21 Juni 2015, Andi Fachrizal, Sanggau, Kalimantan Barat
Jauh dari kesan mewah, kantor itu berdiri sederhana di Jalan Tanjungpura Gang Irian No A1 Pontianak. Hanya menempati rumah toko yang sempit, di situlah manajemen PT. Mahkota Karya Utama (MKU) memainkan perannya di sektor pertambangan bauksit.
Tak seperti di Desa Sejotang, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, tempat di mana perusahaan ini beroperasi. Kemewahan kantornya, seperti menciptakan peradaban baru di tengah pedalaman Kalimantan Barat yang sunyi.
Masyarakat Dayak Tobag yang mendiami Desa Sejotang menyebut, kantor PT. MKU berdiri di sekitar Danau Semenduk. Namun danau seluas 41,5 hektar itu, kini tinggal nama. Wujudnya sudah berubah menjadi gundukan tanah sisa tambang bauksit. Industri ekstraktif itu telah merenggutnya sejak 2011.
Padahal, jauh sebelum beroperasi, Danau Semenduk tumpuan hidup warga Sejotang dan desa-desa sekitarnya. Nelayan dapat mencari ikan saban hari untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya.
PT. MKU masuk ke wilayah Desa Sejotang dan bersosialisasi dengan warga pada 2010. Dapat persetujuan warga desa dengan berbagai syarat, perusahaan tambang ini pun mulai beroperasi pada 2011.
“Kami tidak menyangka kalau perusahaan akan menimbun Danau Semenduk. Waktu itu danaunya masih berstatus sengketa dengan Desa Kawat. Desa tetangga mengklaim danau ini milik mereka,” kata Ng Liefa, Kepala Dusun Semenduk, Rabu (10/6/2015).
Pernyataan itu dikemukakan Liefa ketika para jurnalis dan aktivis dari Lembaga Gemawan dan Yayasan Perspektif Baru mengunjungi danau yang kini telah menjadi gundukan bauksit. Hadir pula sejumlah peneliti dari Swandiri Institute guna membantu masyarakat melakukan pemetaan partisipatif dengan bantuan teknologi drone (pesawat tanpa awak).
Sejak menjadi sengketa, Danau Semenduk akhirnya baru kembali ke pangkuan warga Desa Sejotang pada 2014. Namun, kondisinya sudah tidak dalam bentuk seperti sediakala. Masyarakat sangat dirugikan, sebab yang ada hanya limbah bauksit.
Kepala Desa Sejotang, Pius Tomi, memaklumi kegalauan kepala dusunnya. Menurutnya, Danau Semenduk adalah hamparan danau-danau kecil. Dulu, masyarakat menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan di danau ini.
Sekitar 1980-an, Danau Semenduk sudah masuk dalam wilayah administrasi Desa Sejotang. Kala itu, jumlah desa di Kecamatan Tayan Hilir terbilang sangat banyak hingga mencapai 85 desa.
Seiring perkembangan, pemerintah akhirnya melakukan regrouping dan menyisakan 15 desa. Terjadilah perubahan batas-batas desa. Ujung-ujungnya, Danau Semenduk yang secara geografis sebelumnya masuk ke desa Sejotang, beralih masuk ke Desa Kawat dengan batas desa adalah Sungai Semenduk.
Masalahnya, kata Tomi, masyarakat Sejotang tidak terima dengan tata batas desa itu. Alasannya sederhana. Sejak dulu, danau ini sudah dikuasai warga Dusun Semenduk. Seperti nama dusunnya, Semenduk.
“Akhirnya kita urus perkara tata batas desa ini. Sengketa antar-desa harusnya sudah selesai pada 1992. Hanya saja, masalah tak berhenti sampai di situ. Masih ada warga yang mengklaim danau ini sebagai tanah pribadi. Sengketa pun berlanjut,” urai Tomi.
Berselang 20 tahun, tepatnya Maret 2012, Pius Tomi terpilih sebagai kepala desa. Langkah awal yang dia benahi adalah menyampaikan kepada masyarakat bahwa danau itu harus diperjuangkan. Akhirnya, pada Desember 2014, Danau Semenduk kembali ke Desa Sejotang.
“Sayangnya, kami sudah terlambat. Dengan kondisi seperti ini, pemerintah desa akan bekerja sama dengan lembaga adat untuk mencari solusi yang tepat. Kami sudah sangat dirugikan,” ucapnya.
Di saat danau ini masih ada, jelas Tomi, masyarakat sangat mudah mencari ikan. Baik di musim kemarau, maupun hujan. Namun sekarang kondisinya sudah berubah total. Danau hilang, hidup masyarakat kian susah.
Tomi mengakui, warganya tidak serta merta kehilangan mata pencarian. Sebab, mereka bekerja tidak hanya sebagai nelayan. Warga juga hidup sebagai petani ladang, karet, dan sebagainya. Hanya, sebagian kecil masyarakat menggantungkan hidupnya di danau. Terutama warga Dusun Semenduk, yang sejak dulu hidup sebagi nelayan.
