Penghentian sementara izin operasi kepada 190 perusahaan tambang yang tak patuh menempatkan jaminan reklamasi, dianggap kurang memadai. Pemerintah diminta mengawal penerapan reklamasi pascatambang sampai tuntas.
kaltimkece.id Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menonaktifkan sementara operasional 190 perusahaan batu bara dan mineral. Sebanyak 36 perusahaan di antaranya berbasis di Kalimantan Timur.
Hal tersebut tertuang dalam surat bernomor T-1533/MB.07/DJB.T/2025 yang diterbitkan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) pada 18 September 2025. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa penghentian aktivitas pertambangan merupakan sanksi bagi 190 perusahaan karena tak memberikan jaminan reklamasi pascatambang.
Mengutip Bisnis.com, Direktur Jenderal Minerba, Kementerian ESDM, Tri Winarno, membenarkan isi surat tersebut. Ia menyebut, perusahaan dapat beroperasi kembali jika telah menaati aturan pertambangan yakni melakukan reklamasi pascatambang.
Kementerian ESDM pun meminta 190 pemegang izin usaha pertambangan itu segera mengajukan permohonan penetapan dokumen rencana reklamasi. Sanksi penghentian sementara akan otomatis batal jika perusahaan telah mendapat surat penetapan dan menempatkan jaminan reklamasi sampai 2025.
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, organisasi nonpemerintah yang mengawasi industri ekstraktif, meminta pemerintah tidak hanya menghentikan sementara aktivitas pertambangan namun juga mengawal penerapan reklamasi pascatambang sampai tuntas.
Masalahnya, berdasarkan penelitian PWYP, sanksi ini justru diharapkan perusahaan tambang untuk melarikan diri dari tanggung jawab memperbaiki lingkungan hidup.
“Kementeraian ESDM harus waspada terhadap pola ini dan mempertimbangkan pencabutan permanen IUP bagi pelaku yang berulang kali melanggar, demi melindungi kepentingan publik dan lingkungan,” ujar peneliti PWYP Indonesia, Adzkia Farirahman, dalam keterangan tertulis, Selasa, 23 September 2025.
PWYP mendesak pemerintah untuk memastikan semua perusahaan tambang menempatkan jaminan reklamasi secara tepat waktu. Termasuk memverifikasi biaya reklamasi apakah sudah sesuai aturan atau tidak. Hal ini penting dilakukan guna menghindari kekurangan yang bisa membebani negara dan masyarakat.
Nilai jaminan reklamasi yang dibuat perusahaan-perusahaan kemudian harus dibuka secara transparan ke publik. Transparansi ini sebagai pengawasan masyarakat sipil dan memastikan akuntabilitas, sesuai dengan prinsip Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) atau Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif yang diadopsi Indonesia.
“Pemerintah juga mesti melakukan evaluasi rutin terhadap seluruh izin usaha pertambangan (IUP) aktif untuk memastikan kepatuhan dengan prioritas di wilayah rawan lingkungan seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan daerah lainnya,” seru Adzkia Farirahman. (*)
Sumber: Kaltim Kece
