Jakarta, 17 September 2024 – Indonesia baru saja menyelesaikan helatan akbar Pemilu 2024, dengan terpilihnya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 2024-2029. Kini, tantangan besar yang dihadapi adalah mengintegrasikan visi dan misi yang dibawakan selama kampanye ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang sedang disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas. Momentum ini krusial untuk menentukan arah pembangunan nasional, terutama dalam pengelolaan energi dan sumber daya alam (SDA) yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan, serta sejalan dengan amanat konstitusi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hal ini menjadi fokus utama dalam acara Konferensi Nasional Tata Kelola Energi dan SDA yang diselenggarakan oleh Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, dengan tema “Arah dan Strategi Pengelolaan Energi dan SDA di Era Pemerintahan Baru”. Konferensi ini berlangsung di bilangan Jakarta Pusat, pada Selasa, 17 September 2024.
Natalia Soebagjo, Ketua Badan Pengarah PWYP Indonesia, dalam sambutannya menekankan bahwa “Konferensi ini merupakan bagian dari Rapat Umum Anggota (RUA) PWYP Indonesia, yang berfungsi sebagai mekanisme pengambilan keputusan tertinggi koalisi PWYP Indonesia. Dalam momentum ini, kita ingin merumuskan keputusan penting tentang tata kelola sektor energi dan SDA, sekaligus merespons tantangan perubahan iklim yang mendesak.”
Dalam menuju Indonesia Emas 2045, generasi saat ini dihadapkan pada tiga tantangan besar, yaitu krisis iklim, krisis keanekaragaman hayati, dan penurunan kualitas SDA, terutama energi fosil yang telah diekstraksi sejak abad ke-19. Bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim adalah manifestasi nyata dari krisis-krisis ini, yang berdampak besar terhadap ekonomi.
“Krisis iklim merupakan ‘The Mother of Crisis’. Ia memicu krisis yang lebih besar, termasuk krisis pangan, dan menyebabkan ketimpangan jika tidak ditangani dengan baik,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sebagai pembicara kunci konferensi ini.
Fabby menambahkan bahwa tantangan dalam mengatasi krisis iklim sangatlah besar, dengan ketergantungan pada bahan bakar fosil yang masih tinggi. “Untuk memitigasi perubahan iklim, percepatan transisi energi adalah suatu keharusan. Upaya untuk mengatasi krisis iklim harus diawali dengan pengurangan dan penghentian penggunaan energi fosil. Tentu saja, ini bukan perkara mudah, mengingat komitmen dari negara-negara masih kurang dari yang diharapkan,” jelasnya.
Meskipun demikian, Fabby tetap optimis bahwa arah Indonesia ke depan sejalan dengan transisi energi dan secara bertahap mengurangi konsumsi bahan bakar fosil.
“Presiden terpilih, Prabowo, menargetkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Menurut kajian Bappenas, pertumbuhan ekonomi perlu mendorong penurunan emisi gas rumah kaca. Tren investasi harus beralih ke energi terbarukan, sehingga penting bagi pemerintah mendatang untuk memiliki target ambisius dalam pengembangan energi terbarukan,” sambung Fabby, yang juga ketua Badan Pengarah PWYP Indonesia Periode 2012-2020.
Selanjutnya, tantangan pada masa transisi energi akan meningkatkan permintaan mineral kritis. Hal ini menjadi tekanan bagi Indonesia untuk menghasilkan mineral-mineral tersebut, terutama dengan cadangan mineral kritis yang melimpah, seperti nikel dan timah. Namun, persoalan lingkungan harus menjadi perhatian utama.
Ke depan, khususnya di era pemerintahan baru, penguatan tata kelola sumber daya alam dan energi menjadi syarat penting untuk keberhasilan transisi energi, penanganan krisis iklim, dan pemanfaatan sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat. Fabby menyampaikan rekomendasi tegas: “Hindari ‘false solution’, solusi efektif untuk memangkas emisi gas rumah kaca sangat dibutuhkan. Kita harus menghindari jebakan untuk memperpanjang ketergantungan pada energi fosil. Ekstraksi sumber daya alam harus memperhatikan daya dukung lingkungan dan melindungi hak-hak masyarakat. Selain itu, memperkuat kerangka regulasi, transparansi, dan memastikan nilai tambah untuk dimaksimalkan bagi Indonesia, termasuk investasi pada industri menengah dan hilir, transfer teknologi, serta penciptaan lapangan kerja.”
Rangkaian konferensi ini mencakup berbagai kegiatan, termasuk talkshow dan sesi paralel yang dihadiri oleh narasumber dari pemerintahan, asosiasi pertambangan, koalisi PWYP Indonesia, serta organisasi masyarakat sipil. Konferensi ini juga dihadiri oleh perwakilan PWYP Global.
Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho, juga menekankan pentingnya penguatan tata kelola sektor energi dan SDA. Menurutnya, pemerintah perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, bukan hanya dalam bentuk publikasi normatif, tetapi juga melibatkan partisipasi masyarakat sipil. “Kami mendukung tata kelola berbasis hak. Prasyarat untuk melibatkan masyarakat sipil adalah adanya demokrasi dan ruang sipil yang memadai. Saat ini, indeks demokrasi kita mengalami penurunan, dan ada kekhawatiran tentang apakah ruang sipil akan tetap ada di era pemerintahan baru,” ungkapnya.
Dalam konteks transisi energi, Aryanto menyatakan bahwa permintaan terhadap mineral kritis akan terus meningkat. Oleh karena itu, tata kelola berbasis hak yang mempertimbangkan hak asasi manusia dan lingkungan harus diwujudkan. “Peoples Before Profit, kepentingan rakyat harus menjadi prioritas utama, baru kemudian kita membahas kepentingan lain. Pertumbuhan ekonomi memang penting, tetapi jangan sampai mengabaikan ketimpangan yang mungkin timbul,” tutupnya.
Konferensi ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang konstruktif bagi arah kebijakan pengelolaan energi dan sumber daya alam yang lebih baik, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam mengawal tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel di era pemerintahan yang baru.
Narahubung:
Aryanto Nugroho – aryanto@pwypindonesia.org