JAKARTA, KOMPAS — PT Bukit Asam Tbk menargetkan memproduksi batubara sebanyak 50 juta ton per tahun atau hampir dua kali lipat dari produksi saat ini yang rata-rata 25 juta ton per tahun. Selain itu, proyek gasifikasi batubara menjadi dimetil eter atau DME bakal dipercepat untuk mendukung program substitusi elpiji.

Hal itu mengemuka dalam telekonferensi pers seusai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bukit Asam, Senin (5/4/2021). Dalam RUPS itu, perusahaan membagikan deviden sebesar Rp 835 miliar pada tahun ini dan mengusulkan perubahan sejumlah posisi direksi.

Posisi direktur utama diisi oleh Suryo Eko Hadianto yang menggantikan Arviyan Arifin yang telah menjabat sejak 2016. Sebelumnya, Suryo adalah Direktur Transformasi Bisnis PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum yang merupakan induk usaha Bukit Asam.

Suryo mengatakan, untuk melaksanakan proyek-proyek strategis perusahaan, seperti gasifikasi batubara menjadi DME, dibutuhkan modal besar. Perusahaan akan menghimpun dana, salah satunya, dengan mengandalkan penjualan batubara.

Oleh karena itu, peningkatan produksi batubara perusahaan menjadi salah satu prioritas penting bagi jajaran direksi baru. Untuk melaksanakan program hilirisasi batubara dibutuhkan dana yang besar.

”Kami akan meningkatkan produksi menjadi 50 juta ton per tahun dengan apa yang kami sebut sebagai program menuju Bukit Asam Emas. Saya optimistis target produksi ini bisa dicapai dengan sinergi seluruh kekuatan yang ada di dalam perusahaan,” kata Suryo yang mengaku belum bisa mengumumkan kapan target tersebut akan dicapai.

Kami akan meningkatkan produksi menjadi 50 juta ton per tahun dengan apa yang kami sebut sebagai program menuju Bukit Asam Emas.

Sumber daya dan cadangan batubara Indonesia pada 2019.

Selain meningkatkan produksi batubara, lanjut Suryo, percepatan pengambilan keputusan di masa direksi yang sekarang turut menjadi perhatian. Kurang cepatnya pengambilan keputusan di masa lalu merupakan salah satu hasil evaluasi kinerja perusahaan.

Direktur Pengembangan Usaha Bukit Asam Fuad Iskandar menambahkan, rencana peningkatan produksi batubara merupakan hal yang sangat realistis bagi perusahaan. Bukit Asam punya potensi menaikkan produksi batubara menjadi lebih tinggi. Salah satunya dengan meningkatkan kapasitas pengangkutan batubara menggunakan moda kereta api.

”Untuk program gasifikasi batubara menjadi DME, kami menjadi bersemangat setelah proyek ini dimasukkan sebagai proyek strategis nasional oleh pemerintah dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2020,” ujar Fuad.

Dalam perpres tersebut terdapat 201 proyek di Indonesia yang dinyatakan sebagai proyek strategis nasional, antara lain pembangunan infrastruktur jalan tol, pelabuhan, bandar udara, dan kilang minyak. Proyek gasifikasi batubara Bukit Asam di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, masuk dalam daftar proyek ke-193.

Sepanjang 2020, Bukit Asam membukukan pendapatan sebesar Rp 17,3 triliun dengan laba bersih mencapai Rp 2,4 triliun. Tahun ini, perusahaan menargetkan produksi batubara sebanyak 29,5 juta ton, lebih besar dari realisasi tahun lalu yang sebanyak 24,8 juta ton. Selain gasifikasi, Bukit Asam tengah menggarap proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulut tambang dengan kapasitas 2 x 620 megawatt yang ditargetkan beroperasi secara komersial pada Maret 2022.

Kurang cepatnya pengambilan keputusan di masa lalu adalah salah satu hasil evaluasi kinerja perusahaan.

Tongkang-tongkang bermuatan batubara melintas di sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (8/3/2021). Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batubara Indonesia per 8 Maret 2021 sebesar 93,42 juta ton atau setara 16,99 persen dari target produksi sebesar 550 juta ton pada tahun 2021. Kompas/Priyombodo (PRI)

Pembatasan produksi

Secara terpisah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho mengatakan, pemerintah sebaiknya konsisten membatasi produksi batubara sebanyak 400 juta ton per tahun. Akhir-akhir ini, pemerintah terkesan terus menggenjot produksi sembari mengabaikan pengendalian produksi yang diatur dalam Rencana Umum Energi Nasional. Produksi batubara yang digenjot lebih tinggi dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan daya dukung lahan.

”Pemerintah harus konsisten membatasi produksi batubara nasional 400 juta ton per tahun. Selain itu, produksi batubara yang berlebihan hanya semata untuk diekspor menunjukkan bahwa paradigma pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih berbasis komoditas, bukan sebagai modal penggerak ekonomi di dalam negeri,” ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menuturkan, kinerja industri batubara sepanjang 2020 sangat terpengaruh pandemi Covid-19. Sejak pemerintah menyatakan kasus positif Covid-19 pertama pada awal Maret 2020, permintaan batubara di pasar ekspor dan domestik turun. Permintaan batubara ini baru kembali pulih pada triwulan IV-2020.

Kondisi tersebut berdampak pada produksi batubara 2020 yang lebih rendah dibandingkan dengan 2019. ”Tantangan ke depan bagi industri batubara di Indonesia adalah semakin sulitnya pembiayaan perbankan, isu lingkungan terkait perubahan iklim, dan isu-isu terkait transisi energi,” kata Hendra.

Sumber: Kompas