Semarang – Rancangan Revisi Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah (Raperda RTEW) Provinsi Jawa Tengah 2009 – 2029 telah disahkan menjadi Perda pada sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah pada 15 Oktober 2018. Sedangkan Raperda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Tengah 2018 – 2023 telah disahkan pada 18 Februari 2019. Saat ini, kedua dokumen tersebut masih dalam proses menunggu hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian terkait.

Pertanyaan besar masyarakat Jawa Tengah terhadap kedua dokumen kebijakan yang sangat strategis tersebut adalah sejauh mana hasil akhir pembahasan Raperda RTRW dan RPJMD Jawa Tengah? Apakah benar-benar sudah berpihak kepada kepentingan masyarakat Jawa Tengah, termasuk apakah sudah menjawab adanya potensi bencana ekologi yang mengancam wilayah Jawa Tengah?

Sampai hari ini, publik hampir tidak mendapatkan informasi terkait dengan dokumen akhir pasca paripurna yang mengesahkan Perda RTRW dan Perda RPJMD. Publik kesulitan untuk melihat dan mendengar apa yang terjadi dalam pembahasan-pembahasan kedua Raperda tersebut.

Memang, Pemprov Jawa Tengah, melalui website Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) menyediakan dokumen akhir sebelum diserahkan kepada Panitia Khusus (Pansus) RTRW maupun RPJMD, namun hanya sebatas sampai di sana saja, apa yang terjadi selanjutnya? Gelap.

Memang, Pansus RTRW maupun RPJMD beberapa kali menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk Aliansi Masyarakat Sipil di dalamnya, namun hanya sebatas sampai di sana saja. Lantas, apa yang terjadi selanjutnya? Gelap pula.

Padahal nilai strategis dari kedua kebijakan ini sangat krusial, karena berkaitan dengan nasib masyarakat dan lingkungan Provinsi Jawa Tengah dalam beberapa tahun ke depan.

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang dan Pembangunan Jawa Tengah, mendesak Gubernur dan DPRD Provinsi Jawa Tengah untuk mempublikasikan hasil akhir dokumen RTRW dan RPJMD Provinsi Jawa Tengah.

Revisi RTRW Jawa Tengah Tidak Jawab Problem Ancaman Krisis Ekologis

Pasca paripurna pengesahan Perda RTRW Jawa Tengah, alih-alih publik disuguhkan dengan upaya untuk mencegah terjadinya ancama krisis ekologis, publik disuguhkan dengan “debat” antara Gubernur dengan DPRD, terkait tidak dimasukkan proyek Tol Bawen – Jogja, yang merupakan proyek infrastruktur nasional, yang sejarinya menjadi bagian dari ancaman ekologis

Hasil pantauan Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Tengah menunjukkan bahwa Revisi RTRW Provinsi Jawa Tengah tidak menjawab kegelisahan masyarakat akan bahaya ancaman krisis ekologis.

Terkait Kendeng misalnya, Pansus menyatakan sudah mengakomodir tuntutan masyarakat Kendeng di Pasal 61 yang secara normatif memasukkan kawasan bentang alam karts (KBAK) Sukolilo yang meliputi Kabupaten Pati, Blora, dan Grobogan seluas 7.180 ha, dan Kawasan cekungan air tanah (CAT) Watuputih di Rembang sebagai kawasan lindung geologi.

Namun, Perda RTRW masih memberikan peluang bagi industri pertambangan untuk beraktivitas di sekitar wilayah CAT Watuputih. Padahal Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kendeng menyatakan agar dilakukan perubahan orientasi dari sebelumnya “Kawasan Andalan Wanarakuti dengan sektor unggulan antara lain pertambangan” diubah menjadi “Kawasan Andalan Wanarakuti dengan orientasi pada sektor unggulan budidaya dan konservasi”. Titik berat konservasi diletakkan pada restorasi kawasan yang sudah mengalami kerusakan dengan maksud untuk memulihkan fungsi imbuhan/resapan air kawasan Pegunungan Kendeng. Sementara KLHS Kendeng tahap I menyatakan “peruntukan ruang di CAT Watuputih diarahkan menjadi peruntukan tunggal yakni sebagai kawasan lindung.”

Perda RTRW Jawa Tengah juga masih mengakomodir penambahan PLTU di Pemalang, padahal daya dukung lingkungannya sudah tidak memungkinkan untuk adanya pembangunan PLTU baru di Jawa Tengah.

Pansus RTRW Jawa Tengah meng-klaim adanya perluasan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B) menjadi sebesar 1.025.787 hektare, naik dari draft awal yaitu 1.021.686 hektare. Nyatanya, hasil revisi RTRW Jateng tahun ini justru menghilangkan 878.239 ha, yang didapat dari perbandingan dalam Pasal 73 dan 74 Perda lama yang menyebutkan luas lahan pertanian berjumlah 990.652 hektare untuk lahan basah, dan 955.587 hektar untuk lahan kering.

(Salah) Arah RPJMD Provinsi Jawa Tengah ?

Sebagai penunjuk arah perencanaan pembangunan selama 5 (lima) tahun ke depan, RPJMD Jawa Tengah, ternyata belum mampu menjawab permasalahan-permasalahan secara faktual dengan apa yang terjadi di Jawa Tengah, terutama terkait dengan mitigasi bencana dan penanggulangan kemiskinan.

Rancangan teknokratis RPJMD Jawa Tengah dapat menemukenali tantangan dan fakta bahwa 22 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dalam kategori resiko tinggi rawan bencana. Sayangnya, dalam perencanaan program pembangunannya belum mampu menjawab bagaimana mitigasi terhadap bencana termasuk adaptasi perubahan iklimnya.

Misalnya, apakah rencana pembangunan infrastruktur yang masih menjadi “primadona” sudah memperhatikan daya dukung dan terutama memiliki mitigasi resiko bencana?

Sejauh mana strategi penanggulangan kemiskinan dikaitkan dengan fakta bahwa dalam 5 (lima) tahun terakhir angka kemiskinan Provinsi Jawa Tengah masih di atas rata-rata nasional?

Sejauh mana RPJMD Provinsi Jawa Tengah mengadopsi tujuan Sustainable Development Goals (SDG’s) bukan hanya dalam latar belakang saja. Tapi, apakah sudah tercermin dalam program dan strateginya? Apalagi KLHS Kendeng Tahap II secara jelas merekomendasikan adanya integrasi antara tujuan SDG’s dengan dokumen RPJMD dan RTRW Provinsi Jawa Tengah

Dokumen RPJMD Jawa Tengah, sekali lagi, dalam menemukenali persoalan dan tantangan sudah cukup berhasil. Hanya saja, dalam konteks penyusunan strategi dan program-nya masih belum tajam dan cenderung masih konvensional.

Tentu saja Aliansi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang dan Pembangunan Jawa Tengah akan terus mengawal dan memastikan Perda RTRW dan RPJMD Jawa Tengah benar-benar sejalan dengan kepentingan jangka masyarakat, bukan hanya kepentingan pendek atau pun kepentingan investor semata.

 

Narahubung:

Zainal Arifin (LBH Semarang)
arifin.jaynal@gmail.com
081391282443

Andri Prasetiyo (Publish What You Pay Indonesia)
andri@pwypindonesia.org
087883453112