Makassar, 1-3 Juli 2025 – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama EITI Internasional dan Sekretariat EITI Indonesia menyelenggarakan pelatihan yang bertajuk “Meningkatkan Akses dan Pemanfaatan Data dan Informasi oleh Komunitas untuk Pengawasan Tata Kelola Pertambangan dan Transisi Energi yang Berkeadilan di Indonesia”. Pelatihan ini berlangsung selama tiga hari di Makassar, dengan melibatkan komunitas dari daerah lingkar tambang di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.
Pengenalan Portal EITI Indonesia dan Konsep Transisi Energi yang Adil
Hari pertama pelatihan difokuskan pada pengenalan Portal Data Ekstraktif, yang disampaikan oleh Krisna Darma Putra dan Radikal Lutfiardi dari Sekretariat EITI Indonesia. Portal ini merangkum berbagai data mengenai sektor ekstraktif seperti data perizinan usaha pertambangan hingga alokasi penerimaan negara berupa distribusi pendapatan dan transfer ke daerah.
Dalam sesi ini, ditekankan pula mengenai hak warga atas informasi berdasarkan Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pasal 11 ayat (1) huruf E menyatakan bahwa Badan Publik wajib menyediakan informasi kepada publik terkait “perjanjian dengan pihak ketiga” yang artinya bahwa Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batubara, termasuk kontrak karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, merupakan dokumen yang harus diumumkan kepada publik.
Perwakilan komunitas menemukan sejumlah hal menarik saat mengakses portal ini, seperti tertutupnya korporasi pertambangan di wilayah mereka, dikarenakan terdapatnya sejumlah IUP yang baru diketahui berada di wilayah mereka. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa beberapa IUP yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak melibatkan warga yang tinggal di lokasi IUP, padahal warga tersebut adalah garis terdepan yang akan terkena dampak dengan hadirnya IUP.
Tak hanya itu, pengenalan mengenai konsep transisi energi yang adil juga diperkenalkan terhadap komunitas. “Transisi energi yang adil itu bukan hanya soal mengganti sumber energi dari fosil ke terbarukan, tapi bagaimana masyarakat yang hidup di sekitar tambang atau proyek energi dilibatkan, tidak dimiskinkan, dan tidak makin terpinggirkan,” ujar Tenti Novari selaku fasilitator acara ini.
Bagaimana Data Pertambangan Dapat Aksesibel?
Setelah mengenal Portal Data Ekstraktif, pertanyaan selanjutnya bagaimana mengaksesnya? Apakah cukup mudah bagi warga untuk membaca data yang dipublikasikan?
Pertanyaan itu menjadi dasar pelatihan di hari kedua, dimana dengan adanya data mentah yang dipublikasikan tentu masih sangat sulit untuk dibaca dan mengerti apa yang tengah disajikan. Irendra Radjawali memperkenalkan visualisasi data menggunakan Google Looker Studio agar menjadi produk visual yang mudah dibaca dan dapat menjadi alat advokasi. Para peserta mengolah berbagai data yang tersedia sehingga diketahui, sebagai contoh, dana CSR yang dikeluarkan oleh korporasi tambang tidak dialokasikan pada sektor penting seperti pendidikan dan lingkungan.

Pada sesi ini para peserta juga berbagi cerita melalui foto atau video yang terjadi di daerah mereka seperti dampak lingkungan berupa merosotnya hasil rumput laut di Morowali akibat aktivitas tambang serta tercemarnya sumber air warga di Kawasi. Sesi ini juga memaparkan etika memotret subjek foto dan video yang harus konsensual sebelum dibagikan kepada publik. Juga memberikan narasi yang tepat dan mendetail terhadap visual yang diciptakan seperti informasi lokasi dan unsur 5W + 1H (What, Who, When, Where, Why, dan How).
Mitigasi Risiko dan Pemetaan Kampanye Berdasarkan Karakteristik Daerah
#savesagea menjadi praktik baik suksesnya gerakan kolektif komunitas dalam mengkampanyekan dampak lingkungan dan sosial yang dialami warga Sagea akibat praktik tambang di daerah mereka.
Namun, tidak dipungkiri ada perbedaan perlakuan ketika ingin mengkampanyekan hal yang sama di daerah lingkar tambang lainnya. Contohnya, wilayah Kawasi yang memiliki tingkat pemidanaan terhadap warga yang menyuarakan dampak tambang di daerah mereka, sehingga penyebaran informasi harus lebih sistematis dan memastikan keamanan digital.
“Kita berkomunikasi harus lebih berhati-hati, seperti menggunakan aplikasi Signal dikarenakan kita menghadapi korporasi besar seperti Harita,” ujar seorang warga perwakilan dari Kawasi.
Selain pemetaan kampanye, pembahasan mengenai hukum pertambangan sebagai dasar pemahaman untuk melakukan advokasi juga diberikan oleh Ufudin dari Yayasan KoMIU Sulawesi Tengah. Ia menyoroti bagaimana korporasi besar kerapkali melakukan tindakan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) yang merupakan gugatan hukum yang diajukan oleh pihak yang berkuasa untuk memidana warga yang menyuarakan dampak yang mereka dapatkan.
Rekomendasi bagi Sekretariat EITI Indonesia
Terkait kelengkapan data di Portal Data Ekstraktif, komunitas meminta agar tersedianya data Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
Data AMDAL sendiri dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang kemudian menjadi dasar penerbitan IUP oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Namun, data tersebut yang memang sifatnya terbuka, ternyata memerlukan pemenuhan langkah-langkah administratif dalam memperolehnya.
“Data-data yang dibutuhkan komunitas tapi belum tersedia di Portal Data Ekstraktif dapat ditindaklanjuti. Serta data-data yang masih bersifat double, seperti data CSR dapat direvisi,” ujar Tenti Novari.
Tak sampai disitu, Ibrahim Zuhdhi Badoh yang merupakan fasilitator dari Auriga Nusantara menambahkan bahwa Sekretariat EITI Indonesia perlu memperluas publikasi data hingga IUP skala menengah dan kecil serta Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) seperti perusahaan yang menyediakan jasa pengeboran, eksplorasi, pengangkutan hasil tambang, pengolahan dan pemurnian, serta reklamasi serta pascatambang.
Penulis: Aulia Sabrini Saragih
Penyunting: Mouna Wasef