Pada 19 November 2024, Presiden Prabowo menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil, dimana ia menegaskan komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission (NZE) sebelum tahun 2050. Dalam upaya mewujudkan visi besar ini, Presiden Prabowo menyebut strategi peningkatan penggunaan biodiesel dari kelapa sawit serta pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan pembangunan pembangkit listrik dari energi terbarukan berkapasitas hingga 75 GW dalam 15 tahun.1
Hal ini, pangkasnya, demi mengatasi supaya perubahan iklim tidak memperburuk kemiskinan dan kelaparan.
“Indonesia menderita akibat perubahan iklim. Secara langsung, wilayah pesisir kami sekarang tergenang oleh kenaikan permukaan laut sebesar 5 cm per tahun. Kami kehilangan ratusan ribu hektar lahan produktif dan subur. Petani dan nelayan kami sekarang hidup dalam kondisi sulit ini yang akan memperburuk kemiskinan dan kelaparan. Oleh karena itu, bagi Indonesia tidak ada alternatif lain”, tegasnya di hadapan sejumlah pemimpin dunia.2
Sudah sangat tepat bahwa Indonesia kehabisan pilihan lain dalam mengatasi ancaman perubahan iklim yang didorong oleh aktivitas manusia. Akan tetapi, hal tersebut harus berangkat dari semangat bahwa transisi energi untuk mengatasi perubahan iklim bukan hanya soal NZE.
Transisi energi adalah tentang bagaimana mengatasi ketidakadilan dari kerakusan segelintir manusia yang melampaui batas-batas daya dukung lingkungan dan merampas hak mayoritas yang paling terdampak dari kerusakan tersebut.
Mengutip catatan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, bahwa transisi energi yang berkeadilan tidak dapat dilepaskan dari persoalan mendasar dimensi sosial dan ekonomi-politik paradigma pembangunan ekonomi ekstraktif.3 Tidak cukup jika hanya membayangkan peralihan dari adopsi satu teknologi menuju teknologi yang lain saja.
Hal ini menyiratkan sebuah perubahan paradigma dari kalkulasi-kalkulasi jangka pendek dan sempit menuju gagasan-gagasan progresif yang lebih luas dan berorientasi pada masa depan.
Alih-alih ambisius, NZE yang dipatok sebagai satu-satunya target berisiko untuk membatasi lingkup transisi energi hanya kepada permasalahan-permasalahan sektoral yang selalu dijustifikasi melalui kacamata pertumbuhan ekonomi saja. Ini karena transisi energi yang tidak sekedar ‘omon-omon’ adalah transisi energi yang mengakui interseksionalitas dampak krisis iklim.
Kita harus membiasakan diri membayangkan bahwa kesehatan lingkungan adalah bagian dari kesehatan manusia ketika membicarakan transisi energi dalam konteks krisis iklim. Konsekuensinya, pemerintah juga harus memperhatikan isu sosio-ekologis selain target emisi karbon seperti kesenjangan, konsumsi berlebihan, kesehatan, atau keanekaragaman hayati.
Apakah betul, misalnya, penggunaan biodiesel atau konversi transisi energi PLTU ke energi baru terbarukan dapat membantu petani dan nelayan yang disebut-sebut paling menderita dari krisis iklim? Ketika Presiden Prabowo berbicara soal konversi PLTU menuju energi baru terbarukan, sebesar apa peran energi terbarukan di sana?
Menghindari Eksploitasi Ekstraktif untuk Transisi Energi Berkelanjutan
Jika Presiden Prabowo menyayangkan degradasi lingkungan ratusan ribu hektar lahan yang terendam akibat kenaikan permukaan laut, maka Presiden Prabowo juga harus merasa kehilangan akibat dampak deforestasi terhadap ruang hidup masyarakat adat dan integritas ekosistem.
