Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia meluncurkan panduan pemantauan implementasi GEDSI dalam transisi energi di Indonesia di bilangan Jakarta pada 28 Juni 2024. PWYP Indonesia mengundang sejumlah pihak baik dari organisasi masyarat sipil (OMS), organisasi perempuan maupun pemerintahan yang diwakili Dewan Energi Nasional (DEN) dan Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia. Para penanggap memberikan catatan terhadap dokumen yang telah disusun. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi upaya awal untuk mewujudkan rambu-rambu yang akomodatif terhadap kebutuhan kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI) dalam transisi energi di Indonesia.
Indonesia dalam komitmennya terhadap pelaksanaan JETP harus memastikan pelaksanaan program transisi energi agar tidak mengulangi kesalahan lama dari tata kelola energi fosil. Wicitra Diwasasri, peneliti PWYP Indonesia sekaligus penulis panduan, dalam penyampaian materinya menyorot bagaimana Pembangkit Listrik tenaga air (PLTA), sebagai proyek prioritas JETP dengan nilai investasi tertinggi kedua, berpotensi merugikan perempuan dengan interseksionalitas seperti perempuan pedesaan dan perempuan dengan disabilitas.
“Kenapa perempuan? Perempuan mudah terdampak dengan aktivitas energi maupun kemiskinan energi. Perempuan berpotensi mendapat kerentanan berlapis akibat kontruksi sosia yangl tidak adil gender. Perempuan dengan disabilitas rentan mendapat diskriminasi yang lebih besar dari laki-laki baik yang merupakan penyandang maupun bukan penyandang disabilitas,” katanya.
Di satu sisi PLTA memang dianggap berperan penting dalam upaya transisi energi di sektor penyediaan listrik dan energi terbarukan yang akan berkontribusi hingga 30% total produksi energi nasional. Di sisi lain, dalam proses pembangunannya, tidak terlepas dari alih fungsi lahan secara masif yang akan merenggut hak-hak masyarakat sekitar termasuk kelompok perempuan dan penyandang disabilitas.
Dalam panduan dipaparkan bahwa pembangunan PLTA menghasilkan polusi udara, isu air yang erat kaitannya dengan gizi dan pemenuhan pangan, kerusakan ekosistem, banjir, dan penyakit menular yang berhubungan dengan air. Melalui kacamata GEDSI, panduan ini memformulasikan langkah mitigasi yang perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak risiko-risiko tersebut terutama terhadap perempuan dan penyandang disabilitas.
Selain itu, panduan ini menggarisbawahi urgensi dari keterlibatan bermakna perempuan maupun kelompok disabilitas untuk berpartisipasi dalam proses transisi energi. Sering kali, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan sangat minim karena budaya patriarki yang lebih mengutamakan pihak laki-laki untuk mengambil keputusan. Dalam konstruksi sosial, perempuan juga diberikan beban ganda yang dapat menghambat peran mereka untuk berkontribusi di dalam proses perencanaan kebijakan maupun forum publik lainnya.
Kegiatan ini turut menghadirkan perspektif pembuat kebijakan yang diwakili oleh Dina Nurul Fitriani, Anggota Unsur Pemangku Kepentingan DEN yang juga terlibat dalam perancangan peraturan pemerintahan (RPP) terkait kebijakan energi nasional (KEN). Beliau berharap kedepannya panduan ini akan mencakup lebih luas lagi proyek transisi energi lainnya dan mampu memformulasikan khusus terkait penggunaan lahan dalam konteks proyek strategis nasional (PSN) sehingga nantinya tidak menghasilkan dampak negatif terhadap kehidupan domestik masyarakat sekitar.
Dalam kesempatan yang sama, sejumlah OMS turut memberikan catatan terkait aspek praktis penggunaan dari panduan GEDSI yang telah disusun. Penggunaan indikator yang relevan untuk para pihak terkait nantinya menjadi catatan yang penting untuk dapat mengakomodir kesamaan persepsi mengenai konsep GEDSI itu sendiri. Pengejawantahan terkait hal-hal spesifik mengenai kebutuhan beragam disabilitas juga menjadi masukan dari Maulani Rotinsulu, penanggap dari ASEAN Disability Forum.
Penulis: Muhammad Adzkia Farirahman
Reviewer: Mouna Wasef