Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia selenggarakan diskusi kelompok terfokus bertajuk Pengarusutamaan Gender Equality, Disability, and Social Inclussion (GEDSI) dalam Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia, pada 10 10 Mei 2023 di bilangan Jakarta Pusat. Kegiatan yang menghadirkan Ahmad Ashov Birry, Program Director Trend Asia; Mike Verawati Tangka, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia; dan Nurul Saadah, Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) sebagai Narasumber tersebut bertujuan untuk menyampaikan draft awal policy paper yang tengah disusun PWYP Indonesia sekaligus mendapatkan masukan dan saran terhadap draft policy paper.
Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional PWYP Indonesia memberi sambutan dengan menyampaikan pertanyaan penting terkait konsep keadilan ketika dikontekskan dengan transisi energi. Memastikan keadilan berarti mencakup keterlibatan masyarakat dan kelompok rentan pada diskusi-diskusi penting proses transisi energi di Indonesia. Tak hanya konsep keadilan, prinsip-prinsip GEDSI pada transisi energi di Indonesia harus dapat diterapkan agar masyarakat dan kelompok rentan dapat merasakan manfaat sebaik-baiiknya.
Pertanyaan kunci pada kajian ini diantaranya adalah bagaimana konsepsi keadilan dalam transisi energi di indonesia; bagaimana kerangka regulasi terkait pengarusutamaan gender, disabilitas, dan inklusi sosial dalam sektor energi di Indonesia; derta bagaimana pendekatan GEDSI dalam transisi energi berkeadilan di Indonesia.
Tim Penulis memaparkan draf awal Policy Brief Pengarusutamaan GEDSI dalam Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia. Kajian ini menyoroti bahwa transisi energi yang berkeadilan perlu memperhatikan inklusivitas yang diperlukan disepanjang rantai nilainya. Dengan memasukkan pendekatan GEDSI dalam transisi energi yang adil di Indonesia menghadirkan tantangan yang signifikan. Sektor energi secara tradisional masih didominasi oleh laki-laki, dan perempuan serta kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya seringkali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Pentingnya aspek distribusional, pengakuan, prosedural, dan remedial perlu diperhatikan pada proses transisi energi berkeadilan.
Sejumlah kerangka kebijakan percepatan transisi energi dan pengarusutamaan gender di Indonesia telah termuat pada UU nomor 30 Tahun 2007 tentang energi; PP Nomor 79 tahun 2014; Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017; Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022; Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000; UU Nomor 32 Tahun 2009; dan Peraturan Menteri LHK Nomor 31 Tahun 2017.
Sementara skema transisi energi di indonesia tertuang pada Paris Agreement dimana UU Nomor 16 Tahun 2016 telah memasukkan komitmennya terhadap Nationally Determined Contribution (NDC). Komitmen Indonesia telah masuk pada Strategi Jangka Panjang dan Rendah Karbon (LTS LCCR 2050) yang disubmit pada 2021. Juga Peta jalan menuju emisi nol bersih sektor energi Indonesia 2060. Agenda transisi energi di Indonesia berfokus pada dekarbonisasi sektor listrik untuk mendorong pengembangan energi bersih; pensiun dini PLTU; dan peningkatan efisiensi energi.
Saat ini masih terdapat sejumlah catatan pada agenda transisi energi di Indonesia yakni masih adanya ketergantungan pada penggunaan batubara dan semakin meningkatkan dampak pada pencemaran lingkungan; Pencemaran lingkungan berdampak luas pada dampak luas di aspek sosial dan ekonomi; Tidak ada partisipasi publik yang bermakna; Tidak ada mekanisme komplain yang efektif dan dapat diakses oleh publik; Tidak ada keterbukaan informasi publik; Isu transisi energi sangat kental dengan maskulinitas; Rendahnya pilihan dalam menggunakan potensi kearifan lokal untuk sumber alternatif; Model pembangunan berbasis ekstraktivism.
