Jakarta, 18 Oktober 2025 – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyoroti berbagai tantangan dalam tata kelola sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) agar tidak menjadi “kutukan” sumber daya alam. Hal ini disampaikan Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho, dalam salah satu sesi di forum Minerba Convention and Exhibition (Minerba Convex) 2025, yang diselenggarakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 15-16 Oktober 2025 di Jakarta International Convention Center (JICC). Minerba Convex 2025, dengan tema “Driving Sustainable Growth Through Innovation and Collaboration”, yang menampilkan diskusi panel, pameran teknologi, dan kegiatan edukatif ini, seharusnya menjadi momentum sinergi, namun PWYP Indonesia menekankan realitas lapangan yang masih penuh kerentanan dan ketidakadilan.
Dalam sesi bertema “Kontribusi Pertambangan pada Pembangunan Negara dan Daerah” yang dimoderatori Rosalyn Wullandhary dari Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI), Aryanto menjadi penanggap atas sejumlah pembicara seperti Ketua Umum AETI Harwendro Adityo Dewanto, Muhammad Toha, GM Compliance PT Merdeka Copper Gold Tbk Albert Saputro, serta Direktur Utama PT Cita Mineral Investindo Tbk Harry Kesuma Tanoto. Penanggap lain meliputi Totoh Abdul Fattah dari Ditjen Minerba KESDM, Maria Yuliana Benyamin dari Bisnis Indonesia, dan Yazid Kanca Surya, Direktur Utama Jakarta Future Exchange
Aryanto menyampaikan pandangan PWYP Indonesia mengenai perkembangan tata kelola industri pertambangan Indonesia selama 10 tahun terakhir, “Hampir setiap minggu, berita dan laporan menyoroti buruknya tata kelola di sepanjang rantai nilai pertambangan, dari pertambangan ilegal, smelter, hingga regulasi lemah. Di mana posisi masyarakat terdampak? Industri ini berisiko menjadi kutukan jika tidak memprioritaskan keadilan sosial-ekologis,” ujarnya.
Ia menyoroti peluang seperti peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan hilirisasi, tapi tantangan utama meliputi ketidakpastian pasokan dan kualitas, pelanggaran prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance), hak asasi manusia (HAM), inklusivitas, serta minimnya mitigasi risiko pascatambang seperti jaminan reklamasi dan dana pascatambang tidak memadai.
Lebih lanjut, Aryanto mengkritisi peran pemerintah daerah yang masih terbatas dalam desentralisasi pasca-reformasi. “Kewenangan pemda dalam pengelolaan pertambangan sering bertabrakan dengan UU sektoral, sementara kebijakan fiskal seperti UU HKPD belum optimal. Tanpa pembinaan, pengawasan, dan ruang partisipasi masyarakat yang kuat, kontribusi pertambangan hanya memperkaya segelintir pihak, sementara masyarakat lokal menghadapi kerentanan,” tambahnya.
PWYP Indonesia juga menekankan transparansi publik sebagai kunci, merujuk implementasi Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) sejak Indonesia menjadi negara pelaksana pada 2010. Namun, rendahnya kepatuhan perusahaan minerba dalam pelaporan, jeda waktu pelaporan hingga Y+2, serta lemahnya koordinasi pusat-daerah menjadi kritik tajam.
Sebagai koalisi 31 organisasi masyarakat sipil (CSO), PWYP Indonesia berkomitmen mendorong tata kelola demokratis dan inklusif di sektor energi dan sumber daya alam. Partisipasi di Minerba Convex 2025 ini diharapkan mendorong perubahan, memastikan pertambangan tidak menjadi sumber konflik tapi penggerak pembangunan adil. “Kita perlu komunikasi krisis efektif dan keberpihakan pada masyarakat untuk menghindari kutukan sumber daya alam,” pungkas Aryanto.