Tambang ilegal bukanlah kejahatan tersembunyi di Indonesia, melainkan industri yang sudah mengakar dan dilindungi oleh para pemilik kuasa. Praktik ini telah berlangsung selama puluhan tahun dan tetap tak terselesaikan, bahkan di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dalam pidato kenegaraannya, Prabowo berjanji akan menghadapi para jenderal polisi dan militer, baik yang masih aktif maupun pensiunan—yang diduga terlibat dalam bisnis tambang ilegal. Namun, apakah janji itu akan benar-benar berubah menjadi tindakan nyata, dan apakah ia bersedia menyasar aktor intelektual beserta para sekutunya, masih harus dilihat.
Mengutip laporan aparat penegak hukum, Prabowo mengungkap ada sekitar 1.063 lokasi tambang ilegal di seluruh negeri, dengan perkiraan kerugian negara mencapai Rp300 triliun per tahun. Beberapa hari setelah pidato kenegaraan, ia memanggil sejumlah menteri, termasuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia, untuk “membereskan” persoalan ini. Namun tantangannya amat besar: tambang ilegal mencakup beragam komoditas dari batu bara hingga emas dan nikel, masing-masing dengan modus pelanggaran, jaringan aktor, dan lapisan perlindungan yang berbeda-beda.
Berdasarkan Undang-Undang Pertambangan 2025, seluruh kegiatan pertambangan—mulai dari eksplorasi, produksi, pengangkutan, pengolahan, pemurnian hingga penjualan—wajib memiliki izin resmi. Izin tersebut mencakup Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Beroperasi tanpa izin memungkinkan perusahaan menghindari kewajiban membayar royalti, merampas penerimaan negara sekaligus menimbulkan kerusakan lingkungan parah. Namun batas antara legal dan ilegal sering kali kabur. Celah aturan dimanfaatkan, dokumen dipalsukan, dan operasi tanpa izin kerap disamarkan dengan izin resmi.
Kaburnya batas ini terlihat jelas di Balikpapan, Kalimantan Timur, ketika Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menemukan penambang ilegal menggunakan dokumen resmi perusahaan berizin (IUP) untuk mengirim hasil tambang melalui terminal lokal. Aktivitas mereka dilakukan terang-terangan dengan alat berat, menimbulkan kerusakan lingkungan yang nyata, namun tak ada sanksi yang dijatuhkan. Kemudahan mereka beroperasi menunjukkan lebih dari sekadar kelalaian pengawasan; hal itu mengindikasikan adanya perlindungan dari otoritas setempat.
Jaringan tambang ilegal merasuk di semua lapisan masyarakat dan pemerintahan. Mereka melibatkan penambang, pemodal, pemilik lahan, perantara, pejabat pemerintah, hingga aparat penegak hukum yang bertindak sebagai “beking.” Operasi skala kecil di desa bisa dilindungi pemimpin lokal, sementara operasi berskala besar sering mendapat dukungan politisi daerah, elit bisnis, serta anggota polisi atau militer. Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang menangani kasus-kasus ini, tata kelola pertambangan yang terfragmentasi di banyak lembaga membuat pelaku mudah lolos dari jerat hukum dan memperlambat reformasi.
Keterlibatan aparat keamanan menjadi persoalan yang sangat mengkhawatirkan. Di Bangka Belitung, mantan eksekutif PT Timah, Ichwan Azwardi dan Ahmad Haspani, bersaksi bahwa tambang timah ilegal mustahil dihentikan karena mendapat perlindungan polisi. Seorang perwira tinggi polisi, Brigjen Mukti Juharsa, bahkan dituduh mengelola grup WhatsApp untuk mengoordinasikan para pemilik smelter.
Di Solok Selatan, Sumatra Barat, persoalan ini bahkan menelan korban jiwa. AKP Dadang Iskandar, kepala operasi di Polres setempat, menembak mati rekannya, AKP Ryanto Ulil Anshar, yang tengah gencar memberantas tambang pasir dan kerikil ilegal. Laporan menyebutkan pembunuhan itu berawal dari penolakan Ulil untuk membebaskan salah satu rekan Dadang yang tertangkap dalam operasi.
Di Papua, anggota DPR Yan Mandenas secara terbuka menuduh oknum TNI dan Polri melindungi tambang emas dan nikel tanpa izin di Yahukimo, Nabire, dan Raja Ampat. Tuduhan ini mendorong TNI mengumumkan bahwa masyarakat dapat melaporkan kasus semacam itu langsung ke Polisi Militer.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa tambang ilegal di Indonesia bukan sekadar akibat lemahnya penegakan izin, melainkan krisis tata kelola yang mendalam. Lembaga yang seharusnya menegakkan hukum polisi, militer, maupun regulator-justru terlibat dalam melindungi, memfasilitasi, bahkan mengambil keuntungan dari tambang ilegal. Biayanya sangat besar: hilangnya penerimaan negara, kerusakan lingkungan yang berkepanjangan, serta runtuhnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Kekerasan di Solok Selatan juga menyoroti risiko mematikan dari konflik kepentingan di tubuh institusi keamanan.
Menutup celah tata kelola ini membutuhkan lebih dari sekadar aturan izin yang lebih ketat atau denda yang lebih tinggi. Dibutuhkan reformasi institusi, koordinasi lintas lembaga yang lebih kuat, dan akuntabilitas nyata terhadap aparat TNI maupun Polri.
Yang terpenting adalah kemauan politik yang tak tergoyahkan. Jika Presiden Prabowo benar-benar berani menghadapi jejaring pemodal, birokrat, dan aparat nakal yang menopang tambang ilegal, serta memastikan aparat penegak hukum bekerja secara transparan dan solid, Indonesia bisa mulai membongkar struktur mafia di sektor ekstraktif. Tanpa kepemimpinan semacam itu, tambang ilegal akan tetap menjadi krisis ekonomi dan lingkungan—serta simbol nyata ketidakmampuan negara menegakkan keadilan.
Sumber: The Jakarta Post