Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil (CSO) bertemu dan berdiskusi pada tanggal 24 Juni 2024 di bilangan Jakarta Selatan. Pertemuan tersebut membahas perkembangan dan substansi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang telah selesai diharmonisasi oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada tanggal 4 Juni 2024 lalu. Selanjutnya RPP KEN akan disampaikan kepada Komisi 7 DPR RI untuk dibahas lebih lanjut. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU Energi) sendiri mengamanatkan bahwa KEN ditetapkan pemerintah dengan persetujuan DPR RI.

RPP KEN berpeluang menjadi dokumen kunci kebijakan energi dalam proses transisi energi berkeadilan menuju target emisi nol bersih (Net Zero Emission/NZE) Indonesia di tahun 2060. Pertemuan CSO ini bertujuan untuk memproyeksikan implikasi kebijakan dalam RPP KEN serta dampaknya secara lebih holistik di masa depan. Mengingat sejumlah perubahan mendasar dalam RPP KEN seperti penurunan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) pada 2025 dari yang sebelumnya 23 persen menjadi 17-19%, dan menjadi 19-21% pada 2030, target yang lebih rendah dibandingkan KEN tahun 2014. Selain itu, kebijakan ini juga bertentangan dengan komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) yang menargetkan mencapai bauran energi terbarukan hingga 44% pada tahun 2030.

Syaharani, Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) memantik diskusi dengan sejumlah catatan penting terkait sinyal maju mundur transisi energi berkeadilan dalam RPP KEN. Menurutnya, bahasa yang digunakan dalam RPP KEN masih normatif dan memungkinkan terjadinya multitafsir. Penggunaan istilah energi baru dan terbarukan (EBET) dan energi baru terbarukan (EBT) dalam RPP KEN masih abu-abu, sehingga memberi ruang bagi dominasi energi fosil, gas, atau energi baru seperti nuklir. Dibandingkan dengan adopsi energi terbarukan melalui pembangkit listrik surya atau angin, RPP KEN terkesan lebih memprioritaskan infrastruktur energi berbasis lahan seperti nuklir, amonia, dan hidrogen. Selain itu, pemanfaatan batubara yang masih akan dijadikan sebagai sumber cadangan energi mengindikasikan bahwa kebijakan ini berorientasi untuk mengakomodir dependensi terhadap energi kotor yang sudah ada.

Pemanfaatan energi fosil dalam RPP KEN ini juga dianggap dengan perspektif yang tidak berpihak kepada transisi energi karena penggunaan bahasa yang tidak tegas. Pemanfaatan energi fosil yang masih diakomodasi dengan syarat penggunaan teknologi rendah karbon yang dinilai tidak dapat memitigasi peluang penggunaan masif teknologi rendah karbon seperti carbon capture storage (CCS) yang berkaitan dengan batubara. Di saat yang bersamaan, tidak ada insentif maupun pendanaan energi terbarukan berbasis komunitas untuk menghasilkan kemandirian energi. Bahkan dalam kaitannya dengan hal ini, RPP KEN tidak menyinggung sama sekali dan mengambil pendekatan yang sentralistik. Seharusnya, Dewan Energi Nasional (DEN) dapat memfasilitasi desentralisasi energi sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2023 tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral pada sub-Bidang Energi Terbarukan.

Diskusi yang dihadiri sejumlah CSO yang concern di isu energi tersebut memunculkan berbagai pandangan dan pertanyaan mengupas RPP KEN ini. Beberapa hal yang masih dapat diupayakan adalah catatan-catatan mengenai kebutuhan pengaturan terkait mitigasi dampak sosial dari pengelolaan energi. Selain itu, pengaturan khusus terkait partisipasi masyarakat dan akses terhadap informasi sangat diperlukan, terutama pentingnya perspektif Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) sebagai garda terdepan kelompok yang berpotensi termarjinalisasi oleh kebijakan yang tidak sensitif terhadap kepentingan mereka. Ini untuk memastikan adanya mitigasi risiko dari pendekatan top-down pemerintah sehingga proses transisi energi bisa memberikan manfaat yang berarti.

Terlepas dari target NZE yang kurang ambisius, masyarakat perlu khawatir dengan profil ketahanan krisis iklim yang akan dihadapi Indonesia di masa depan. RPP KEN tidak menyinggung target 1.5°C yang disepakati dalam Kesepakatan Paris. Dikhawatirkan, Indonesia semakin tidak mampu berkontribusi untuk mengurangi dampak negatif kenaikan suhu rata-rata bumi.

Lebih dari transisi energi yang berorientasi pada dekarbonisasi, KEN Indonesia masih harus dikaitkan dengan ketentuan lain yang berlaku untuk mendukung transisi energi. Indonesia harus mampu memberikan sinyal untuk menambah nilai dari narasi rendah karbon menjadi energi terbarukan. Diskusi ini membahas peluang advokasi di luar KEN yang strategis dalam mengupayakan agenda transisi energi berkeadilan. Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia, menggarisbawahi pentingnya melakukan pemetaan dokumen kebijakan dengan logika yang tepat. Hal ini dikarenakan masih adanya simpang-siur koordinasi multipihak di berbagai sektor bagi para pemangku kebijakan yang berkaitan dengan agenda transisi energi berkeadilan. Keterkaitan antara substansi RPP KEN dengan dokumen-dokumen lain turut dibahas untuk memungkinkan penguatan konsolidasi dalam memformulasikan strategi yang tepat untuk target ke depan.

Penulis: Muhammad Adzkia Farirahman
Reviewer: Aryanto Nugroho