Jakarta, 31 Oktober 2025 – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia kembali menggelar PWYP Knowledge Forum (PKF) dengan tema “Refleksi Tata Kelola Pertambangan Indonesia Dalam Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran”. Acara yang digelar secara luring ini dihadiri oleh anggota koalisi PWYP Indonesia. Agenda dibuka dengan penyambutan Pattiro Semarang sebagai anggota koalisi baru ke-32 PWYP Indonesia, yang memperkuat jaringan advokasi transparansi di sektor ekstraktif. Selanjutnya, diskusi memasuki dua isu pembahasan utama, menjadi wadah bagi para pegiat masyarakat sipil untuk secara kritis mengevaluasi kebijakan-kebijakan baru di sektor pertambangan, khususnya dampaknya terhadap transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan lingkungan.
Forum ini difokuskan pada dua isu utama: perubahan regulasi pertambangan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 yang menggantikan PP 96/2021, serta Permen RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya), dan penertiban kawasan hutan melalui Perpres Nomor 5 Tahun 2025.
PP 39/2025: Pelonggaran Perizinan dan Potensi Konflik Kepentingan
Salah satu isu yang paling banyak menuai kritik adalah perluasan skema penerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) Prioritas kepada organisasi masyarakat (ormas), perguruan tinggi, koperasi, dan usaha kecil menengah (UKM). Dalam PP 39/2025, pihak-pihak tersebut dapat memperoleh wilayah tambang yang luasnya setara dengan perusahaan tambang berpengalaman, bahkan ketika belum memiliki kapasitas teknis maupun finansial.
Perubahan ini juga memberikan kelonggaran drastis terhadap pemenuhan kewajiban perizinan. Jika dalam PP 96/2021 pemegang IUP wajib menyerahkan dokumen komprehensif (rencana kerja, bukti pembayaran pajak dan penerimaan negara, laporan reklamasi, dan sebagainya), maka Pasal 59A PP 39/2025 menyatakan bahwa perpanjangan izin “dapat dilakukan” meskipun dokumen tersebut belum lengkap atau kewajiban belum dipenuhi.
Menurut Wicitra, Program Manager PWYP Indonesia, pelonggaran ini berpotensi mengancam prinsip akuntabilitas publik. “PP 39/2025 dan Permen RKAB membuka ruang bagi penerbitan izin meskipun kewajiban belum dipenuhi. Ini melemahkan prinsip akuntabilitas, karena izin bisa lanjut tanpa memastikan dampak lingkungan dan kewajiban ke negara telah diselesaikan,” tegas Wicitra.
Ia juga menyoroti risiko penyalahgunaan kerja sama melalui MoU antara kampus dan perusahaan tambang. Selain itu, UKM dan koperasi dinilai tidak memiliki kapasitas teknis maupun finansial untuk menjalankan operasi pertambangan secara bertanggung jawab. Data dari organisasi profesi pertambangan menunjukkan bahwa studi kelayakan, eksplorasi, dan penyusunan AMDAL membutuhkan modal besar dan kemampuan teknis yang tidak sederhana.
Peserta forum melihat bahwa pelonggaran izin berpotensi memperburuk kondisi lingkungan, terutama terkait reklamasi lahan bekas tambang. Banyak kasus menunjukkan bahwa wilayah tambang yang belum dipulihkan justru dialihkan kepada pihak baru. Fenomena ini dikhawatirkan menciptakan pola tambang “alih tangan tanpa pemulihan”, yang menjadikan kerusakan lingkungan semakin permanen.
Perpres 5/2025: Penertiban Kawasan Hutan Tanpa Kepastian Pemulihan
Diskusi kemudian beralih ke isu penertiban kawasan hutan, yang dimulai sejak pengesahan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. UU ini memperkenalkan Pasal 110A dan 110B, yang mengatur penertiban usaha di kawasan hutan melalui sanksi administrasi. Diteruskan dengan PP 24/2021 tentang pengenaan sanksi administratif di bidang kehutanan, dan Keppres 9/2023 yang membentuk Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit hingga 30 September 2024.
Hingga 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan 23 SK Datin (Surat Keputusan Denda Administratif) untuk berbagai sektor usaha di kawasan hutan tanpa izin. Namun, tidak ada laporan lanjutan dari Satgas hingga batas waktu berakhir, dan SK Datin terus diterbitkan hingga Januari 2025 tanpa hasil kerja yang transparan.
Roni Saputra, Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, menyampaikan bahwa “Penertiban di kawasan hutan banyak berhenti pada pengambilalihan aset, bukan pada penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran,” jelas Roni. Ia menambahkan bahwa beberapa aset tambang langsung dialihkan kepada pihak tertentu untuk diteruskan operasionalnya, tanpa memastikan bahwa kerusakan lingkungan dipulihkan dan kerugian negara dihitung. “Jika pelaku pelanggaran tidak diminta bertanggung jawab, maka ini bukan penertiban, tetapi normalisasi pelanggaran,” tegasnya.
Solihin, salah satu peserta PKF dan anggota koalisi PWYP Indonesia, mencontohkan praktik di Sulawesi Tenggara. Alih-alih menindak perusahaan yang menambang secara ilegal di kawasan hutan dengan penagihan denda atau penghentian operasi, aset mereka justru diambil alih untuk dilanjutkan oleh negara. Pendekatan ini dinilai lebih menguntungkan kepentingan modal, mengabaikan potensi kerugian negara, dan berisiko memperburuk kerusakan lingkungan.
Transparansi dan Pemulihan Lingkungan Harus Jadi Prioritas
Forum ditutup dengan komitmen bersama dari jaringan koalisi PWYP Indonesia dan peserta yang hadir untuk terus mengawal implementasi regulasi pertambangan terbaru—mulai dari PP 39/2025, Permen RKAB, hingga Perpres 5/2025. Upaya ini akan dilakukan melalui pengawasan pelaksanaan kebijakan di lapangan, pendokumentasian kasus, serta advokasi ke pemerintah pusat dan daerah agar kebijakan berjalan sesuai prinsip good governance.
PWYP Indonesia menegaskan bahwa percepatan investasi di sektor pertambangan tidak boleh mengorbankan lingkungan dan kepentingan publik. “Investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak boleh mengabaikan transparansi, akuntabilitas, dan pemulihan lingkungan,” menjadi pesan penutup forum yang mencerminkan komitmen untuk memastikan tata kelola pertambangan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Penulis: Ledis Sixti
Reviewer: Meliana Lumbantoruan