*Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan judicial review atas Pasal 7 Huruf r Undang-Undang (UU) nomor 8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah inkumben, menjadi babak baru tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia. UU tersebut dibatalkan karena dianggap membatasi hak konstitusional warga negara.
Putusan perkara nomor 33/PUU-XIII/2015 tersebut mencuatkan kembali polemik di ranah publik tentang dampak dari politik dinasti terhadap ekonomi dan usaha membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan antikorupsi. Pengalaman politik dinasti yang telah berlangsung selama ratusan tahun di negara tetangga kita, Filipina sebaiknya menjadi pelajaran buat kita.
Riset yang dilakukan oleh Center for People Empowerment in Governance menyebutkan praktik politik dinasti terjadi di 94% provinsi atau sebanyak 73 dari total 80 provinsi di Filipina. Riset tahun 2013 itu juga mencatat, terdapat politik dinasti tunggal yang memonopoli kekuasaan di 6 provinsi di Filipina selama 25 tahun terakhir.
Praktek politik dinasti di Indonesia mulai terjadi pasca pemberlakukan otonomi daerah, khususnya sejak bergulirnya pemilihan kepala daerah (pilkada) pertama kali tahun 2005. Kendati demikian, secara geneologis sebenarnya sejumlah daerah dimana politik dinasti terjadi, telah memiliki rahim sejak era orde baru.
Akselerasi kemunculan politik dinasti terlihat dari sekitar 500-an titik dengan kasus percobaan politik dinasti yang terjadi pada provinsi dan kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada. Berdasarkan data Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2013, diketahui proporsi kabupaten yang mempraktekan politik dinasti mencapai 11% dari total seluruh kabupaten di Indonesia.
Fakta di atas tersebut cukup menarik karena hanya dalam rentang delapan tahun dari digelarnya pilkada pertama, pertumbuhan percobaan politik dinasti di Indonesia terbilang cukup tinggi jika dibandingkan di Filipina yang telah berlangsung ratusan tahun.
Disinsentif Ekonomi
Putusan MK ini juga patut diwaspadai karena politik dinasti berpotensi memberikan disinsetif bagi ekonomi. Alih-alih mendorong pemerintahan yang akuntabel dan antikorupsi, politik dinasti malah berpotensi melanggengkan perilaku rente kebijakan politik yang hanya dikuasai oleh lingkaran dalam (inner circle) politik dinasti yang sedang berkuasa.
Hal ini yang akhirnya memunculkan kondisi yang disebut Barbara Harris-White sebagai praktik informal economy. Penelitiannya di India menunjukkan praktik informal economy terjadi mengutamakan pola kekerabatan dan cenderung bersifat intimidatif. Akibatnya, timbul sejumlah permasalahan berkelanjutan bagi sektor ekonomi seperti terhambatnya pertumbuhan ekonomi, jerat kemiskinan dan korupsi yang merajalela.
Temuan serupa oleh Mendoza et al (2013), yang menemukan hubungan antara politik dinasti dengan langengnya kemiskinan di beberapa provinsi di Filipina. Lebih lanjut, ditemukan bahwa praktik politik dinasti membuat kompetisi politik dan akuntabilitas menjadi lemah yang akhirnya berkontribusi dalam mempertahankan angka kemiskinan di beberapa provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan ekstrim. Sayangnya, seringkali segmen terbesar dari populasi pemilih yang mendukung calon dari politik dinasti juga berasal dari masyarakat miskin.
Lebih berbahaya lagi, politik dinasti berpotensi melanggengkan pemerintahan yang korup. Ashikur Rahman (2013) dalam disertasinya di London School of Economics menemukan negara dengan pengaruh rezim politik dinasti yang kuat rata-rata lebih korup dibandingkan dengan yang tidak menjalankan politik dinasti. Sebagai contoh, dua kasus yang sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyeret mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amin dan Mantan Bupati Tanah Laut, Ardiansyah. Selain memiliki kemiripan karena korupsi mereka menyasar sumberdaya alam (gas alam dan batubara), keduanya menggunakan kuatnya cengkeraman pengaruh dan hubungan dengan kepala daerah inkumben yang tak lain adalah anak kandungnya sendiri.
Korupsi SDA
Meski kini telah ada UU nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengembalikan kewenangan sejumlah izin sumberdaya alam seperti kehutanan, tambang dan kelautan dari kabupaten ke provinsi. Namun, potensi praktik korupsi di sektor industri yang berfokus pada sumber daya alam (tambang, minyak dan gas, kehutanan, perikanan, dan lainnya) masih terbuka lebar apabila klan politik dibiarkan mengembangkan sayapnya di berbagai dinas dan level pemerintahan.
Temuan koordinasi dan supervisi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bekerjasama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral selama periode 2014-2015, menemukan carut marut tata kelola pertambangan mineral dan batubara. Buruknya tata kelola minerba yang merugikan negara hingga puluhan triliun ini, tidak terlepas dari tata kelola pemerintahan yang buruk oleh kepala-kepala daerah. Praktek yang umum terjadi mulai dari pemberian izin usaha pertambangan yang tidak terkontrol, tumpang tindih izin, pemberian izin di kawasan konservasi, kerusakan lingkungan akibat minimnya pengawasan operasi pertambangan, ketidakpatuhan kewajiban pembayaran oleh industri yang merugikan negara, hingga pengelolaan penerimaan dari sumber daya alam yang tidak efektif menanggulangi kemiskinan, khususnya yang terdampak dan tinggal di sekitar industri pertambangan.
Memberi jalan bagi politik dinasti sama saja dengan memaklumi dan mengijinkan generasi pemerintah daerah yang berkualitas rendah ini untuk meneruskan kebobrokannya. Lebih parahnya, politik dinasti ini seolah menggelar karpet merah untuk kepala daerah untuk membangun benteng-benteng kekuasaan untuk melanggengkan praktek buruk pengelolaan sumber daya alam. Alih-alih memperbaiki praktek buruk pendahulunya, kuatnya kekerabatan berpotensi membuat kepala daerah akan berusaha menutupi kesalahan pendahulunya, bahkan memperkuat cengkeraman dinastinya.
Belajar dari pengalaman di Bangkalan, Tanah Laut, serta kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah yang masih terus menghiasi media, politik dinasti ini penting untuk diantisipasi sejak dini. Upaya pencegahan patut diperkuat, tentunya juga disertai dengan memaksimalkan peran penegak hukum dan pengawasan oleh publik.
Kita tentunya wajib menghormati putusan MK ini. Kita juga berhak menghormati hak konstitusional setiap warga negara untuk terlibat dalam pemerintahan, apapun latar belakang keluarganya. Namun tidak bisa dipungkiri, putusan ini menjadi peringatan siaga buat seluruh komponen masyarakat yang merindukan pemerintahan yang bersih dan amanah. Kita tidak boleh melupakan pengalaman pahit dari maraknya praktek penyimpangan politik dinasti yang malah kontraproduktif dengan semangat membangun pemerintah yang bersih dan antikorupsi.
Agung Budiono adalah peneliti Publish What You Pay Indonesia, organisasi koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akutabilitas sektor ekstraktif.