Jakarta – Pada 25 Juli 2024, Mouna Wasef, Kepala Divisi Riset dan Advokasi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, menjadi panelis dalam kegiatan bertajuk Just Transition Dialogue yang diadakan oleh Institute of Essentials Services Reform (IESR) di bilangan Jakarta Pusat. Kegiatan ini merupakan diskusi kedua yang membahas isu konseptual pada agenda transisi energi berkeadilan di Indonesia. Setelah sebelumnya membahas mengenai definisi dan lingkup transisi berkeadilan dalam konteks Indonesia, diskusi kali bertujuan untuk menyamakan pandangan dari berbagai lapisan masyarakat sipil.

Hadir sebagai panelis lainnya, Suraya A Afif, Akademisi Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Indonesia, dan Royanto Purba, Ketua Umum Serikat Pekerja (FSP) Kerah Biru, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, yang bertukar pikiran mengenai makna dari kata-kata ‘berkeadilan’ dalam transisi energi di Indonesia. Lebih dari empat puluh peserta hadir mengikuti diskusi yang diadakan secara luring dan daring.

Mouna Wasef menekankan pentingnya memprioritaskan keterlibatan kelompok perempuan dan disabilitas dalam aspek partisipasi advokasi transisi energi berkeadilan di Indonesia.

“Sudah saatnya kita memperlebar jaringan. Masih banyak ruang bagi organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk melibatkan organisasi perempuan dan organisasi orang dengan disabilitas. Sebagai catatan, aspek Gender Equality, Disability and Social Inclusion (GEDSI) dalam narasi transisi berkeadilan disinyalir menjadi klise karena secara praktek kita belum terlalu eksplisit melibatkan aktor-aktor yang berkaitan”, katanya.

Hal yang bersifat kualitatif ini menjadi salah satu poin strategis yang perlu dikedepankan. Isu transisi energi tidak cukup jika hanya mempersoalkan penerapan teknologi, melainkan di dalamnya bersentuhan dengan persoalan fundamental. Mouna memberikan contoh sederhana bahwa saat ini saja di Indonesia baru memulai pengarusutamaan Gender Equality (GE) saja pada GEDSI transisi energi berkeadilan sedangkan untuk Disability and Social Inclusion (DSI) masih perlu ditingkatkan. Ketika membicarakan disabilitas, disabilitas apa saja yang termasuk di dalamnya? Jika kita tidak sering melibatkan kelompok orang dengan disabilitas dan inklusi sosial, maka kita tidak akan mendapatkan perspektif yang definitif dalam merangkai narasi berkeadilan.

Just Transition Dialogue II mengajak publik untuk berpikir ulang mengenai apa yang dimaksud dari transisi energi berkeadilan. Istilah berkeadilan harus didudukan kembali ke akar historisnya yang berangkat dari aspirasi gerakan kelas pekerja di tahun 70-an yang menginginkan supaya perubahan dapat dirasakan manfaatnya bagi semua orang. Sejalan dengan aspirasi tersebut, maka transisi energi yang berkeadilan juga harus memastikan akses mengenai informasi teknis sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Ini memerlukan paradigma kepedulian di dalamnya sehingga persoalan transisi energi berkeadilan tidak terjebak dalam kerangka teknokratis.

Mendefinisikan transisi energi berkeadilan di Indonesia berarti mempertegas posisi Indonesia dalam konteks agenda global yang semakin mendesak. Dialog antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil menjadi jantung perdebatan isu ini, karena keberhasilan transisi energi yang berkeadilan bergantung pada partisipasi dan kolaborasi semua pihak.

Masyarakat sipil harus terus mengkonsolidasi diri sehingga mampu mempengaruhi diskursus transisi energi berkeadilan dalam ruang-ruang publik dan menjadikan titik temu tersebut sebagai awalan menuju perubahan. Dalam mengadvokasikan kebijakan, organisasi masyarakat sipil harus mulai terbiasa untuk mengarusutamakan prinsip GEDSI dalam setiap output rekomendasinya. Ini menjadi langkah sederhana yang bisa diadopsi untuk mendorong setiap jejaring masyarakat sipil untuk dapat melibatkan perempuan, orang dengan disabilitas, dan kelompok inklusi sosial lainnya secara nyata.

Penulis: Muhammad Adzkia Farirahman
Reviewer: Aryanto Nugroho