PONTIANAK | Jumlah unit tambang di Kabupaten Ketapang merupakan yang terbesar di provinsi itu, mencapai 156 unit dengan luasan 1.331.231,50 hektare, menurut hasil riset Swandiri Insitute. Koordinator Swandiri Institute, Hermawansyah menuturkan, Ketapang menjadi penyuplai bauksit terbesar ke China.

Di seantero Kalbar, ada 721 unit tambang dengan luasan 5,07 juta hektar lebih yang tersebar di 12 kabupaten (dari total 14 kabupaten/kota di Kalbar).

“Di satu sisi ini merupakan potensi. Di sisi lain harus dicermati, apakah potensi ini melanggar berbagai kaidah, misalnya peruntukan lahan yang tumpang tindih untuk satu konsesi dengan konsesi lainnya,” kata Hermawansyah, Kamis (10/10/13) di Pontianak

Dia menegaskan, aspek transparansi di bidang pertambangan ini, baik dalam hal transparasi finansial maupun spasial, sama sekali belum populer di Kalbar. Hal ini diperparah dengan masih belum maksimalnya fungsi inspektorat tambang, yang seharusnya melakukan pengawasan.

“Semakin meningkatnya jumlah industri ekstraktif di Kalbar, sudah sangat menjadi kebutuhan adanya pengawasan yang memadai,” kata Hermawansyah.

National Coordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, memaparkan, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak, perusahaan tambang wajib menyetor land rent baik untuk kegiatan eksporasi maupun eksploitasi.

Sesuai PP tersebut, kewajiban land rent dari eksplorasi, ketentuannya dihitung dari luasan konsesi dikalikan USD 2 per hektar per tahun. Sementara untuk land rent dari eksploitasi dihitung dari luasan konsesi dikalikan USD 4 per hektar per tahun.

Terkait analisis finansial, potensi dana bagi hasil land rent untuk sektor pertambangan di Ketapang sebesar Rp 25,03 miliar lebih dengan realisasi Rp 3,6 miliar lebih. Dari angka ini terlihat adanya selisih Rp 21,3 miliar lebih. Selisih ini diduga merupakan kebocoran dana bagi hasil, yang disebabkan beberapa faktor.

Di antaranya penyebab selisih itu akibat luasan lahan konsesi yang berkurang dan tidak diupdate, serta pemerintah daerah yang tidak melaporkan bukti setor dari perusahaan ke pemerintah pusat yang menyebabkan perbedaan data.

Bisa juga, kata Maryadi, selisih itu muncul dugaan yang paling berat, yaitu perusahaan yang tidak menyetor kewajiban membayar iuran tetap itu kepada negara. (ED)

Source : beritakalimantan.co