Sebagai negara dengan cadangan mineral yang signifikan termasuk emas, tembaga, timah dan bauksit, indonesia dipertimbangkan sebagai lokasi yang atraktif untuk investasi.

Melimpahnya cadangan mineral tidak hanya menarik investasi, tapi juga menjadi perhatian dari orang-orang yang tidak jujur yang ingin menjarah kekayaan alam Indonesia. Di sebuah negara dimana korupsi dilihat sebagai masalah yang terus meningkat, risiko eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali dan berbahaya semakin besar.

Kasus terbaru menunjukkan bahwa celah dalam sistem sekarang memungkinkan pejabat publik senior untuk menyelewengkan posisi mereka dan memberikan hak tambang untuk keuntungan mereka sendiri dan “tim sukses” mereka — pendukung setia politik mereka. Investigasi korupsi terbaru terhadap Supian Hadi, mantan Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Timur adalah salah satu contohnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuduh sebagai imbalan atas suap dan penyelewengan wewenangnya, Hadi memberikan izin tambang kepada tiga perusahaan yang operasinya menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Anggota tim kampanye politiknya memiliki saham dan menjabat sebgai direktur di salah satu perusahaan.

Karena kepemilikan perusahaan di perusahan itu buram, hubungan Hadi dengan perusahaan tambang baru terungkap melalui investigasi KPK. KPK menuduh mantan bupati menyebabkan kerugian lingkungan hidup dan ekonomi Indonesia. Satu perkiraan dalam kasus Hadi mencapai 5,8 triliun rupiah.

Perkembangan dalam transparansi pemilik manfaat

Perkembangan negara dalam transparansi kepemilikan perusahaan adalah langkah pertama yang penting untuk mencegah terulangkan jenis korupsi ini, sama seperti pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pada akhir 2016, kelompok multi pemangku kepentingan Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI) Indonesia mengembangkan peta jalan untuk mencapai transparansi pemilik manfaat. Untuk mengimplementasikan rencana ini dan memenuhi komitmennya di bawah EITI, serta persyaratan yang diberlakukan oleh Financial Action Task Force (FATF), pada 2018 pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 13 tentang pemilik manfaat.

Peraturan tersebut membutuhkan semua perusahaan yang beroperasi di Indonesia untuk melaporkan pemilik manfaat, yaitu individu—orang perseorangan, bukan badan hukum—yang memiliki dan bisa mengatur perusahaan. Mulai tahun 2018, setiap perusahaan diwajibkan untuk mengimplementasikan prinsip Know your Beneficial Owner.

Sektor ekstraktif, kehutanan, dan perkebunan adalah prioritas daalm implementasi transparansi pemilik manfaat di bawah Strategi Nasional Pencegahan Korupsi 2019 – 2020 yang mengikat di kementerian yang memiliki kewenangan dalam sektor tersebut. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) juga mewajibkan perusahaan tambang untuk mendeklarasikan pemilik manfaat mereka sebagai bagian dari aplikasi mereka untuk izin tambang.

Perkembangan Pemantauan Masyarakat Sipil

Bagi TI-Indonesia bersama dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) lainnya seperti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia dan Auriga Nusantara, Beneficial Ownership Transparency (BOT) yang efektif sangat krusial untuk mengungkap hubungan korupsi antara pejabat publik dan perusahaan tambang. Oleh karena itu, pada Oktober dan November 2020 kita mengevaluasi perkembangan Indonesia dalam mengimplementasikan agenda BOT. Koalisi OMS kami mempresentasikan temuan ini kepada KPK dan Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi (STRANAS PK) pada November 2020.

Ini beberapa temuan kunci kami:

Pembukaan yang lemah oleh perusahaan

Berdasarkan evaluasi kami, hanya 10,75% perusahaan (106.283 dari 988,574) telah melaporkan pemilik manfaat mereka. Ada banyak alasan untuk rendahnya tingkat kepatuhan. Pertama, banyak perusahaan yang tidak familiar dengan ketentuan “pemilik manfaat” dan mengalami kesulitan dalam mengartikan pemilik manfaat mereka. Selain dari perusahaan-perusahaan yang bermaksud baik tapi kurang informasi, ada banyak perusahaan yang mendaftar secara khusus untuk memfasilitasi kejahatan, dan mereka akan menghindari kepatuhan selama mereka membayarnya. Sampai pemerintah memberlakukan penyingkapan pemilik manfaat dan menghukum perusahaan yang tidak patuh, perusahaan-perusahaan ini tidak akan bertindak.

