Fokus utama kritik tersebut berkaitan dengan isu mineral kritis, terutama tembaga dan nikel, serta potensi dampaknya terhadap arah kebijakan hilirisasi dan transisi energi nasional yang berkeadilan.
Organisasi masyarakat sipil Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama lembaga riset internasional Transnational Institute (TNI) menyampaikan kritik tajam terhadap dua kesepakatan perdagangan terbaru yang dijalin oleh Pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Fokus utama kritik tersebut berkaitan dengan isu mineral kritis, terutama tembaga dan nikel, serta potensi dampaknya terhadap arah kebijakan hilirisasi dan transisi energi nasional yang berkeadilan.
Sejak diberlakukannya larangan ekspor mineral mentah pada 2020, Indonesia telah mencatatkan peningkatan nilai tambah domestik sebesar 20 hingga 30 persen untuk komoditas seperti nikel. Keberhasilan ini sering dijadikan “daya tarik utama” dalam negosiasi perdagangan dengan negara mitra, termasuk AS dan UE.
Namun, mereka menilai bahwa proses perundingan yang berlangsung secara tertutup tanpa pelibatan publik serta isi kesepakatan yang tidak transparan berpotensi menimbulkan “tukar-guling” kepentingan yang justru dapat melemahkan posisi Indonesia, khususnya dalam menjaga kedaulatan sumber daya dan keberlanjutan transisi energi hijau.
Hingga pembaruan terakhir per 19 Juli 2025, Pemerintah Indonesia telah mengumumkan dua kesepakatan penting. Pertama, perjanjian tarif resiprokal dengan AS yang dirilis pada 15 Juli, di mana Indonesia memperoleh pemotongan tarif ekspor hingga 19 persen turun dari ancaman 32 persen dengan imbal balik pembelian 50 unit pesawat Boeing serta peningkatan impor produk pertanian dan energi dari AS.
Kedua, kesepakatan CEPA dengan UE yang dicapai dalam bentuk kesepakatan politik pada 13 Juli dan ditargetkan rampung secara final pada September 2025. Dalam perjanjian ini, sekitar 80 persen tarif barang dan jasa akan diliberalisasi.
Namun, dibalik keuntungan dagang tersebut, PWYP dan TNI mengingatkan adanya konsekuensi strategis yang bisa melemahkan upaya pembangunan industri pengolahan mineral di dalam negeri. Pengamanan rantai pasok mineral kritis kini menjadi instrumen geopolitik yang digunakan negara maju seperti AS dan UE untuk menekan negara-negara berkembang yang kaya sumber daya. Kebijakan ini dianggap berseberangan dengan semangat hilirisasi Indonesia, yang justru mendorong nilai tambah melalui pengolahan dalam negeri.
Dalam pandangan Peneliti TNI, Rachmi Hertanti, AS memiliki kepentingan besar untuk mengamankan pasokan mineral strategis seperti tembaga guna mendukung industri pertahanan dan semikonduktor. Di sisi lain, kebijakan proteksionis Presiden Trump, seperti program “Made in America”, menjadi tantangan bagi Indonesia dalam mempertahankan kebijakan nilai tambah.
“Efektivitas negosiasi hilirisasi mineral Indonesia terancam oleh kebijakan Trump. Memasukkan mineral dalam negosiasi menjadi tidak relevan, dan Indonesia akhirnya kompromi demi penurunan tarif, mengorbankan hilirisasi tembaga, mengunci Indonesia kembali ke ekspor mentah di bagian bawah rantai nilai global,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Hukumonline, Senin (21/7).
Ia juga menyoroti larangan ekspor mineral mentah seharusnya menjadi pijakan utama dan tidak dapat ditawar dalam konteks geopolitik global. Kebijakan ini sebelumnya telah menuai protes dari UE melalui gugatan terhadap larangan ekspor nikel di WTO, yang didukung oleh AS sebagai pihak ketiga.
“Tarik-menarik kepentingan untuk penurunan tarif AS dan akses pasar UE hanya melemahkan posisi tawar Indonesia. Misalnya saja AS hari ini ingin memperkuat kapasitas industri pengolahan dalam negerinya, terkhusus terkait tembaga untuk menghapus ketergantungan dengan China,” lanjutnya.
Di sisi lain, laporan National Trade Estimate (NTE) 2024 dari AS juga mencantumkan larangan ekspor tembaga Indonesia sebagai hambatan dagang. Dalam CEPA Indonesia-UE, kata dia, ketentuan tentang energi dan bahan baku mineral disebut-sebut berpotensi melanggar prinsip hilirisasi, karena memuat klausul larangan pembatasan ekspor, penghapusan bea ekspor, dan relaksasi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
“Sehingga yang akan terjadi Indonesia ditekan untuk menghapus larangan ekspor konsentrat, termasuk TKDN, dan niat memperkuat industri hilir khususnya tembaga berpotensi pupus,” tandasnya.
Hal sama disampaikan oleh Deputi Direktur PWYP Indonesia, Meliana Lumbantoruan yang menilai bahwa negosiasi tarif dengan AS secara langsung berisiko melemahkan arah kebijakan hilirisasi tembaga, terutama dalam konteks hubungan rumit Indonesia dengan Freeport McMoRan, perusahaan tambang asal AS.
“Freeport terus mencari celah untuk tetap mendapatkan relaksasi ekspor konsentrat tembaga. Jika Pemerintah tunduk pada tekanan AS dan mengendurkan larangan ekspor, maka kebijakan hilirisasi yang dimulai pada Desember 2024 akan kehilangan konsistensi dan arah. Ini sangat merugikan Indonesia dalam jangka panjang,” ucapnya.
Lebih jauh, Meliana juga menyoroti dimensi keberlanjutan lingkungan yang luput dari kesepakatan perdagangan tersebut. Menurutnya, permintaan global terhadap mineral kritis yang meningkat tajam telah memicu praktik ekstraksi berlebihan yang mengancam ekosistem dan memperparah krisis iklim.
“Larangan ekspor mineral mentah semestinya digunakan untuk mengendalikan pemberian izin dan produksi secara lebih bijak. Ini bisa menjadi instrumen penting dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab dan selaras dengan komitmen keberlanjutan lingkungan,” jelas dia.
Ia pun meragukan adanya komitmen serius terhadap isu keberlanjutan lingkungan dalam dua kesepakatan perdagangan tersebut. Misalnya dalam CEPA Indonesia-UE, tidak terlihat ada mekanisme penilaian dampak lingkungan yang dapat mengikat secara hukum. Sementara dengan AS, sejarah pemerintahan Trump menunjukkan sikap yang sangat skeptis terhadap isu lingkungan.
“Trump bahkan menarik AS keluar dari Paris Agreement dan kembali memprioritaskan bahan bakar fosil,” tambahnya.
Untuk itu, PWYP Indonesia dan Transnational Institute mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk transparan dan membuka akses publik pada isi kesepakatan perdagangan Indonesia dengan AS dan UE agar dapat mengukur resiko dan potensi dampak kerugian yang akan ditimbulkannya. Menurut organisasi sipil ini, potensi dampak kerugian yang akan ditimbulkan juga harus dikaji secara komprehensif oleh DPR RI sebelum memberikan persetujuan untuk meratifikasinya.
Sumber: Hukum Online