Berita Baru, Jakarta – Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak DPR, khususnya Komisi XII, untuk memperbaiki tata kelola sektor energi, lingkungan, dan sumber daya alam (SDA). Desakan ini semakin kuat setelah pengesahan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang menempatkan Komisi XII sebagai pihak yang bertanggung jawab atas isu-isu strategis di sektor energi, lingkungan, dan investasi.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menegaskan pentingnya DPR untuk meningkatkan kinerja melalui fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Menurutnya, kinerja DPR periode 2019-2024 di sektor ini masih jauh dari harapan.
“DPR harus bisa menjawab ekspektasi publik untuk tidak sekadar menjadi stempel Pemerintah semata,” kata Aryanto dalam keterangan tertulisnya pada Senin (28/10/2024). Ia menekankan pentingnya bagi Komisi XII untuk memastikan bahwa pemerintah mampu menghadapi tantangan krisis iklim serta mempercepat transisi energi yang berkeadilan.
Selain itu, masyarakat sipil juga menuntut transparansi dan partisipasi yang lebih luas dalam pembahasan legislasi, terutama yang berkaitan dengan energi dan SDA. Peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, menyatakan bahwa masih ada rapat tertutup dalam proses legislasi yang seharusnya terbuka untuk publik.
“Dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) maupun aturan teknis DPR, rapat yang tidak menyangkut strategi pertahanan negara harusnya terbuka bagi publik,” tegas Arif. Ia juga menambahkan bahwa DPR harus meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) seperti RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBET) serta isu keadilan iklim.
Selain masalah transparansi, Arif juga menyoroti banyaknya target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang belum terselesaikan, seperti RUU Minyak dan Gas Bumi serta RUU EBET. Ia menilai, solusi yang ditawarkan dalam draft RUU EBET saat ini masih belum mencerminkan semangat transisi energi yang berkeadilan.
“Masih banyak solusi yang keliru, seperti penggunaan energi nuklir dan Carbon Capture and Storage (CCS/CCUS) dalam RUU EBET,” jelas Arif.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Syaharani, menyoroti tugas besar Komisi XII untuk meninjau kembali substansi RUU EBET secara menyeluruh. Menurutnya, banyak insentif yang diberikan kepada energi berisiko tinggi dan padat karbon dalam regulasi tersebut.
Syaharani juga mengkritik revisi Peraturan Pemerintah (PP) terkait Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang disetujui Komisi VII DPR sebelumnya. Menurutnya, revisi ini justru menurunkan target penggunaan energi terbarukan dan meningkatkan proyeksi pemanfaatan gas, yang bertentangan dengan rekomendasi global untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan.
“Pengawasan terhadap penegakan hukum di sektor energi dan lingkungan juga sangat penting. Tanpa pengawasan yang kuat, regulasi yang ambisius hanya akan menjadi wacana,” tutup Syaharani.
Sumber: Berita Baru