Jakarta – Indonesia saat ini tengah menjalani proses aksesi untuk menjadi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Langkah ini sejalan dengan visi ambisius Indonesia Emas 2045, yang bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu jajaan negara maju. Proses aksesi ini melibatkan evaluasi yang ketat dari 26 komite teknis yang akan menilai sejauh mana Indonesia mampu menyelaraskan diri dengan kebijakan dan praktik OECD. Tentu saja, banyak hal yang harus disesuaikan, mulai dari kebijakan hingga tata kelola kelembagaan serta kesiapan untuk mengimplementasikan standar OECD.

Salah satu fokus utama dalam aksesi ke OECD adalah adopsi dan implementasi instrumen Responsible Business Conduct (RBC). RBC merupakan pedoman penting bagi perusahaan multinasional yang telah diadopsi oleh semua anggota OECD dan juga terbuka bagi negara-negara non anggota yang berminat. Saat ini, sekitar 50 negara telah mengadopsi atau sedang dalam proses mengadopsi pedoman RBC.

Implementasi RBC menunjukkan komitmen perusahaan untuk menghormati dan berkontribusi pada hak asasi manusia, menjaga lingkungan, melindungi kepentingan konsumen, serta memerangi korupsi. Pedoman ini juga bertujuan untuk menciptakan persaingan yang adil di pasar, dengan mendukung iklim investasi internasional yang berbasis regulasi.

Untuk memastikan kepatuhan terhadap pedoman RBC, OECD telah mengembangkan panduan sektoral yang membantu perusahaan mengidentifikasi dan mengatasi risiko yang berkaitan dengan manusia, lingkungan, dan masyarakat dalam operasi bisnis mereka. Hal ini diungkapkan oleh Deputi Direktur Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Meliana Lumbantoruan, dalam launching bunga rampai bertajuk Mengkaji Aksesi Indonesia Menuju Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Perspektif Masyarakat Sipil, yang diterbitkan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) pada 23 Juli 2024 di bilangan Jakarta Pusat.

Meliana, sebagai salah satu penulis dalam bunga rampai tersebut, secara khusus mencermati hubungan antara aksesi Indonesia ke OECD dan implementasi RBC di sektor ekstraktif. Sektor pertambangan, meskipun memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan, juga menghadapi tantangan lingkungan dan sosial. Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pemangku kepentingan di sektor ini untuk memenuhi standar RBC serta pedoman terkait.

RBC merupakan kerangka kerja yang dapat diandalkan untuk menganalisis dampak sektor ekstraktif terhadap masyarakat dan lingkungan. Mengingat kontribusi besar sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), konsekuensi negatif, terutama bagi masyarakat adat dan lingkungan, semakin tidak bisa diabaikan. OECD mendorong penerapan RBC sebagai proses mitigasi dan pengelolaan dampak negatif dari kegiatan produksi barang dan jasa oleh perusahaan, terutama yang berskala internasional.

Komitmen pemerintah Indonesia untuk aksesi ke OECD juga bertujuan meningkatkan investasi. Peningkatan investasi berpotensi membuka lebih banyak peluang di bidang ekstraktif, namun ini juga membawa risiko bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, perlu ada usaha untuk memastikan bahwa upaya investasi ini tidak berbalik menjadi ancaman bagi iklim usaha domestik. Setelah menjadi anggota OECD, Indonesia harus siap menghadapi persaingan pasar bebas dan liberalisasi industri.

Menjadi anggota OECD tidak hanya membuka akses pasar baru, tetapi juga memerlukan kesiapan agar Indonesia tidak terjebak menjadi pasar bagi negara-negara OECD lainnya. Ini memerlukan komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan untuk memanfaatkan aksesi ini sebagai langkah untuk memperkuat tata kelola sektor ekstraktif yang bertanggung jawab.

Secara khusus, Meliana menyampaikan sembilan rekomendasi terkait implementasi RBC di sektor ekstraktif. Rekomendasi tersebut meliputi:

  1. Memperbarui dan menyelaraskan peraturan nasional dengan standar RBC OECD, termasuk aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan.
  2. Meningkatkan kapasitas lembaga pengawas (Non-Governmental Organizations, NCP) untuk memantau dan menegakkan kepatuhan terhadap regulasi RBC.
  3. Menerapkan insentif bagi perusahaan yang mematuhi standar RBC, serta sanksi bagi yang melanggar.
  4. Mengharuskan perusahaan untuk melakukan pelaporan publik yang transparan terkait dampak sosial dan lingkungan dari operasi mereka.
  5. Menerapkan integritas bisnis dalam tata kelola ekonomi.
  6. Melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan melalui konsultasi publik yang efektif;
  7. Menyediakan mekanisme pengaduan yang mudah diakses bagi masyarakat untuk melaporkan pelanggaran RBC;
  8. Membentuk kerja sama antara pemerintah daerah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan organisasi internasional untuk mendukung implementasi RBC;
  9. Melakukan evaluasi berkala terhadap penerapan RBC di sektor ekstraktif dan melakukan penyesuaian kebijakan sesuai kebutuhan.