JAKARTA – Pada Senin, 17 November 2025, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama koalisi masyarakat sipil tingkat nasional menggelar diskusi publik bertajuk “Menguatkan Peran Indonesia di Group of Twenty (G20) untuk Tatanan Global yang Adil dan Seimbang”. Kegiatan ini diselenggarakan menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 2025 yang akan berlangsung di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 22-23 November 2025. Diskusi ini bertujuan untuk menyelaraskan perspektif masyarakat sipil dengan arah strategi diplomasi pemerintah Indonesia di forum global, sekaligus memastikan bahwa posisi Indonesia di G20 berpijak pada realitas domestik, prinsip keadilan global, dan keberlanjutan jangka panjang.

Forum diskusi menghadirkan berbagai pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Hadir sebagai pembicara Masni Eriza, Kepala Pusat Strategi Kebijakan Multilateral Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia; Dita Herdiana, Analis Ekonomi Sekretariat Sherpa G20 Indonesia; serta Gresia Paramita, akademisi dari Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Diskusi ini juga dihadiri oleh perwakilan lembaga riset dan organisasi advokasi kebijakan publik yang berperan aktif dalam mendorong agenda keadilan global.

Kegiatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian inisiatif Civil20 (C20), yaitu kelompok keterlibatan resmi masyarakat sipil dalam proses Group of Twenty (G20). Melalui forum ini, masyarakat sipil berupaya memastikan bahwa kebijakan global yang dinegosiasikan Indonesia tidak semata-mata berorientasi pada kepentingan geopolitik dan ekonomi makro, tetapi juga memperhatikan dampaknya terhadap keadilan ekonomi, keadilan ekologis, serta perlindungan kepentingan publik di dalam negeri.

Dalam diskusi, para pembicara menyoroti ketimpangan arsitektur keuangan global yang dinilai semakin tidak relevan dengan kondisi dunia saat ini. Struktur kuota dan hak suara di lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) masih didominasi oleh negara-negara maju. Negara-negara Group of Seven (G7), yang hanya merepresentasikan kurang dari 10 persen populasi dunia, menguasai sekitar 40 persen hak suara. Ketimpangan ini diperparah oleh lonjakan utang negara-negara berkembang yang telah mencapai sekitar 102 triliun dolar Amerika Serikat, sehingga secara signifikan membatasi ruang fiskal untuk membiayai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) serta agenda transisi energi.

Sejumlah rekomendasi strategis pun mengemuka dari diskusi tersebut. Indonesia didorong untuk memperkuat kerja sama dan koalisi dengan negara-negara berkembang melalui aliansi seperti BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, serta MIKTA yang melibatkan Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia, guna mendorong reformasi tata kelola lembaga keuangan internasional. Selain itu, Indonesia diharapkan konsisten memainkan peran sebagai jembatan kepentingan atau bridge builder antara negara maju dan negara berkembang dalam perundingan global. Rekomendasi lain yang disampaikan mencakup dorongan pembentukan Klub Debitor sebagai forum bersama negara-negara pengutang, advokasi penerapan Pajak Kekayaan Global atau Global Wealth Tax, serta diversifikasi penggunaan mata uang dalam perdagangan dan pembiayaan internasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat.

Diskusi juga menyoroti posisi strategis Indonesia dalam konteks geopolitik transisi energi global. Sebagai produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia memiliki daya tawar yang signifikan dalam rantai pasok mineral kritis yang dibutuhkan untuk pengembangan energi bersih. Namun, para pembicara mengingatkan bahwa posisi strategis tersebut juga membawa risiko serius, antara lain praktik korupsi, konflik lahan, degradasi lingkungan, serta ketimpangan gender yang kerap menyertai pengelolaan sektor ekstraktif dan industri hilirnya.

Oleh karena itu, masyarakat sipil mendorong agar Indonesia tidak hanya berperan sebagai pemasok bahan mentah, tetapi juga bertransformasi menjadi pembentuk aturan atau rule shaper di tingkat global. Upaya ini dapat ditempuh dengan mendorong penerapan standar pelacakan asal-usul atau traceability mineral kritis, serta penguatan standar Environmental, Social, and Governance (ESG) yang diperluas dengan prinsip pembagian manfaat atau benefit sharing bagi masyarakat lokal. Di tingkat domestik, pemerintah juga didorong untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), memperkuat kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), serta menyusun peta jalan ketenagakerjaan hijau yang inklusif. Prinsip keadilan, termasuk keadilan gender dan antargenerasi, harus menjadi poros diplomasi Indonesia.

 

Privacy Preference Center

Skip to content