Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia berkolaborasi dengan Ember Climate dan Sekretariat Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selenggarakan webinar bertajuk “Memahami Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Industri Ekstraktif Indonesia”, pada 31 Juli 2024. Webinar ini bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor industri ekstraktif Indonesia dan mendiskusikan transparansi data emisi GRK dalam kerangka keterbukaan informasi publik di Indonesia. Pemahaman terkait emisi dari sektor ekstraktif diperlukan untuk dapat mengadopsi praktik-praktik yang lebih berkelanjutan. Selain itu, pelaku usaha di sektor ini juga dapat menentukan strategi yang tepat untuk mengurangi emisi GRK, seperti peningkatan efisiensi energi, penggunaan teknologi hijau, dan pengelolaan limbah yang lebih baik.

Webinar ini menghadirkan Mouna Wasef, Head of Research and Advocacy PWYP Indonesia sekaligus alternate Wakil Masyarakat Sipil dalam Multi Stakeholders Group (MSG) EITI Indonesia, Dody Setiawan, Senior Analyst Climate and Energy, Ember Climate dan Nurhadi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian ESDM.

Mouna Wasef menyampaikan bahwa Indonesia sudah menandatangani Perjanjian Paris dan berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030 mendatang. Di saat yang bersamaan, sebagai salah satu negara pelaksana EITI, perusahaan-perusahaan ekstraktif di Indonesia juga didorong untuk melaporkan emisi gas rumah kacanya, sebagaimana Standar EITI 2023 (3.4). Pelaporan emisi GRK ini diperlukan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dari perusahaan serta sektor industri ekstraktif secara keseluruhan.

“Keterbukaan data emisi GRK ini menjadi sangat penting mengingat industri ekstraktif memiliki emisi langsung dan tidak langsung. Keterbukaan data juga dapat mendukung akuntabilitas Indonesia terkait komitmen iklim” ujarnya.

Mouna menambahkan bahwa meskipun saat ini keterbukaan emisi GRK perusahaan ekstraktif dalam EITI masih dalam anjuran, tidak menutup kemungkinan standar yang sama akan berubah menjadi kewajiban pelaporan di masa mendatang. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya sistemik untuk mendorong percepatan pencatatan data emisi GRK di sektor ekstraktif.

“Tak hanya untuk pemenuhan standar EITI semata, namun sebagai bentuk komitmen terhadap pencapaian net zero emission” jelasnya.

Dody Kurniawan, menyampaikan kajian terbaru Ember Climate yang menemukan bahwa enam dari sepuluh perusahaan batubara terbesar di Indonesia belum melaporkan emisi gas metana sebagai kontributor utama emisi di sektor tambang batubara.

“Padahal diantara semua gas rumah kaca yang dilepaskan dari rantai pasokan batubara, gas metana tambang batu bara dianggap sebagai emisi utama karena memiliki efek pemanasan 30 kali lebih besar dibandingkan karbon dioksida” jelasnya.

Selain itu terungkap dari 909 konsesi batubara di Indoensia, sepuluh perusahaan batubara tersebut menguasai setengah dari produksi batu bara di Indonesia.

Di satu sisi, Indonesia memiliki sejumlah regulasi yang memberi mandat kepada pemerintah dan pelaku usaha mencatat inventori emisi metana di tambang batubara. Indonesia telah menyepakati kesepakatan global terkait metana dan perlu melakukan pelaporan United Nation Framework Convention for Climate Change (UNFCCC) serta aksi mitigasi secara bienial. Perusahaan tambang batuabra yang terdaftar di bursa efek harus menyiapkan laporan keberlanjutan yang mencakup emisi. Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2019 terkait Inventori Gas Rumah Kaca juga mengatur pelaporan emisi.

Nurhadi, menyampaikan hasil kajian bertajuk Perhitungan Emisi GRK dari Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara yang menggunakan metode berdasarkan The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Guidelines 2006 dan Refinement IPCC 2019 yang membagi metode perhitungan berdasarkan tingkat ketelitian: Tier-1 menggunakan faktor emisi global, Tier-2 menggunakan data spesifik untuk negara atau pabrik, dan Tier-3 menggunakan metode pengukuran langsung yang lebih akurat.

Dari hasil analisis, terungkap bahwa tiga jenis perusahaan dengan kapasitas produksi yang berbeda menunjukkan variasi emisi yang signifikan. Perusahaan A (produksi tinggi) menghasilkan total emisi sebesar 2.005.443 ton CO2eq, sedangkan Perusahaan B (produksi menengah) memiliki emisi sebesar 346.017 ton CO2eq. Perusahaan C (produksi rendah) hanya mengeluarkan 1.343 ton CO2eq. Estimasi total emisi gas rumah kaca dari sektor pertambangan batubara nasional dihitung berdasarkan riwayat produksi batubara dari tahun 2016 hingga 2022, dengan total emisi mencapai 34.133 Gg CO2eq pada tahun 2022.

“Saat ini, Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara sedang melakukan kajian untuk menyusun pedoman inventarisasi emisi gas rumah kaca di subsektor pertambangan mineral dan batubara. Harapannya adalah agar semua badan usaha di subsektor ini akan diwajibkan melaporkan inventarisasi emisi sesuai dengan pedoman yang sedang disusun. Data inventarisasi yang diperoleh akan diintegrasikan ke dalam database Minerba One Data Indonesia (MoDI) ke depannya” pungkasnya.

Penulis: Muhammad Adzkia Farirahman
Reviewer: Aryanto Nugroho