valuasi ekonomi lingkungan yang dilakukannya guna menguatkan tuntutan jaksa dalam kasus korupsi Gubernur Sulawesi Tenggara tahun ini. Meskipun akhirnya Pihak PT. Jatim Jaya Perkasa (JJP) mencabut sementara gugatannya dan Pengadilan Negeri (PN) Cibinong menolak gugatan Nur Alam dalam Persidangan pada tanggal 12 Desember 2018. Tentu saja ini menjadi preseden yang buruk yang dikhawatirkan akan menjadi trend untuk mempressure sejumlah pihak yang merasa dirugikan dengan kesaksian ahli. Padahal, keterangan ahli dalam persidangan semestinya tidak “dikriminalisasi”.

12. Deklarasi Gerakan #BersihkanIndonesia: majukan Indonesia dengan energi bersih, bebas korupsi dan polusi

Kegerahan masyarakat atas kasus-kasus korupsi di sektor energi dan pertambangan, serta dampak polusi dan sosial – lingkungan hidup dari kegiatan industri ekstraktif dan energi fossil, melahirkan deklarasi gerakan #BersihkanIndonesia pada 19 September tahun ini. Gerakan yang terdiri dari berbagai organisasi non-pemerintah dan lembawa swadaya masyarakat ini mengajak masyarakat dan kelompok pemilih muda/milenial untuk memilih energi bersih dan politisi bersih yang tidak korupsi dan mendukung energi terbarukan/non-fossil guna membersihkan indonesia dari polusi, korupsi dan perusakan lingkungan. Gerakan ini melakukan berbagai aksi simpatik, dan melakukan kajian-kajian guna memperkuat pengawasan publik pada kebijakan energi dan industri ekstraktif sumber energi fossil.#