KOMPAS.com – Koalisi Masyarakat Sipil dalam Forum Pajak Berkeadilan Indonesia (FPBI) mendesak Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, melakukan reformasi pajak. FPBI menilai pemerintah Indonesia belum menjawab berbagai permasalahan dasar perpajakan dan masih mengelola APBN secara serampangan.

FPBI juga menilai ruang fiskal Indonesia tidak mengalami perbaikan signifikan dengan rasio pajak stagnan di kisaran 10–11 persen, jauh tertinggal dari rata-rata negara Asia. Dengan beragam masalah itu, belanja pemerintah pusat justru semakin meroket, mencapai Rp 3.786 triliun di RAPBN 2026.

Bahkan, sepertiganya dialokasikan untuk program-program prioritas populis, seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Merah Putih, dan subsidi energi yang manfaatnya belum dirasakan masyarakat luas. Dampaknya, ketergantungan pemerintah Indonesia terhadap utang semakin tinggi, hingga Rp781,6 triliun di RAPBN 2026.

Ironisnya, pemerintah gencar menaikkan tarif pajak, seperti PPN menjadi 12 persen dan PBB sebesar dua hingga tiga kali lipat, di tengah badai PHK.Perpajakan terkait sektor informal masih tinggi (59,40 persen pada Februari 2025). Core Tax Administration System (CTAS) belum digarap secara maksimal.

Masih terjadi penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional yang membuat Indonesia kehilangan potensi penerimaan hingga miliaran rupiah setiap tahun. Tax ratio pada semester I-2025 merosot menjadi 8,42 persen, turun dari 9,49 persen pada periode yang sama tahun lalu. FPBI mendesak Purbaya menerapkan tiga strategi untuk mengurangi ketimpangan antara kelompok super kaya dan rakyat biasa.

Pertama, memberlakukan pajak kekayaan (wealth tax), pajak warisan, dan instrumen pajak progresif lainnya untuk kelompok super kaya dan korporasi besar.

Kedua, menghentikan tax amnesty, tax allowance, dan insentif pajak lainnya. Sebaliknya, insentif diberikan untuk perwujudan ekonomi perawatan dengan instrumen kebijakan yang mendukung perempuan serta kelompok rentan lainnya menjadi pelaku ekonomi.

Ketiga, mendorong terwujudnya kesepakatan global, UN Tax Convention, untuk menghapus segala bentuk dan praktik penghindaran pajak.

Selain itu, FPBI meminta Purbaya mewujudkan keadilan fiskal antara pusat dan daerah. Caranya, dengan membatalkan pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) serta memastikan pemerintah daerah memiliki kapasitas dan ruang fiskal memadai untuk memberikan layanan publik yang merata.

FPBI menilai Purbaya perlu mengalihkan alokasi anggaran dari program pro-ekstraksi menuju program yang mendukung keberlanjutan sosial, ekonomi, dan ekologis.

FPBI juga menekankan perlunya menjadikan proteksi dan pemulihan sebagai investasi jangka panjang, dengan alokasi anggaran pemerintah yang memadai dan terukur.

“(Purbaya perlu) menginvestasikan kembali hasil aktivitas ekstraktif untuk pemulihan lingkungan serta perlindungan sumber daya alam hayati yang tersisa,” demikian keterangan tertulis FPBI, Rabu (10/9/2025).

Di sisi lain, Purbaya perlu melakukan dua strategi untuk memulihkan kepercayaan publik melalui akuntabilitas pajak.

Pertama, menjamin transparansi dalam kebijakan pajak, serta memperkuat partisipasi masyarakat sipil dalam proses perumusan dan evaluasi.

Kedua, memberantas korupsi, penghindaran pajak, serta praktik penggelapan pajak oleh korporasi multinasional yang merugikan negara dengan menerapkan Automatic Exchange of Information (AEOI), Beneficial Ownership (BO), dan Country-by-Country Reporting.

Purbaya juga perlu mengarahkan pendapatan pajak untuk mendanai sektor prioritas rakyat yang mengurangi ketimpangan dan mendukung keadilan ekologis, yaitu sektor pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, perawatan, transisi energi, serta upaya peningkatan kerja layak di Indonesia.

Sumber: Kompas

Privacy Preference Center

Skip to content