Nyatanya, pemerintah Indonesia selama ini melazimkan deforestasi untuk pertumbuhan ekonomi.4 Sebagai contoh, deforestasi legal pada tahun 2022 sendiri mencapai hingga 65,1 ribu hektare di konsesi sawit dan perhutanan.5 Ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 29,261 hektare lahan pesisir yang hilang akibat kenaikan air laut selama lima belas tahun (2000-2014).6
Kerusakan lingkungan akibat eksternalitas adalah satu hal, secara sengaja merencanakan kerusakan lingkungan itu sendiri adalah hal yang lain. Hal ini juga tertera pada dokumen Nationally Determined Commitment (NDC) Perjanjian Paris Indonesia yang tidak mengadopsi deforestasi nol dalam strateginya.
Demi mendukung supaya kebijakan Presiden Prabowo tidak menjadi ‘omon-omon’, maka target menuju NZE seharusnya tidak memperpanjang mentalitas ekstraktivisme yang menghasilkan kerusakan lingkungan.
Perlu adanya evaluasi mendasar terhadap komodifikasi sumber daya alam untuk memastikan bahwa keberlanjutan tidak dicapai dengan mengorbankan kerusakan ekologi lebih lanjut.
Sebagai contoh, promosi biodiesel sebagai sumber energi terbarukan harus mempertimbangkan implikasi yang lebih luas, seperti konsumsi berlebihan akibat ketergantungan pada penggunaan kendaraan dan ancaman deforestasi dari kebutuhan produksi biodiesel.
Selain itu, biodiesel yang bersumber kelapa sawit berarti semakin menggantungkan beban transisi energi kepada lingkungan. Akan terlalu banyak energi yang dihabiskan hanya untuk mendukung solusi-solusi jangka pendek yang seperti itu. Di saat yang bersamaan, terdapat energi terbarukan seperti surya dan tenaga angin berbasis komunitas yang belum banyak didukung.
Presiden Prabowo akan sangat terbantu jika merujuk pada catatan masyarakat sipil mengenai solusi palsu dalam transisi energi. Masyarakat sipil telah berulang kali mengingatkan tentang potensi risiko dari pemanfaatan energi berbasis biomassa.
Sebagai contoh, praktik co-firing, yang tidak mampu sepenuhnya menggantikan peran PLTU, justru dapat memperburuk situasi dengan mendorong intensifikasi dan ekspansi lahan untuk kebun energi.
Ini berisiko menggeser elemen penting dari kekayaan Indonesia, yaitu keanekaragaman hayati, yang sering dibanggakan namun sayangnya sering diabaikan sebagai aset berharga.
“Pemanfaatan biomassa wood pellet sebagai sumber energi hanya akan menghasilkan utang emisi karena berasal dari kerusakan hutan alam. Dimana, hutan alam adalah salah satu ekosistem yang paling banyak menyimpan karbon dibanding hutan tanaman. Dalam 1 hektar hutan alam dapat menyimpan karbon sebanyak 245 ton karbon. Sedangkan hutan tanaman dapat menyimpan karbon hanya 107,86 ton karbon per hektar”, kata Anggi Putra Prayoga, Manager kampanye, advokasi dan media FWI.7
Perlu berhati-hati jika memang terlalu memaksakan diri dan terus bergantung pada konversi lahan dan deforestasi. Ekstraktivisme seperti ini tidak berbicara tentang net negatif dan hanya akan menggeser emisi yang keluar ke pembukaan lahan.
Khususnya di Indonesia, berdasarkan data pada periode 2000-2023 yang dihimpun oleh Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca Dan Monitoring, Pelaporan Dan Verifikasi, memang menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) lebih besar didorong oleh sektor kehutanan.8
Seperti yang sudah disebutkan oleh Presiden Prabowo di awal, kita tidak bisa main-main. Pilihan Indonesia terbatas: krisis iklim yang semakin parah akan semakin merugikan masyarakat kecil.
Mendorong Keterbukaan dan Partisipasi Masyarakat
Kita memerlukan tata kelola demokratis dan berprinsip pada keadilan. Jangan sampai kita justru membuka celah baru.
Pasalnya, Indonesia juga mendukung pengembangan PLTU captive untuk ekspansi industri-industrinya. Seperti deforestasi, pemerintah pun juga ingin memperpanjang terlebih dahulu umur energi fosil PLTU ini.
