Video Singkat dari Kick-Off Meeting “Akuntabilitas Sosial dalam Tata Kelola Pertambangan Minerba” pada tanggal 8-9 Maret 2021. Video ini menggambarkan jalannya diskusi sekaligus melihat bagaimana PWYP Indonesia bersama mitra akan berkolaborasi dalam melaksanakan Proyek Akuntabilitas Sosial Sektor Pertambangan. Video hanya tersedia dalam bahasa inggris.


“…bertransisinya dunia dari penggunaan energi fosil ke energi terbarukan tidak lepas dari peran sektor pertambangan. Oleh karena itu, kita tidak boleh melupakan praktik pertambangan yang berkelanjutan dan inklusif untuk mendukung transformasi ke energi terbarukan.”

Balada Amor (Perwakilan Bank Dunia)

Senada dengan pernyataan yang membuka acara “Kick-off Meeting Akuntabilitas Sosial dalam Tata Kelola Pertambangan Minerba” secara virtual pada 8 – 9 Maret 2021 tersebut, proyek Akuntabilitas Sosial Sektor Pertambangan yang digawangi oleh Publish What You Pay (PWYP) Indonesia atas dukungan Program Global Partnership for Social Accountability (GPSA) dan Bank Dunia juga bertujuan untuk mendukung perbaikan tata kelola tambang di Indonesia dengan melibatkan semua pihak terkait, terutama masyarakat sipil dalam rantai perizinan dan penerimaan.

Sektor ekstraktif memainkan peran penting sebagai motor pembangunan di Indonesia. Sayangnya, sektor pertambangan masih identik dengan lemahnya aspek transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik, terutama di dalam proses pemberian dan pelaksanaan izin tambang, mekanisme koordinasi antar-lembaga, mekanisme pengaduan masyarakat, pengelolaan pendapatan dari sumber daya mineral, serta penyusunan regulasi – sebagaimana ditunjukkan dalam proses penyusunan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.

Proyek yang berlangsung sejak November 2020 hingga Maret 2022 ini dilaksanakan di tiga daerah pilot di Indonesia, yaitu Aceh, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. Karenanya PWYP Indonesia menggandeng beberapa mitra untuk berkolaborasi. Mitra dari Aceh adalah GeRAK Aceh, Kaltim digawangi oleh Pokja 30, dan Sultra diwakili oleh LePMIL. Tiap mitra provinsi memiliki frame of reference dan field of experience terkait isu tata kelola tambang di daerahnya masing-masing.

Sementara mitra nasional proyek ini memiliki lingkup pekerjaan yang berbeda-beda, yaitu Polgov-UGM yang berpengalaman dan berpengetahuan tentang industri ekstraktif dan pengelolaan sumber daya alam, akan memberikan pelatihan mengenai peningkatan tata kelola di sektor pertambangan dan mengembangkan pembelajaran proyek. Seknas FITRA bertanggung jawab pada teknis dalam perancangan dan penggunaan alat pemantauan dan analisis anggaran, serta Awrago yang mengurus penggunaan sarana teknologi informasi dalam pengawasan, umpan balik masyarakat, dan penyebarluasan informasi terkait perizinan dan pendapatan, melalui buletin (newsletter) yang terbit secara berkala dalam proyek ini.

Proses yang panjang dan melibatkan banyak mitra ini mengusung satu tujuan bersama, yaitu berkontribusi dalam meningkatkan manajemen dan tata kelola sektor pertambangan di tingkat daerah, khususnya di tiga provinsi (Aceh, Kaltim, dan Sultra), melalui mekanisme akuntabilitas sosial kolaboratif.

Menilik Mekanisme Akuntabilitas Sosial Kolaboratif

Masalah kurangnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam sektor pertambangan di Indonesia ini diidentifikasi dan ditindaklanjuti melalui mekanisme akuntabilitas sosial kolaboratif, yaitu pendekatan yang bertumpu pada keterlibatan masyarakat sipil, di mana warga negara berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung, dalam menuntut akuntabilitas dari penyedia layanan dan pejabat publik.

Akuntabilitas sosial merupakan kombinasi informasi dari Undang-Undang Hak Atas Informasi dan tindakan kolektif untuk perubahan. Alat yang akan digunakan dalam konsep ini contohnya penganggaran partisipatif, pelacakan pengeluaran publik, kartu laporan warga/kartu nilai komunitas (CRC), audit sosial, piagam warga, dan UU Hak Atas Informasi.

Penggunaan mekanisme akuntabilitas sosial pada proyek ini diharapkan berdampak pada peningkatan transparansi dan akses informasi kepada publik, peningkatan pada penanganan keluhan, serta peningkatan akuntabilitas dan pengawasan warga. Kerangka hubungan subjek di dalam akuntabilitas sosial terdiri dari user, policy maker,
dan provider. Ketiganya dihubungkan melalui alur yang berkesinambungan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Secara lebih detail, mekanisme akuntabilitas sosial telah dipetakan menjadi empat poin mekanisme yang kemudian dipecah menjadi beberapa kegiatan proyek. Mekanisme yang pertama adalah pengawasan partisipatif dan hak keterbukaan informasi. Menitikberatkan pada penguatan hak-hak warga negara (community center) dalam melakukan pengawasan dan mengakses informasi terkait perizinan tambang dan pengelolaan pendapatan. Sarana teknologi informasi pun akan dimanfaatkan untuk memenuhi hak warga dalam melakukan pengawasan dan mengakses informasi.

