Jakarta, 24 September 2025 – Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyebut langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menangguhkan operasi 190 perusahaan tambang mineral dan batubara karena pelanggaran terhadap kewajiban penempatan Jaminan Reklamasi (Jamrek), masih belum cukup dan harus ada langkah konkret lainnya. Penangguhan operasi 190 perusahaan tersebut tertuang dalam surat Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM Nomor T-1533/MB.07/DJB.T/2025 tanggal 18 September 2025.

Peneliti PWYP Indonesia, Adzkia Farirahman (Azil) mendesak Kementerian ESDM untuk tidak berhenti pada penangguhan terhadap 190 perusahaan ini saja.

“Jika masih membandel, langsung lakukan tindakan pencabutan izin secara permanen dan gunakan pendekatan pidana, tak hanya pendekatan administrative saja” sebut Azil.

Selain itu, Pemerintah harus memastikan perusahaan tambang lainnya juga harus dipastikan telah menempatkan Jaminan Reklamasi (Jamrek) secara tepat waktu. Bahkan jika sudah menempatkan, Kementerian ESDM perlu memverifikasi apakah jumlahnya sudah sesuai dengan perhitungan biaya reklamasi yang seharusnya, guna menghindari kekurangan yang bisa membebani negara dan masyarakat di kemudian hari.

Azil juga juga menyoroti kewajiban perusahaan tambang lainnya, yaitu menempatkan Jaminan Pasca Tambang, yang sering kali terabaikan. Apalagi Berdasarkan data Kementerian ESDM, per Juni 2025, ada sebanyak 30 persen dari total pemegang IUP (4.250 IUP) yang belum menyetorkan atau menempatkan dana jamrek. Kemudian sebesar 53 persen dari total pemegang IUP tersebut belum menyetorkan atau menempatkan dana jaminan pascatambang.

Evaluasi menyeluruh terhadap kewajiban ini harus dilakukan terhadap seluruh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk mencegah degradasi lingkungan jangka panjang.

“Kami menegaskan bahwa meskipun perusahaan telah memberikan dana Jamrek dan Jaminan Pasca Tambang, hal itu tidak menghilangkan kewajiban mereka untuk secara langsung melaksanakan kegiatan reklamasi dan pasca tambang.” ungkap Azil.

Azil juga memperingatkan agar penangguhan ini jangan sampai menjadi modus bagi perusahaan tambang untuk menghindari kewajiban mereka. Daripada menyetor Jamrek dan Jaminan Pascatambang atau melakukan reklamasi dan pasca tambang yang memerlukan biaya besar, beberapa perusahaan mungkin justru memilih untuk dinonaktifkan atau dicabut izinnya sebagai cara melarikan diri dari tanggung jawab.

Selain itu, nilai Jamrek dan Jaminan Pascatambang yang telah ditempatkan oleh perusahaan-perusahaan harus dibuka secara transparan ke publik. Transparansi ini krusial untuk memungkinkan pengawasan masyarakat sipil dan memastikan akuntabilitas, sesuai dengan prinsip Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) yang diadopsi Indonesia.

Pembelajaran Kasus Bengkulu 

Kasus dugaan suap sebesar Rp 1 miliar oleh pengusaha tambang batu bara kepada pejabat (kepala inspektur tambang) Kementerian KESDM, yang diungkap Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu beberapa waktu lalu menjadi bukti masih lemahnya tata kelola reklamasi dan pascatambang, mulai dari minimnya kepatuhan penempatan jamrek dan jaminan pascatambang, dugaan manipulasi data dan dokumen persyarakat Perusahaan dalam RKAB, maupun lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.

Sangat disayangkan, bila bagian dari pemerintah yang bertugas sebagai pengawas justru melakukan atau terlibat kegiatan yang sifatnya transaksional berlawanan hukum. Apalagi kaitannya dengan penataan, pemulihan dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem sehingga dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya,” kata Azil.

Kasus ini seharusnya membangunkan sense of crisis bagi pemerintah, yang salah satu solusinya memang harus melalui penegakan hukum dan kepatuhan kewajiban para pelaku usaha di dunia pertambangan. Lebih lanjut, Azil menyampaikan pengungkapan kasus tersebut seyogyanya menjadi alarm perbaikan tata kelola reklamasi dan pascatambang. Termasuk melihat kepatuhan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), pengawasan dan pemberian sanksi atau penegakkan hukum.

Sebagai rekomendasi tambahan dari perspektif PWYP Indonesia, Azil mendorong Pemerintah untuk:

  1. Meningkatkan integrasi data jaminan reklamasi dan Jaminan Pascatambang dengan platform transparansi nasional seperti EITI Indonesia, sehingga masyarakat dapat mengakses informasi secara real-time.
  2. Melibatkan masyarakat sipil dan komunitas terdampak dalam proses verifikasi dan monitoring reklamasi dan pascatambang, termasuk melalui audit independen.
  3. Memperkuat sanksi pidana bagi perusahaan yang sengaja menghindari kewajiban, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
  4. Melakukan evaluasi rutin terhadap seluruh IUP aktif untuk memastikan kepatuhan, dengan prioritas pada wilayah rawan lingkungan seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua dan daerah lainnya

Narahubung:
Adzkia Farirahman (Azil)- Peneliti PWYP Indonesia

farirahman@pwypindonesia.org

—————————————-
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia merupakan koalisi masyarakat sipil yang mendorong perbaikan tata kelola sektor energi dan sumber daya alam (SDA) yang demokratis dan inklusif untuk meningkatkan keadilan sosial-ekologis. Berdiri sejak 2007 dan secara resmi terdaftar sebagai badan hukum di Indonesia pada 2012 dengan nama Yayasan Transparansi Sumber Daya Ekstraktif, dengan nomor registrasi AHU-AH.01.06-0032012 (Updated). PWYP Indonesia beranggotakan 31 organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional dan daerah, yang berperan dalam mengakomodasi kepentingan publik dari perspektif masyarakat sipil serta meningkatkan kapasitas mereka agar dapat berkontribusi secara berkelanjutan dalam pengelolaan energi dan SDA di tingkat nasional, lokal, maupun global demi tercapainya keadilan sosial-ekologis.

 

Privacy Preference Center

Skip to content