Liputan6.com, Jakarta Asian Development Bank (ADB) kembali mengingatkan sektor keuangan di Indonesia untuk terus berkontribusi dalam mendukung upaya mencegah perubahan iklim.

Senior Financial Sector Specialist di ADB, Benita Ainabe menegaskan, dampak perubahan iklim bukan hal yang dapat diabaikan, terutama di sektor keuangan.

Oleh karena itu, di masa depan, diperlukan lebih banyak dukungan finansial langsung serta kebijakan dan program yang berkelanjutan meski sudah ada kebijakan yang mendorong penjagaan lingkungan,” kata Benita dalam webinar diskusi ADB. Selasa (29/8/2023).

Benita menyampaikan, tindakan bersama sangat penting untuk mendukung keuangan ramah lingkungan, termasuk inovasi yang menghubungkan upaya inklusi keuangan dengan penyediaan layanan energi ramah lingkungan bagi masyarakat di pedesaan, dan mereka yang masih belum terjangkau jaringan listrik di Indonesia, atau kurang terlayani kebutuhan energinya.

“Keuangan daerah, dan khususnya obligasi daerah. Mengapa ini penting? karena pada dasarnya hal itu mengarah ke infrastruktur,” ujarnya.

Infrastruktur yang tidak memadai, yang sebagian besar disebabkan oleh rendahnya investasi di masa lalu di Indonesia, merupakan hambatan utama bagi pertumbuhan inklusif di dalam negeri.

“Pemerintah menyadari hal ini dan oleh karena itu memulai agenda pembangunan infrastruktur yang ambisius, yang mencakup peningkatan belanja sektor publik secara signifikan, serta reformasi kebijakan dan kelembagaan yang menciptakan lingkungan yang mendukung kemitraan pemerintah dan swasta, dan investasi sektor swasta secara umum,” lanjutnya.

Pendanaan Infrastruktur

Meskipun pendanaan infrastruktur pemerintah pusat dan daerah meningkat, Benita menyebut, pengeluaran tahunan masih jauh dari perkiraan kebutuhan investasi.

“Angkanya telah meningkat dari tahun ke tahun, namun sektor swasta harus memainkan peran yang berarti dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia,” imbuhnya.

“Oleh karena itu, ADB dan mitra pembangunan lainnya telah bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, termasuk di daerah, untuk melakukan percontohan skema penerbitan obligasi daerah, untuk membangun kapasitas, memperkenalkan peraturan yang relevan, dan pada dasarnya membuat mereka siap menghadapi pasar modal,” ungkap Benita.

ADB memperkirakan, Indonesia kemungkinan akan memilih obligasi obligasi umum (general bond) pada tahap pertama, dan obligasi ramah lingkungan (green bond).

ASEAN Bisa Kehilangan 37,4 Persen PDB di 2048 Jika Mitigasi Perubahan Iklim Tak Dijalankan

Ilustrasi perubahan iklim (AFP)

Sebelumnya, Indonesia akan menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN 2023 pada 5-7 September 2023. Salah satu hasil kesepakatan yang ditunggu-tunggu masyarakat dari KTT ASEAN ini adalah upaya para pemimpin ASEAN dalam merespons dampak perubahan iklim.

Peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Mouna Wasef menjelaskan, kawasan Asia Tenggara lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim. Secara geografis misalnya, sebagian besar populasi berada di wilayah pesisir dan kepulauan, sangat beresiko atas naiknya permukaan air laut.

Intensitas banjir, angin topan, dan bencana akibat cuaca ekstrem di kawasan ini juga cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Mouna mengatakan, ASEAN berada di garis depan dalam risiko iklim. Dengan menggunakan skenario suhu global rata-rata bertambah 2,3 derajat celsius pada tahun 2050, 600 juta penduduk Asia berpotensi dilanda gelombang panas tahunan; 75 persen potensi kerugian ekonomi akibat banjir tahunan; dan meningkatnya tiga atau empat kali curah hujan ekstrem di sejumlah wilayah Asia, termasuk kawasan ASEAN.

“ASEAN sebagai sebuah kawasan dapat kehilangan 37,4 persen Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2048 jika mitigasi perubahan iklim dan transisi energi tidak dilakukan,” kata dia dalam keterangan tertulis, Minggu (27/8/2023).

Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand akan kehilangan output perekonomian dengan total lebih dari tujuh kali lipat PDB pada tahun 2050.

“Dengan PDB Indonesia yang saat ini mencapai Rp21.000 triliun, maka Indonesia berpotensi akan mengalami kerugian senilai Rp 147.000 triliun jika tidak melakukan mitigasi perubahan iklim.” tambah Mouna.

Harapan dan ekspektasi tinggi publik terhadap hasil KTT ke-43 ASEAN 2023 dalam merespon isu perubahan iklim harus diiringi dengan adanya concrete deliverable sekaligus komitmen tinggi dalam implementasinya.

“Harus diakui, masih banyak pesimisme terhadap pelaksanaan komitmen pemimpin ASEAN dikarenakan adanya ‘prinsip non campur tangan’ dan penghormatan terhadap kedaulatan nasional sebagai faktor penghambat. Selain itu, tidak adanya mekanisme akuntabilitas terhadap dokumen komitmen juga jadi faktor penghalang.” jelas Mouna.

Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca

Para ilmuwan mengatakan perubahan iklim global dan dampak dari fenomena cuaca El Nino, berada di balik rekor suhu panas itu.

ASEAN sebenarnya sudah memiliki sejumlah dokumen komitmen untuk mengatasi dampak perubahan iklim, melalui percepatan transisi energi, diantaranya ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation 2016 – 2025, ASEAN Energy Outlook 2017 – 2040, dan ASEAN Joint Statement on Climate Change COP23.

Dalam Rencana Kerjasama Energi ASEAN Tahap II 2021-2025, telah ada komitmen untuk mengurangi 25% emisi gas rumah kaca pada tahun 2030. Juga untuk meningkatkan porsi energi terbarukan menjadi 23% pada tahun 2025 dari total pasokan energi primer.

“Lagi-lagi pertanyaannya sama, apakah ada mekanisme akuntabilitasnya? Jika ada komitmen tidak dilaksanakan oleh negara anggota ASEAN, adakah konsekuensinya?”

Untuk itu, peran Indonesia sebagai Keketuaan ASEAN 2023 sekaligus negara demokrasi terbesar di kawasan sangat strategis untuk dapat mengarahkan sekaligus memberikan contoh konkret dan komitmen mempercepat pelaksanaan transisi energi.

“Kami juga mendesak para Pemimpin ASEAN, khususnya Pemerintah Indonesia untuk dapat lebih banyak memberikan ruang bagi keterlibatan publik, termasuk organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan jurnalis dalam sejumlah pembahasan terkait transisi energi di forum-forum ASEAN” tegas Mouna.

Sumber: Liputan6.com