Buruknya integrasi data antara kementerian

Masalah lain yang menimbulkan tantangan adalah terbatasnya potensi integrasi data antara kementerian karena mereka tidak menggunakan format data yang seragam untuk menyimpan informasi pemilik manfaat. Kurangnya ‘interoperabilitas’ membuat semakin sulit untuk pemeriksaan silang database pemerintah yang berbeda yang juga akan menghalangi verifikasi pemilik manfaat. Verifikasi adalah langkah penting untuk memastikan informasi yang diberikan oleh perusahaan benar dan dapat diandalkan.

Kegagalan untuk menggunakan data pemilik manfaat

Koalisi OMS kami juga menemukan adanya risiko kementerian dan lembaga akan memandang pengungkapan pemilik manfaat sebagai persyaratan administratif untuk pengumpulan data. Ini adalah pandangan terbatas – terutama mengingat perusahaan tambang harus mendeklarasikan pemilik manfaat kepada KESDM sebagai bagian dari permohonan izin mereka. Identitas dari pemohon pemilik manfaat dengan keputusan terkait apakah perusahaan harus diberikan izin pertambangan. Undang-Undang konflik kepentingan Indonesia memperjelas bahwa pejabat publik – seperti Supian Hadi – tidak mempunyai wewenang untuk membuat keputusan terkait suatu hal yang berkaitan dengan kepentingan mereka atau kepentingan afiliasi mereka. Data pemilik manfaat tidak bisa hanya dikumpulkan dan disimpat, tetapi harus dimanfaatkan dalam keputusan izin untuk agenda BOT untuk merealisasikan potensinya dalam pemberantasan korupsi, yaitu untuk mencegah dan mendeteksi konflik kepentingan.

Memajukan agenda BOT pada 2021

Dalam Strategi Nasional Pencegahan Korupsi 2021-2022 yang baru saja dirilis, STRANAS PK telah menetapkan standar yang tinggi. Menargetkan tingkat kepatuhan 100% perusahaan yang melaporkan pemilik manfaat mereka.

STRANAS PK juga menetapkan target verifikasi 100% pengungkapan pemilik manfaat sebagai bagian dari permohonan izin ekstraktif oleh kementerian yang berwenang menerbitkan izin. Seperti disebutkan diatas, kurangnya keseragaman format data antara kementerian dapat mempersulit usaha verifikasi.

Meski demikian, target verifikasi dapat meningkatkan permainan dalam agenda BOT di Indonesia, dan ambisi STRANAS PK dalam hal ini harus diakui. Namun, pemerintah juga harus meningkatkan jumlah perusahaan yang mengungkapkan pemilik manfaat mereka dengan memberlakukan disinsentif untuk ketidakpatuhan.

Selanjutnya, pemerintah seharusnya membuat perubahan kebijakan yang lebih fundamental agar penggunaan data pemilik manfaat lebih efektif. Pemerintah harus melarang pejabat publik memiliki perusahaan di sektor terkait dengan kementerian mereka dan juga meregulasi pintu putar dengan industri pertambangan dengan cara mengatur pemasukan dan pengeluaran periode pendinginan untuk mencegah konflik kepenteingan dan pengaruh industri yang tidak semestinya.

Bidang lain yang kurang dalam Strategi Nasional 2021-2022 adalah penggunaan data pemilik manfaat untuk mencegah konflik kepentingan – strategi tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan tindakan penting untuk mencegah korupsi di sektor pertambangan.

Namun demikian, OMS bisa mengambil peran lebih besar untuk mengidentifikasi dan mengekspos pemilik manfaat dengan konflik kepentingan di berbagai macam sektor. Untuk membantu OMS mengawasi perusahaan ekstraktif dan mengungkap hubungan dengan pengambil keputusan pemerintah, PWYP Indonesia, TI-Indonesia, dan Auriga Nusantara membuat sebuah panduan untuk mengidentifikasi pemilik manfaat. Bersama, usaha OMS dan STRANAS PK membuat Indonesia kasus yang menarik untuk disaksikan pada tahun 2021.

Sumber: Transparency International Australia