Pada tanggal 24 Oktober (2019), The Brooking Institute untuk Africa Growth Initiative bersama dengan Oxfam, The Natural Resource Governance Institute, dan Publish What You Pay menyelenggarakan sebuah panel diskusi publik untuk mendiskusikan keberhasilan dan pelajaran yang dapat diambil dari transparansi dan keterbukaan di sektor industri ekstraktif untuk mendukung agenda pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih luas. Forum yang terdiri dari dua sesi panelis tersebut meliputi, sesi pertama menyajikan studi kasus mengenai bagaimana sebuah data mampu berkontribusi untuk perubahan kebijakan yang lebih luas, sementara sesi kedua menyajikan pandangan ahli terkait studi kasus, pelajaran yang dapat dipetik ke depan, serta bagaimana memprediksikan arah masa depan dari aspek transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola sumber daya alam.

Acara tersebut dibuka oleh Brahima S. Coulibaly selaku direktur dan anggota senior dari Africa Growth Initiative, The Brooking Institute. Brahima memperkenalkan dua fokus utama program Brooking di Afrika yang bertujuan memperluas dan meningkatkan standar hidup yang berkelanjutan. Hal tersebut meliputi: Pertama, asistensi sumber daya keuangan, penguatan tata kelola sumber daya alam untuk dapat meningkatkan mobilisasi sumber daya untuk pembangunan ekonomi yang lebih baik, khususnya juga tentang program asistensi pembangunan (Oversee Development Assistant, ODA). Kedua, berkaitan dengan bagaimana merancang kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang selaras dengan keseluruhan struktur agenda transformasi, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan. Untuk kedua hal tersebut, Brahima menekankan bahwa menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih baik perlu didukung dengan data yang bersifat sentral dan juga unik.

Daniel Kaufman, Presiden dan CEO Natural Resources Governance Institute (NRGI) memberikan sambutan dan menekankan pentingnya kolaborasi lintas global untuk menyebarluaskan pemanfaatan data, terutama data yang terkait dengan produksi, pendapatan, pajak, dan lain-lainnya. Menurutnya, berkat adanya kewajiban keterbukaan pelaporan data keuangan di Inggris dan Canada dapat membuka data pembayaran penerimaan. Selain itu, ia juga mengapresiasi kerja EITI dalam menghasilkan tambahan aspek terbukaan kontrak, kepemilikan manfaat, serta data lingkungan hidup. “Kita harus melangkah lebih maju secara bersama-sama” ucapnya. Daniel menekankan bahwa data diperlukan untuk mengatasi korupsi dan pembangunan yang kurang bertanggung jawab.

Para panelis pada sesi pertama dalam diskusi ini di antaranya adalah Elyvin Nkhonjera, Koordinator Program Industri Ekstraktif, Oxfam Malawi; Barnaby Pace, Juru Kampanye Global Witness; Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia; dan Don Hubert, Presiden, Resource for Development Consulting yang berbasis di Canada, serta moderator adalah Isabel Munilla, Kepala Kebijakan Industri Ekstraktif, Oxfam America.

Elyvin membagikan hasil kerjanya tentang keterbukaan kontrak yang dijadikan bahan dialog multi-pemangku kepentingan untuk mendapatkan ‘kesepakatan terbaik (the best deals)’ dari perjanjian bagi hasil minyak di Malawi. Dimana dari keterbukaan kontrak, para pemangku kepentingan mulai membahas berapa persen pembagian yang akan didapat pemerintah dan negara, berapa banyak lapangan kerja yang akan tercipta, dan bagaimana kontribusi kontrak untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan. Elvyin dan Oxfam memberikan analisis ekonomi untuk menantang manfaat operasi minyak dan gas bagi masyarakat. Masyarakat sipil juga merekomendasikan kepada Pemerintah untuk meningkatkan pembagian keuntungan (profit sharing) dari perjanjian bagi hasil minyak.