“Kami berharap agar proses pengelolaan tambang dalam proyek GPSA ini bisa mendorong keterlibatan masyarakat dan perempuan menjadi lebih aktif, baik dalam pengelolaan CSR atau persoalan transparansi tambang itu sendiri.”

Edy Saputra (GeRAK Aceh)

Mekanisme kedua adalah pengawasan anggaran, meliputi analisis anggaran dan stakeholder scorecards. Sementara mekanisme ketiga yaitu pengembangan pengetahuan dan kapasitas warga, meliputi penerbitan hasil riset, newsletter, studi kasus, atau buku, juga berbagi pengetahuan dan pengalaman guna meningkatkan kapasitas warga terkait perizinan dan penerimaan tambang, serta dokumentasi kegiatan.

Mekanisme keempat adalah dialog dan perbaikan kebijakan. Bicara soal tata kelola tambang, tak lepas dari pemangku kebijakan dan pemerintah terkait, mulai dari pemerintah daerah hingga pusat. Kegiatan seperti dialog kebijakan yang membahas aspek perizinan, penerimaan negara/daerah, dan mekanisme dimensi tata kelola (transparansi-akuntabilitas-partisipasi) penting dilakukan dalam kerangka proyek Akuntabilitas Sosial Sektor Pertambangan ini.

Proyek ini diharapkan memberikan perubahan bagi tata kelola tambang menjadi lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif bagi masyarakat sipil. Oleh karena itu, terdapat dua indikator keberhasilan proyek, yaitu persentase masalah perizinan diidentifikasi dan ditindaklanjuti, dan persentase masalah pengelolaan pendapatan diidentifikasi dan ditindaklanjuti.

“Harapannya dari program ini untuk warga lingkar tambang agar bisa menentukan pilihannya, terutama tentang segala kebijakan yang berdampak langsung pada mereka, karena dampak dari pasca-operasi ekstraktif ini ditanggung langsung oleh warga di sekitar tambang.”

Buyung (Pokja 30 Kaltim).

Memetakan Bersama Persoalan Perizinan dan Penerimaan Pertambangan di Daerah Pilot Proyek ini berusaha mengidentifikasi, mendalami, dan menyediakan instrumen penyelesaian terhadap masalah terkait perizinan dan manajemen tata kelola tambang di Indonesia, khususnya di tiga daerah pilot. Pada kick-off meeting, mitra provinsi juga memaparkan peta isu tambang di daerahnya masing-masing secara umum.

Sulawesi Tenggara mengawali sesi paparan pemetaan isu strategis terkait perizinan dan manajemen tambang yang berfokus pada pertambangan nikel, dampak penciutan wilayah pertambangan yang melibatkan pemegang Kontrak Karya (KK), pertambangan ilegal yang tidak kunjung teratasi oleh pemerintah, tidak ada kejelasan pada sistem pengaduan warga, peran inspektur tambang yang kurang diketahui publik, serta transparansi alur pemberian izin, potensi suap, mal-administrasi, dan rekonsiliasi atas rekapitulasi data Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Kalimantan Timur berfokus pada isu tambang batu bara, mulai dari keterlibatan masyarakat sekitar tambang dalam perencanaan dan operasi tambang, definisi konflik yang berbeda antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan, pelanggaran aturan oleh perusahaan, tidak adanya tanggung jawab perusahan pada kewajiban sosial dan lingkungan akibat perubahan UU, pertambangan ilegal, minimnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan Amdal, serta banyak perusahaan yang utang pajak dan non-pajak.

“Sebenarnya Kaltim memiliki SDA yang berlimpah, tetapi tata kelola dan penanganan dampaknya masih serampangan. Keterlibatan warga secara langsung pada tiap tahap kegiatan tambang pun sangatlah minim.”

Buyung (Pokja 30)

Aceh juga memfokuskan pemetaan isu pada pertambangan batu bara, transparansi informasi publik, terutama terkait koordinat wilayah pertambangan agar masyarakat memahami posisi keberadaan tambang dan akibatnya bagi masyarakat, isu penertiban IUP, kompensasi kebun warga, pemantauan terhadap bekas lubang tambang/reklamasi, dan pendapatan tambang yang tidak didistribusikan dengan adil.

Strategi Perbaikan Kedepan Sektor pertambangan sebagai sektor penting yang menggerakkan pembangunan suatu negara harus diimbangi dengan tata kelola yang baik, mencakup akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat sipil. Bercermin dari hasil pemetaan isu oleh mitra di daerah, pemanfaatan sumber daya alam harus dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dicapai dengan peningkatan akuntabilitas sosial dan praktik pertambangan yang inklusif terhadap seluruh pemangku kepentingan. Dibutuhkan kolaborasi antara para pihak, baik perusahaan, pemerintah, dan masyarakat di sekitar tambang.

Ditulis oleh

Adzia Rizkika
Communication Specialist Awrago