Melihat kondisi seperti sekarang, warga akhirnya beralih menoreh karet dan jadi kuli. Sebagian lagi merantau berharap peruntungan. Saat ini, jumlah warga di Desa Sejotang mencapai 1.928 jiwa atau 519 KK. Warga tersebar di tujuh dusun dengan luas total wilayah mencapai 6.500 hektar.
Sengkarut CSR dan reklamasi
Pius Tomi menyayangkan manajemen pendistribusian Corporate Social Responsibility(CSR) PT. MKU. “Kita akui kontribusi perusahaan di desa ini memang ada. Tapi masyarakat dituntut mengajukan proposal terlebih dahulu. Misalnya untuk pembangunan rumah ibadah. Itu pun tak bisa dibantu sepenuhnya. Paling 50 persen dari total kebutuhan,” katanya.
Sebagai sebuah perusahaan, ucap Tomi, sejatinya mereka melakukan identifikasi kebutuhan warga desa dan memberikan bantuan sukarela. Bukan mendorong masyarakat untuk minta-minta melalui proposal.
Begitu pula dengan janji perusahaan untuk membangun jembatan. Sampai perusahaan berhenti beroperasi sebagai konsekuensi dari kebijakan smelterisasi, jembatan yang dijanjikan tak kunjung kelar dibangun.
Apalagi soal reklamasi pasca-tambang. Tomi menilai ada sesuatu yang tidak beres dengan perusahaan ini. “Dari dulu saya tidak setuju jika dana reklamasi yang besarannya Rp5 juta per hektar diserahkan kepada pemilik lahan,” katanya.
Harusnya, ujar Tomi, perusahaan bersama pemilik lahan yang mereklamasi bekas tambang itu hingga pulih seperti semula. Bukan dengan memberikan sejumlah uang kepada pemilik lahan, lalu dianggap sudah menjalankan kewajiban reklamasi.
“Sekarang mana hasilnya? Uang dengan besaran Rp5 juta menjadi tak berguna sama sekali. Masyarakat bingung bagaimana cara menanam di areal bekas tambang. Sementara permukaan tanah sudah diangkut ke tempat pencucian bauksit,” ucap Tomi.
PT. MKU membantah
Staf Perencanaan Kawasan PT. MKU, Ihsan Mulyadi membantah semua tudingan warga yang dialamatkan ke perusahaannya. “Kami sama sekali tidak pernah menimbun danau. Sepengetahuan saya, yang dimaksud warga Sejotang sebagai danau adalah rawa,” katanya ketika Mongabay Indonesia menyambangi kantornya di Pontianak, Kamis (18/6/2015).
Suasana di kantor PT. MKU tampak sepi kala itu. Tak ada aktivitas berarti. Di sana hanya ada Ihsan Mulyadi, dan beberapa staf administrasi perusahaan. Sang General Manager, Putra Djaja sedang tak ada di tempat.
“Jadi, tidak betul jika kami dituduh menimbun danau. Harus dikaji dululah, apa sihyang dimaksud dengan danau. Kalau di Sejotang, analisa kami itu adalah rawa. Dia justru membentuk danau ketika kita membangun dam. Amdal-nya kan ada.Tak mungkinlah kami berani menimbun danau,” kilah Ihsan.
Dia menyebut, penamaan danau itu lahir dari masyarakat lokal, meski yang disebut itu sesungguhnya rawa. “Semua kebijakan perusahaan di wilayah operasi, sudah atas persetujuan masyarakat. Termasuklah reklamasi. Sesuai kesepakatan awal, kita hanya memberikan sejumlah uang, dan masyarakat sendiri yang akan melakukan reklamasi,” ucapnya.
Perusahaan salah kaprah
Peneliti Swandiri Institute, Arif Munandar menilai manajemen PT. MKU hanya membela diri dengan mengatakan tidak mengkonversi danau. “Kita bisa lihat di peta Google Earth 2010. Kawasan tempat perusahaan itu mencuci bauksit, jelas danau hidrolik di sempadan sungai,” katanya usai buka puasa bersama Tim Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK di Pontianak, Jumat (19/6/2015).
Menurut Arif, PT MKU sudah berani mengkonversi Danau Semenduk menjadi tempat pencucian bauksit. Akibatnya, sekarang yang tampak adalah blok-blok kanal. Padahal, tempat itu sudah berada di luar izin konsesi yang dikuasainya.
Mantan Direktur Eksekutif Walhi Jambi ini mempertanyakan status Clear and Clean(CnC) yang sudah disandang PT. MKU. “Kasus PT MKU di Sejotang ini telah menyingkap tirai baru tentang status CnC. Ternyata status itu hanya indah di atas kertas. Secara administrasi bagus, meski kenyataan di lapangan berbanding terbalik,” ucapnya.
Arif juga mengomentari tata cara reklamasi pasca-tambang. Menurutnya, bukan soal nominal Rp5 juta per hektar yang wajib disiapkan perusahaan. Tetapi, bagaimana perusahaan ikut ambil bagian bersama masyarakat di dalam upaya memulihkan kondisi lingkungan.
Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/06/21/danau-pertambangan/