Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menggelar diskusi terpumpun dengan tema “Menyoal Transparansi Mekanisme Kuota Produksi Batubara untuk Menyelaraskan Komitmen Keterbukaan dan Transisi Energi” di Jakarta Pusat, 8 Agustus 2025. Diskusi ini merupakan rangkaian penyusunan kajian PWYP Indonesia tentang transparansi kuota produksi batubara guna mengetahui pandangan para pemangku kebijakan mengenai proses penentuan kuota tersebut.

Kepala Divisi Riset dan Advokasi PWYP Indonesia, Mouna Wasef, menekankan pentingnya mengetahui mekanisme penentuan kuota produksi untuk mengendalikan produksi batu bara di Indonesia. “Setiap tahun produksi batu bara selalu meningkat jumlahnya. Bahkan, tahun 2024 tertinggi dalam sejarah, mencapai 800 juta ton. Bagaimana mekanisme penentuannya? Penentuan kuota produksi perlu menyelaraskan dengan komitmen transisi energi di Indonesia,” katanya.

Sebagai narasumber, hadir Koordinator Tata Kelola Pusdatin Kementerian ESDM dan Koordinator Sekretariat EITI Indonesia, Catur Kurniadi; Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Gita Mahyarani; Tenaga Ahli Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), Indra Gunawan, dan Manager Departemen Tata Kelola Sumber Daya Alam Transparency International Indonesia (TII), Ferdian Yazid.

Sebagai pemapar pertama, Catur menjelaskan pelaksanaan EITI mengenai produksi  belum sepenuhnya terpenuhi. Data produksi masih terbatas pada level perusahaan dan belum rinci hingga volume dan nilai di tingkat proyek. “Dengan produksi 800 juta ton di 2024, cadangan batu bara bisa habis kurang dari 50 tahun. Pemerintah perlu memperhatikan karena selama ini batu bara menjadi andalan penerimaan negara. Terlebih lagi dengan adanya isu transisi energi, apakah juga akan semakin cepat pengerukannya? Disamping tingginya permintaan global,” katanya.

Dari perspektif industri, Gita Mahyarani menegaskan kewenangan kuota produksi sepenuhnya di pemerintah, meski pemenuhannya tetap berasal dari perusahaan. Dalam konteks pengaturan kuota produksi, perubahan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) menjadi kembali satu tahun dapat menjadi instrumen pengaturan yang lebih ketat.

“Salah satu yang akan dinilai dari RKAB adalah kepatuhan atas jaminan reklamasi. Ini menjadi penilaian apakah RKAB diterima atau tidak, juga memperketat perusahaan untuk tidak bisa memainkan kuota mereka. Saya rasa ini adalah langkah yang baik, bagaimana pemerintah melihat hal ini secara holistik, supaya dengan 880 sekian izin usaha pertambangan, makin bisa terbagi mana yang comply, mana yang belum,” kata Gita.

Perubahan RKAB menjadi satu tahun, dari sebelumnya tiga tahun, lanjut Gita, diharapkan dapat menunjang penentuan kuota produksi yang tak hanya harus transparan, namun juga menguntungkan perusahaan dan sesuai dengan jumlah cadangan. “Kuota produksi kembali ke pemerintah. Kita harus lihat supply dan demand, tidak hanya dengan negara kita, tapi juga persaingan negara luar yang juga memproduksi batu bara, dan bagaimana kebijakan pemerintah bisa adil untuk semua pelaku usaha batu bara,” ungkapnya.

Mengenai transparansi, Yazid menegaskan pentingnya hal itu dalam penentuan kuota produksi tahunan, termasuk RKAB. Menurutnya, penetapan kuota tahunan pemerintah juga menjadi titik rawan. Bila tidak berbasis cadangan atau data riil, jadi main jatah-jatahan. Bisa juga seperti kasus penyalahgunaan kuota produksi, seperti kasus ‘dokter’ (dokumen terbang) di tambang nikel di Sulawesi Tenggara.
Menurutnya, keterbukaan dokumen seperti RKAB dan jaminan reklamasi akan menekan potensi korupsi serta mendorong pejabat lebih akuntabel. “Transparansi mengurangi asimetri informasi, mencegah keputusan dan kebijakan yang buruk, serta meningkatkan kualitas tata kelola,” jelasnya.

Penulis: Ariyansah NK

Reviewer: Mouna Wasef

Privacy Preference Center

Skip to content