Perjanjian perdagangan terbaru antara Uni Eropa dan Indonesia dapat membawa lebih banyak investasi UE ke Indonesia, tetapi perjanjian tersebut tidak memiliki mekanisme penegakan yang diperlukan untuk menjamin manfaat lingkungan dan pekerja sebagaimana tercantum dalam kesepakatan itu, menurut para pakar industri.

Indonesia dan Komisi Eropa menyelesaikan negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) pada 23 September, setelah lebih dari sembilan tahun perundingan. Kesepakatan ini diperkirakan mulai berlaku pada Januari 2027.

Perjanjian tersebut mencakup apa yang disebut Komisi Eropa sebagai “pilar keberlanjutan yang kuat” untuk memastikan bahwa peningkatan perdagangan antara UE dan Indonesia menghargai lingkungan dan hak-hak pekerja. Namun, pakta ini dinilai belum cukup kuat untuk memperbaiki masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola yang membayangi sektor tersebut, kata para ahli kepada Platts, bagian dari S&P Global Commodity Insights.

“Ini adalah perjanjian perdagangan, bukan perjanjian lingkungan,” kata Rachmi Hertanti, peneliti di Transnational Institute, sebuah lembaga kajian di Belanda.

Penegakan ESG yang ‘lemah’

CEPA akan menghapus 98,5% tarif Indonesia untuk barang-barang UE dan memberikan lingkungan regulasi yang lebih menarik bagi investor UE di Indonesia, menurut Komisi Eropa.

Kesepakatan perdagangan ini memberikan dorongan bagi ambisi Indonesia menjadi pusat rantai pasok kendaraan listrik global, yang ditopang oleh industri nikel yang tengah berkembang. Indonesia mendominasi produksi nikel global pada 2024 dengan 2,3 juta metrik ton, atau sekitar 59,7% dari total produksi dunia, menurut data S&P Global Market Intelligence.

Kebangkitan Indonesia dalam industri nikel berasal dari larangan ekspor bijih pada 2020 yang memicu investasi hilirisasi oleh perusahaan asing, terutama dari Tiongkok. Namun, hal ini juga menyebabkan pasar kelebihan pasokan yang menekan harga.

Platts menilai harga nickel pig iron Indonesia dengan kadar nikel 10% sebesar US$111,30 per metrik ton FOB Indonesia pada 14 November, turun 13,0% dari US$128,00/t yang tercatat pada 23 Oktober 2024, titik tertinggi sejak penilaian ini diluncurkan pada 19 Februari 2024. Sementara itu, harga tunai nikel di London Metal Exchange ditutup pada US$14.782,11/t pada 13 November, merosot 52,7% dari level tertinggi tiga tahun sebesar US$31.281,00/t pada 7 Desember 2022.

Beberapa fasilitas pengolahan nikel di Indonesia menggunakan teknologi pelindian asam bertekanan tinggi (HPAL), yang biasanya berbahan bakar batu bara dan menghasilkan volume limbah tinggi. Beberapa perusahaan nikel juga dituduh melanggar hak pekerja. Di tengah isu-isu tersebut, para penambang global menyerukan adanya *green premium* pada nikel agar tetap kompetitif terhadap pasokan Indonesia yang melimpah.

Komisi Eropa mengatakan CEPA mengadopsi ketentuan Kebijakan Perdagangan dan Pembangunan Berkelanjutan UE, serangkaian komitmen untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan antara blok tersebut dan mitra dagangnya. Namun, menerapkan ketentuan tersebut dalam praktik selalu menjadi tantangan, kata para analis.

“Saya pikir ini sangat lemah dan tidak ada sanksi atau implikasi kuat bagi para pelaku seperti korporasi multinasional atau negara,” kata Rachmi. “Ini hanya mengakui beberapa standar dan komitmen.”

“Kesepakatan ini juga bisa menjadi pedang bermata dua, karena memperkenalkan persyaratan dan standar kepatuhan yang kaku yang harus dipenuhi Indonesia untuk selaras dengan ekspektasi pasar global/UE,” kata Thomas Radityo, analis riset ekuitas di Ciptadana Capital yang berbasis di Indonesia, kepada Platts.

Pengaruh Tiongkok

Meski ada CEPA, UE kecil kemungkinan mendominasi industri nikel Indonesia karena pengaruh Tiongkok akan tetap kuat, kata Linghui Ni, analis nikel di firma riset Project Blue di London.

Ni mengatakan Indonesia dan UE bergantung pada teknologi pengolahan yang didominasi Tiongkok seperti HPAL untuk memastikan profitabilitas operasi. Tiongkok merupakan konsumen utama baja tahan karat dan baterai berbasis nikel, yang merupakan produk hilir penting dalam rantai pasok nikel. Sebaliknya, UE bergantung pada skrap untuk kebutuhan baja tahan karatnya, sementara permintaan nikel untuk baterai stabil, kata Ni.

“Saya percaya investasi UE di sektor nikel Indonesia lebih mungkin mengalir ke operasi dan proyek yang sudah ada, banyak di antaranya sudah melibatkan perusahaan Tiongkok,” kata Ni kepada Platts.

Tanggung jawab negara

CEPA tidak dapat secara langsung meningkatkan standar ESG di industri nikel Indonesia, menyoroti peran krusial pemerintah dalam mendorong keberlanjutan, kata Aryanto Nugroho, koordinator nasional kelompok masyarakat sipil Publish What You Pay Indonesia.

“Untuk meningkatkan standar ESG, Indonesia membutuhkan ruang kebijakan untuk menegakkan regulasi domestik, berinvestasi dalam pengolahan yang bertanggung jawab, dan memastikan distribusi nilai yang adil,” kata Aryanto kepada Platts.

Menjelang finalisasi CEPA dengan UE, Indonesia meningkatkan upaya untuk membersihkan industri nikelnya. Pemerintah menyita 148 hektare di konsesi Weda Bay milik Eramet SA pada September karena dugaan kurangnya izin kehutanan. Pada bulan yang sama, otoritas menangguhkan sekitar 190 izin pertambangan batu bara dan mineral karena dugaan pelanggaran lingkungan.

Pada Juni, otoritas mencabut izin tambang empat perusahaan nikel di kawasan konservasi laut Raja Ampat. Pemerintah juga mengumumkan Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel Nasional pada bulan yang sama, termasuk rencana target pengurangan emisi 81% pada 2045.

Namun, Indonesia mungkin telah membalikkan sebagian progres ESG-nya setelah mengizinkan PT Gag Nikel melanjutkan operasi di dekat Raja Ampat, kata Thomas.

Setelah menangguhkan kegiatan Gag Nikel dan melakukan tinjauan, pemerintah menentukan bahwa operasi perusahaan tersebut mematuhi aturan lingkungan. Gag Nikel adalah anak perusahaan PT Aneka Tambang Tbk, yang dikenal sebagai Antam, dan 65% dimiliki oleh BUMN PT Mineral Industri Indonesia (Persero), berdasarkan data Market Intelligence.

“Meski pengecualian dengan pengawasan lebih ketat bisa dibenarkan, langkah ini tetap menimbulkan keraguan atas komitmen keberlanjutannya dan berisiko merusak kepercayaan dengan mitra dagang seperti UE,” kata Thomas.

Baik Komisi Eropa maupun pemerintah Indonesia tidak menanggapi permintaan komentar dari Platts.

Privacy Preference Center

Skip to content