Tata kelola pertambangan nasional masih berada di ruang abu-abu, mengingat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan UU Nomor 3 Tahun 2020 belum kunjung disahkan. Untuk memahami arah dan tantangan tata kelola pertambangan pasca-pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2020, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengadakan diskusi tematik pada 3 Februari 20211. Di forum ini, PWYP mengundang berbagai stakeholder dari berbagai instansi dan/atau asosiasi, yaitu; Sony Heru Prasetyo Kapokja Pengelolaan Informasi Minerba Ditjen minerba Republik Indonesia, Rizal Kasli Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), dan Prof. Dr. Busyra Azheri, SH., MH, selaku Dekan Universitas Andalas. Acara pada siang itu dimoderatori oleh Anty dari Gemawan.
Di awal forum, Sony memaparkan bagaimana UU No. 3 Tahun 2020 membantu penyempurnaan hukum nasional, di mana fokus pemerintah adalah meningkatkan tahap eksplorasi agar sektor industri Minerba bisa lebih berkelanjutan. Undang-undang tersebut diharapkan dapat meningkatkan tata kelola pemerintahan guna mencapai kepentingan nasional, meningkatkan kepastian hukum dan kemudahan berinvestasi, serta pengelolaan lingkungan yang lebih baik. Sony juga menjelaskan bahwa UU No. 3 Tahun 2020 bertujuan untuk membentuk manajemen reklamasi yang lebih baik guna menuntut kegiatan kriminal.
Implementasi Undang-undang tersebut masih sulit dilakukan mengingat masa transisi dari desentralisasi ke sistem sentralisasi menghadapi risiko, yaitu kemungkinan bertambahnya izin penambangan liar. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat pengawasan.
Rizal dan Dr. Busyra menambahkan, mengenai tantangan dari sudut pandang ahli pertambangan dan kerangka ketatanegaraan. Pada pemaparannya, Rizal menyatakan bahwa dalam transisi pengelolaan pertambangan, diperlukan waktu dan mekanisme yang tepat agar dokumen legal dan status kepatuhannya. Oleh karena itu, diperlukan peran inspektur tambang dalam mengatur pengawasan dan evaluasi. Selain itu, penting bagi inspektur tambang serta pekerja kontrak lokal untuk menguasai teknologi IT dalam pengawasan, seperti menggunakan drone, real time citra satelit, real time reporting untuk memastikan apakah proses sudah berjalan dengan baik.
Dr. Busyra mengatakan, Pasal 4 ayat (2) UU No. 3 tahun 2020 bersifat atributif dalam arti sentralisasi pengelolaan industri mineral dan batu bara, artinya daerah memiliki kewenangan yang lebih kecil. Ini akan menjadi masalah jangka panjang karena pemerintah daerah yang secara teknis lebih tahu tentang kawasan tersebut akan kurang memiliki rasa tanggung jawab karena kurangnya keterlibatan industri pertambangan. Terlebih, kebijakan pembatasan investasi tidak sejalan dengan kebijakan investasi dalam UU Penanaman Modal karena kebijakan pembatasan investasi hanya menguntungkan investor lama. Dianjurkan untuk menyelaraskan undang-undang sesegera mungkin.
Sony juga menyebutkan, pemerintah juga menghadapi masalah lain, yakni minimnya pengawas pertambangan dari pemerintah pusat. Harus dipertimbangkan secara serius perihal banyaknya jumlah penambang yang mengajukan IUP guna menghindari situasi kewalahan dari pihak pemerintah. Forum tersebut juga menegaskan pentingnya pengembangan infrastruktur teknologi informasi untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas, terutama dalam menyajikan data terkait pertambangan yang lebih mudah.
Adanya pengesahan UU No. 3 tahun 2020 menjadi dilema khususnya pada daerah-daerah yang diberikan kewenangan otonomi. Contohnya, Askhalani dari GeRAK Aceh, menyebutkan bahwa berdasarkan PP 3 tahun 2015, Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota Aceh berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan dalam semua sektor publik, kecuali urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. UU No. 3 tahun 2020 yang bersifat sentralistik dalam mengatur pertambangan melahirkan perbedaan cara pandang terhadap kebijakan dalam perizinan Minerba, di mana Pemerintah Aceh menganggap bahwa peraturan perundangan yang baru tidak tunduk untuk diimplementasikan.
Di sisi lain, Maryati Abdullah, Senior Advisor PWYP Indonesia, mengungkapkan keprihatinannya terkait berlakunya UU No. 3 Tahun 2020. Maryati menyebutkan, pemerintah harus belajar dari catatan sejarah dan pengalaman praktik pertambangan negara lain terkait dengan sistem sentralisasi se-komprehensif mungkin. Transparansi dan akuntabilitas harus diterapkan demi mewujudkan praktik penambangan yang baik.
Ditulis oleh
Ersya Safhira Nailuvar
Communication Intern Publish What You Pay (PWYP Indonesia