Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia secara tegas menyampaikan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba). Sikap itu disampaikan Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR), 3 Februari lalu.

Di hadapan para anggota Baleg yang hadir, sejumlah kritik dan catatan disampaikan atas RUU Minerba yang prosesnya pembahasannya terus berjalan itu.

“RUU ini muncul secara tiba-tiba, dibahas ketika masa reses. Pun tidak masuk Progam Legislasi Nasional (Prolegnas). Terkesan terburu-buru dan publik masih kesulitan menemukan naskah akademis. Dan ini juga menjadi diakui dan dikeluhkan pada rapat Baleg dalam rapat pertama kali tentang RUU ini pada 20 Januari lalu,” kata Aryanto.

Disampaikan Aryanto, DPR dan Pemerintah perlu belajar dari lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Di mana, UU tersebut menuai berbagai penolakan dari berbagai kalangan.

Membuka paparannya, Aryanto menyampaikan sejumlah aturan masa pemerintahan sebelumnya. Pertama, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Satuan Tugas (Satgas) Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi. Satgas tersebut diketahui Bahlil, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Salah satu tugas satuan tugas tersebut, melakukan evaluasi izin tambang yang dianggap tidak produktif. Salah satu hasilnya, Pemerintah mencabut 2.078 izin tambang. Namun yang dipublikasikan baru 180 izin melalui rilis BPKM, dan hari ini, kata Aryanto, tidak diketahui izin mana saja yang dicabut.

Kemudian muncul Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi. Yang melahirkan satuan tugas yang tugasnya mengalokasian lahan. Berikutnya lahir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yang salah satu substansinya tentang pemberian izin tambang tentang organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Selanjutnya, mengubah Perpres Nomor 70/2023 tersebut menjadi Perpres Nomor 76/2024.

Aryanto mempertanyakan, apakah RUU Minerba yang memasukkan substansi pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan, perguruan tinggi dan UMKM berangkat dari hasil evaluasi kerja Satgas pada aturan-aturan yang telah disebutkan sebelumnya.

“Pertanyaan kami, apakah dalam revisi UU Minerba yang sekarang bicara ormas keagamaan, UMKM, atau perguruan tinggi masih sejalan dengan hasil kerja dari Keppres maupun Perpres tersebut? Apakah DPR, Panja maupun Komisi XII mendapatkan laporan secara akuntabel dan transparan atas kinerja Satgas tersebut? Bila memang pemberian izin-izin prioritas dalam revisi UU Minerba ini sejalan dengan itu atau tidak?” ujarnya.

Sebab katanya, penting untuk mengetahui apakah pemberian izin prioritas kepada sejumlah entitas dalam revisi UU Minerba berdiri sendiri atau merupakan hasil dari hasil penataan lahan sebagaimana diatur dalam Perpres 76/2024 tersebut. “Kalau pasal (pemberian izin kepada ormas keagamaan, perguruan tinggi dan UMKM) ini berdiri sendiri, pertanyaannya, apakah memang ada upaya melakukan penambahan izin usaha atau lelang yang baru,” ungkap Aryanto.

Berdasarkan pengamatan PWYP Indonesia, ada berbagai persoalan pertambangan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Belajar dari laporan GNPSDA KPK 2014-2018, pemerintah masih kesulitan dalam hal pembinaan, pengawasan dan penegakkan hukum (gakkum) dari ribuan jumlah izin tambang saat itu.

Pun sampai hari ini, Pemerintah juga disibukkan dengan pertambangan tanpa izin (Peti). Sementara jumlah izin yang begitu banyak tak sebanding dengan tingkat pengawasan, pembinaan dan gakkum. Memang Kementerian ESDM telah memiliki Direktorat Jenderal (Ditjen) baru, yakni Ditjen Gakkum. Namun sampai hari ini pun belum diketahui bagaimana progres atau kinerja ditjen tersebut.

“Harusnya kita perkuat pengawasan, pembinaan dan gakkum dulu, baru bicara membuka perizinan. Kalau izin dibuka, dengan kondisi pengawasan lemah, kami khawatir apa yang terjadi sebagaimana laporan GNPSDA akan terjadi, di mana 90 persen izin usaha pertambangan tidak membayar jaminan reklamasi terjadi lagi karena pengawasan lemah. Justru kami dalam hal ini menyampaikan untuk moratorium izin batu bara,” ungkap Aryanto.