Jika hal ini tidak disikapi dengan kritis, Indonesia berisiko terus-menerus merugikan dirinya sendiri melalui kebijakan yang tidak berkelanjutan.
Pemerintah dapat mengambil langkah konkret dengan secara transparan membuka data tentang dampak sosial dan lingkungan kepada publik. Langkah ini penting untuk mengurangi asimetri informasi antara pembuat kebijakan dan masyarakat sebagai penerima manfaat serta memastikan supaya setiap tata kelola sumber daya energi tidak melampaui batas biofisik lingkungan.
Transisi energi sejati, yang tidak hanya ‘omon-omon’, memerlukan partisipasi aktif masyarakat sebagai pengawas dalam setiap kebijakan transisi energi yang bersifat multisektoral.
Selain itu, Presiden Prabowo dapat berperan lebih aktif dalam melindungi kepentingan masyarakat sipil dan lingkungan, memastikan agar kepentingan industri tidak mengorbankan mereka.
Selama sepuluh tahun terakhir, pemerintah terkesan terlalu fokus menjadi administrator para oligarki dan kepentingan-kepentingan mereka. Sangking seriusnya, berbagai macam bentuk deregulasi dilakukan hanya demi mengundang investasi asing masuk.
Artinya, pemerintah tidak pernah kekurangan political will dan bisa menerapkannya juga untuk memprioritaskan peluang Indonesia menjadi pemimpin global dalam agenda transisi energi berkeadilan.
Hal ini dapat diperbaiki dengan kepemimpinan Presiden Prabowo yang akan menjaga semangat Ekonomi Pancasila dalam Asta Cita. Paham ekonomi yang membuka lebar kesempatan berinovasi dengan kebebasan pasar, tetapi juga memperhatikan dan menjamin jaring pengaman sosial untuk masyarakat yang paling lemah.
Itu semua dapat terlaksana apabila Presiden Prabowo juga menyadari perannya untuk berpihak pada kepentingan ekologi sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari aspirasi kesejahteraan sosial dalam pembangunan yang dicanangkan. Ketika dilanggar, maka kita hanya akan menutup lubang dengan membuka lubang yang lain. Perlu diingat, tidak ada kesejahteraan di bumi yang mati.
- Sesi Ketiga KTT G20 Brasil, Presiden Prabowo Tegaskan Komitmen Indonesia pada Pembangunan Berkelanjutan dan Transisi Energi. https://www.presidenri.go.id/siaran-pers/sesi-ketiga-ktt-g20-brasil-presiden-prabowo-tegaskan-komitmen-indonesia-pada-pembangunan-berkelanjutan-dan-transisi-energi/
- Pernyataan Presiden Prabowo pada Sesi Ketiga KTT G20 Brasil, 19 November 2024 https://www.youtube.com/watch?v=upjeBhV5Tj4
- Pengarusutamaan Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) dalam Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia https://pwypindonesia.org/id/pengarusutamaan-kesetaraan-gender-disabilitas-dan-inklusi-sosial-gedsi-dalam-transisi-energi-berkeadilan-di-indonesia/
- Deforestation in Indonesia hits record low, but experts fear a rebound https://news.mongabay.com/2021/03/2021-deforestation-in-indonesia-hits-record-low-but-experts-fear-a-rebound/
- KLAIM DEFORESTASI KLHK: Titik Terendah atau Beda Cara Hitung? https://fwi.or.id/klaim-deforestasi-klhk-berbeda-dengan-ngo
- Indonesia has lost land equal to size of Jakarta in last 15 years
https://www.thejakartapost.com/news/2019/07/07/indonesia-has-lost-land-equal-to-size-of-jakarta-in-last-15-years.html - Kebun Energi IGL, Proyek HTE yang Mendorong Deforestasi Hutan Gorontalo https://fwi.or.id/proyek-hte-yang-mendorong-deforestasi-hutan-gorontalo/
- Emisi GRK nasional https://signsmart.menlhk.go.id/v2.1/app/