Jakarta, 2 Oktober 2025 – Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyoroti tantangan tata kelola minyak dan gas bumi (migas) di era transisi energi, mulai dari paradigma kepentingan nasional di tengah geopolitik dan isu perubahan iklim, hingga isu-isu regulasi seperti Revisi Undang-Undang Migas yang terhambat, dan usulan Dana Migas untuk mendukung transisi energi yang berkeadilan.

Hal tersebut disampaikan Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menanggapi kajian “Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Migas” dalam Focus Group Discussion (FGD) Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Minyak dan Gas Bumi dalam Mendukung Swasembada Energi (Asta Cita Ke-2) yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum Republik Indonesia pada 2 Oktober 2025 lalu.

FGD ini menjadi platform krusial untuk membahas harmonisasi regulasi migas guna mendukung kemandirian energi nasional, sejalan dengan prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang menekankan swasembada energi, peningkatan cadangan nasional, pemenuhan kebutuhan domestik, serta transisi menuju ekonomi hijau.

Hadir dalam kegiatan tersebut Ketua Tim Kajian Analisis Hukum, Dwi Agustine Kurniasih, BPHN, Kementerian Hukum dan sejumlah penanggap, diantaranya Prof. Dr. Tri Hayati, dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Asisten Deputi Pengembangan Minyak dan Gas Bumi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Perwakilan SKK Migas, dan BPH Migas.

Menurut Aryanto, tantangan utama dalam tata kelola migas muncul dari kompleksitas paradigma kepentingan nasional, yang dipengaruhi oleh geopolitik global, ketergantungan sebagai sumber penerimaan negara sekaligus modal pembangunan. Indonesia sebagai net importer minyak (dan potensial gas) menghadapi tekanan menuju net zero emission, era pasca migas, fenomena resource curse, serta tuntutan keadilan sosial-ekologi. Di satu sisi regulasi dan kebijakan saat ini masih berorientasi pada mekanisme eksploitasi, tanpa adaptasi yang memadai terhadap transisi energi.

Dari sisi regulasi, tantangan mencakup penundaan revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) Nomor 22 Tahun 2001, yang tertahan meski krusial untuk memperkuat kepastian hukum dan daya saing investasi. Ada pula ketidakselarasan antara UU Migas dengan UU Cipta Kerja, khususnya terkait perizinan berusaha berbasis risiko dan Norma, Standar, Prosedur, serta Kriteria (NSPK). Selain itu, diperlukan harmonisasi dengan undang-undang lain seperti UU Energi, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), UU BUMN, dan UU Perindustrian.

Salah satu proposal strategis yang disoroti adalah pembentukan Petroleum Fund atau Dana Migas, yang mirip dengan Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Natural Resource Fund (NRF). Dana ini harus memiliki tujuan jelas, seperti pengembangan infrastruktur migas, pencarian cadangan baru, pemerataan akses, investasi, tabungan masa depan, serta dukungan transisi energi berkeadilan. Pertimbangan apakah dana ini bersifat nasional atau daerah (sejalan dengan Dana Abadi Daerah dalam UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah/HKPD) juga menjadi isu penting, di samping kapasitas fiskal negara untuk mengelolanya secara efektif.

Tantangan kelembagaan juga menjadi fokus, meliputi peran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Holding Pertamina, Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian ESDM, serta Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Lembaga-lembaga ini perlu lebih responsif terhadap pengaduan masyarakat dan menjamin ruang partisipasi publik untuk memastikan tata kelola yang inklusif.

Aspek transparansi dan akuntabilitas tidak kalah krusial untuk mencegah korupsi. Beberapa kasus menonjol seperti korupsi di Pertamina, dugaan korupsi PT Saka Energi, korupsi PGN, dan kasus korupsi LNG menunjukkan urgensi penguatan mekanisme anti-korupsi. Transparansi ini esensial untuk membangun kepercayaan publik dan memastikan pendapatan dari migas benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.

Tantangan lainnya mencakup era pasca migas, yang memerlukan rehabilitasi lingkungan, sosial, dan ekonomi; pengelolaan aset; penerapan safeguard; serta pengarusutamaan Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) dalam kebijakan migas. Semua ini diperlukan untuk menghadapi transisi energi yang adil dan berkelanjutan.

PWYP Indonesia berkomitmen terus mendorong perbaikan regulasi dan tata kelola migas yang inklusif, transparan, dan akuntabel. Harmonisasi ini bukan hanya untuk mencapai kemandirian energi, tetapi juga mewujudkan keadilan sosial-ekologi di sektor migas.

Privacy Preference Center

Skip to content