Ahmad Ashov Birry, memaparkan nilai dan prinsip transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia. Transisi energi harus menjadi proses yang menggantikan pola penyediaan energi yang ekstraktif dan sentralistik menjadi regeneratif dan demokratif. Transisi energi yang adil dan berkelanjutan harus berasal dari sumber energi terbarukan yang dikelola dengan berlandaskan nilai-nilai dan prinsip yang berkeadilan, berkedaulatan, anti-korupsi, dan meningkatkan ketahanan penghidupan masyarakat serta mendukung upaya penanggulangan krisis iklim.
Untuk mencapai transisi energi, maka pemerintah Indonesia harus memanifestasikan prinsip-prinsip akuntabel, transparan, dan partisipatif. Pemerintah Indonesia harus memastikan distribusi informasi secara transparan mengenai proses transisi energi kepada selutuh pemangku kepentingan, khususnya masyarakat terdampak, baik perempuan, anak, kelompok difabel, dan masyarakat rentan. Representasi kelompok penerima dampak seperti kelompok buruh, komunitas lokal, masyarkat rentan dan kelompok minoritas harus masuk ke dalam proses pengambilan keputusan. Prinsip lainnya yang harus ditegakkan adalah penghormatan, dan pemenuhan perlindungan HAM, keadian ekologis, keadilan ekonomi dan transformatif.
Berbagai isu gender di bidang lingkungan meliputi ketimpangan dalam penyediaan energi listrik, dimana masih terdapat perbedaan anatara Indonesia bagian barat dan timur. Jakarta dan Pulau Jawa telah mendapat akses listrik hingga 90 persen, namun NTT masih dibawah 60 persen. Secara total 41 juta penduduk di Indonesia belum mendapat akses energi listik. Penggunaan energi tradisional berkontribusi terhadap polusi udara dan menyebabkan kualitas hidup khususnya perempuan, lansia, anak-anak memprihatinkan.
Mike Verawati, menyoroti permasalahan yang masih terjadi pada proses transisi energi, diantaranya adalah marjinalisasi, kesenjangan akses, dan terbatasnya kebijakan mengatasi diskriminasi. Masalah lainnya meliputi data pilah gender yang belum siap atau menjadi sebuah sistem data terstandar; keterwakilan yang belum inklusif dimana tidak semua kelompok masyarakat dilibatkan; dan paradigma charity program, dimana sistem bantuan sosial harus juga beririsan pada aspek menuju ketahanan yang lebih berkelanjutan.
Mike menyampaikan teori perubahan jika semua gender, perempuan, penyandang disabilitas serta populasi rentan dapat memiliki kesetaraan akses dalam pengambilan keputusan dan partisipasi yang sama, maka akan tercipta sistem yang setara, adil, dan inklusif di tingkat individu, komunitas, dan kelompok rentan dapat berdaya pada perjalanan transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.
Nurul Saadah, memaparkan inklusivitas dalam perencanaan kebijakan transisi energi yang adil dalam perspektif Gender dan DIsabilitas. Kelompok-kelompok yang masuk dalam kategori rentan daiantaranya adalah anak-anak, penyandang disabilitas, perempuan, lansia, orang dengan ekonomi rendah, serta penyintas bencana.
Setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu yang lama mengalami hambatan dalam berinteraksi pada lingkungan sosial. Hambatan tersebut juga berlaku pada partisipasi secara penuh dengan warga lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Nurul menyampaikan cara-cara untuk perencanaan transisi energi bagi penyandang disabilitas, yang pertama adalah Akses, dimana penyandang disabilitas, kelompok perempuan yang membunyaui anak disabilitas mempunyai akses atas informasi dan edukasi tentang transisi energi dari energi berbasil fosil, beralih ke energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Kedua adalah Kontrol, dimana Kemampuan penyandang disabilitas dalam mengambil keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah tindakan dan membuat keputusan terhadap proses transisi energi dan pengalokasian sumber daya sumber daya.
Ketiga adalah Partisipasi, Penyandang disabilitas memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan dalam aktivitas pembangunan, mencakup aktivitas perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap transisi energi terhadap masyarakat atau kelompoknya. Serta yang terakhir adalah Manfaat, dimana manfaat hasil transisi energi dan program-programnya yang dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh penyandang disabilitas.
Penulis; Chitra Regina Apris
Reviewer: Aryanto Nugroho