Sementara dari sisi produksi batu bara, berdasarkan amanat Rencana Umum Nasional Energi (RUEN) tahun 2019, produksi batu bara harusnya maksimal 400 juta ton. Namun dalam lima tahun terakhir, angka batu bara naik dua kali lipat dari amanat RUEN tersebut. Pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan, perguruan tinggi dan UMKM akan berpotensi meningkatkan produksi nasional batu bara makin jauh dari batas maksimal dalam RUEN tersebut.

Aryanto Nugroho menyoroti pemberian izin untuk perguruan tinggi. Bagi PWYP, pemberian izin tambang untuk perguruan tinggi adalah kebijakan yang tidak tepat. Bahkan memiliki risiko rugi.

“Kampus tugasnya ya Tri Dharma Perguruan Tinggi. Karakteristik usaha pertambangan, modal besar, jangka panjang, risiko tinggi, ini tidak cocok untuk perguruan tinggi. Justru peran kampus adalah penyedia sumber daya manusia (SDM). Yang sering kita lupakan sampai hari ini adalah adanya transfer of knowledge,” imbuhnya.

Seharusnya yang dilakukan bukan memberikan izin pertambangan. Melainkan memaksimalkan peran kampus dalam hal transfer of knowledge. Mendorong perguruan tinggi menciptakan teknologi, kemudian mendorong industri menggunakan teknologi tersebut. Menurutnya, ini yang disebut sebagai pemberdayaan perguruan tinggi berdasarkan tugasnya.

“Kita bicara memperkuat transfer teknologi. Mengapa tidak kita dorong kampus menciptakan teknologi, kemudian dipatenkan, untuk mendukung industri. Sehingga industri hidup dari hak paten kampus, dan kampus dapat hidup dari hak patennya yang digunakan industri. Sehingga laboratorium kampus jalan. Peran kampus harusnya memperkuat transfer teknologi, termasuk menghasilkan inovasi baru yang didukung industri. Jadi kampus dan industri tumbuh bersama, aspek knowledge-nya juga bisa berkembang,” jelasnya.

Terkait pembiayaan pendidikan, menurut Aryanto, dapat memaksimalkan potensi-potensi penerimaan negara dan mendorongnya untuk mendukung pendidikan. Dalam pertambangan misalnya, potensi yang ada belum dimaksimalkan dengan baik. Artinya, potensi penerimaan negara dapat dimaksimalkan untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, bermutu dan murah. Tanpa perguruan tinggi harus ikut menambang.

Berikutnya, yang menjadi sorotan PWYP dalam RDPU ini, tentang hilirisasi. Tanpa disebutkan secara gamblang, ketentuan hilirisasi sebenarnya telah diatur pada UU Minerba. Bahwa pemegang IUP wajib melakukan nilai tambah. Gagalnya implementasi tentang kewajiban nilai tambah tersebut karena Pemerintah tidak konsisten dengan kewajiban tersebut. Justru melakukan relaksasi terhadap ekspor. Tanpa sikap konsisten, hilirisasi sulit terwujud.

Catatan lain terhadap revisi UU Minerba, seharusnya mengedepankan tata kelola yang sejalan dengan transisi energi dan pemaknaan yang inklusif. Dan pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan, perguruan tinggi dan UMKM. “Inklusif itu, kita bicara gender, penghormatan terhadap HAM, jumlah pekerja perempuan dan perlindungan terhadap hak pekerja. Itu inklusi yang sebenarnya. Bukan hanya sebatas memberikan prioritas lahan tambang,” tegas Aryanto.

Pada momentum ini, seharusnya, yang jadi fokus adalah bagaimana pertambangan minerba menjawab tantangan perubahan iklim. Sehingga pertambangan minerba dapat mendukung tujuan transisi energi. Dengan begitu, revisi UU Minerba dilakukan juga sejalan dengan menjawab tantangan perubahan iklim.


Bagikan