Merdeka.com – Draf undang-undang pengampunan nasional yang bakal dimatangkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus menuai kontroversi. Kehadiran beleid itu dinilai bisa menjadi cermin ketidakadilan dan kekalahan pemerintah melawanpraktik kejahatan perpajakan dan keuangan.
“Kami menolak RUU pengampunan nasional karena tidak mencerminkan keadilan dan menunjukkan pemerintah menyerah terhadap yang dilakukan oleh perusahaan,” kata A.H Maftuchan, Koordinator Forum Pajak Berkeadilan, dalam siaran pers, kemarin.
Sebaliknya, FPB meminta pemerintah membentuk satuan tugas anti-aliran uang ilegal. Mengingat, Indonesia dinilai berada pada kondisi darurat aliran uang ilegal.
“Pada 2003 total aliran uang ilegal dari Indonesia ke luar negeri ditengarai mencapai Rp 141,82 triliun meningkat menjadi Rp 227,75 triliun pada 2014.”
Hal tersebut membuat Indonesia termasuk lima negara dengan jumlah aliran uang ilegal terbesar di dunia. Itu setelah China, Rusia, India, dan Malaysia.
Khusus pertambangan, penaikan aliran uang ilegal dinilai sangat fantastis. Sepanjang 20032014, besaran penaikannya mencapai 102,43 persen atau rata-rata 8,53 persen per tahun.
Pada 2003 total aliran uang ilegal di pertambangan ditengarai mencapai Rp 11,80 triliun. Sebelas tahun kemudian naik menjadi Rp 23,89 triliun.
“Aliran uang ilegal di sektor pertambangan diakibatkan oleh adanya transaksi perdagangan faktur palsu (trade mis-invoicing). Hal ini terjadi karena maraknya tambangtambang ilegal yang beroperasi dan terjadi ekspor komoditi pertambangan yang tidak tercatat,” kata Wiko Saputra, Peneliti Kebijakan Ekonomi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.
Besarnya aliran uang ilegal dinilai menjadi indikasi maraknya penghindaran pajak melibatkan perusahaan pertambangan di Indonesia. Dasarnya, penerimaan pajak pertambangan yang hanya sebesar Rp 96,9 triliun.
“Bandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertambangan yang mencapai Rp. 1.026 triliun. Artinya, nisbah penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) sektor pertambangan hanya sebesar 9,4 persen.”
Sumber: di sini.