Barnaby Pace, dari Global Witness yang berbasis di Inggris, membagikan hasil kerjanya di bidang anti korupsi dan keterbukaan kontrak, khususnya dalam kasus penemuannya di Nigeria. Ia mengatakan bahwa korupsi perusahaan Industri Ekstraktif (IE) adalah yang paling kompleks, kriminalitasnya melibatkan transaksi internasional, dan penyelidikan/investigasinya sangat menantang. Barnaby menceritakan kasus di Nigeria, dimana uang penjualan minyak bumi masuk ke kantong pejabat tinggi pemerintahan, dan menjadi bagian dari kasus pencucian uang (money laundering). Oleh sebab itu ia menekankan pentingnya keterbukaan kontrak dan pemilik manfaat (beneficial ownerhsip) dalam memantau kasus korupsi.

Maryati Abdullah, Direktur/Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia membagikan pengalamannya saat bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bidang Pengawasan sektor pertambangan mineral dan batubara (Minerba): penggunaan pemeriksaan data dan triangulasi untuk memantau kepatuhan sektor ekstraktif di daerah perizinan dalam peta tata ruang, produksi dan penjualan, pembayaran pajak dan pendapatan, serta kewajiban perusahaan untuk menyediakan dana rehabilitasi lingkungan dan pasca tambang. Dalam kasus lain, Maryati juga membagikan pengalamannya saat bekerja sama dengan mitra lokal yakni anggota koalisi (FITRA Riau) dan Pemerintah Daerah dalam mengembangkan inovasi untuk mengembangkan model redistribusi pendapatan migas di tingkat daerah. Kabupaten Pelalawan merupakan satu dari sepuluh besar kabupaten penerima dana bagi hasil (DBH) migas terbesar di Provinsi Riau. Model redistribusi bagi hasil pendapatan migas di Indonesia dalam hal ini menggunakan skema manajemen keuangan publik (public fiscal management) yang dibagihasilkan dari pusat ke daerah. Inovasi ini terutama menggunakan ruang kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah, yaitu Dana Desa. Dengan menggunakan ruang keleluasaan fiskal yang dimiliki Bupati, Dana Desa difungsikan sebagai skema redistribusi sumber daya dari cadangan migas. Pelalawan sebagai wilayah percontohan, telah membuat inovasi skema lokal dana bagi hasil migas untuk disalurkan melalui dana desa ke zona-1, zona-2, dan zona-3 dari desa-desa di sekitar operasi pengeboran sumur migas. Model pembagian keuntungan seperti ini merupakan replikasi dari model redistribusi DBH Migas yang dilakukan kabupaten Bojonegoro sebelumnya. Di Kabupaten Bojonegoro juga terdapat contoh dimana organisasi masyarakat sipil bersama Pemerintah Daerah melakukan pemantauan berkeinginan untuk memantau cost recovery dari operasi lapangan migas. Demikian halnya, pemangku kepentingan lokal juga menuntut adanya transparansi dari perhitungan dan proyeksi dana bagi hasil (DBH) Migas antara pemerintah pusat dan daerah yang dilakukan melalui transfer tiap triwulan.

Don Hubert dari Resource for Development Consulting sebagai panelis dalam forum ini juga mengingatkan bahwa industri ekstraktif merupakan industri yang bersifat capital intensif, sementara masih banyak variabel data dan informasi yang dibutuhkan untuk menganalisis industri dalam pandangan sistematika ekonomi. Sebagai pelajaran, bahwa kita perlu memastikan penjualan aset sumberdaya yang tidak dapat diperbarui (unrenewable) dapat dialihkan untuk pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Sebagaimana yang kita ketahui, istilah kutukan sumber daya yang terkenal seperti minyak yang “terlalu banyak uang, terlalu cepat habis (too much money to fast)” yang artinya kita perlu mengelolanya dengan baik. Selain itu, kita perlu hati-hati dengan proyeksi pendapatan, karena proyeksi pendapatan yang buruk bisa membuat suatu negara terjebak dalam hutang, seperti perbedaan metode monetisasi dan kasus lainnya. Di luar transparansi dan data, diperlukan pengetahuan dan kapasitas analisis yang dapat memimpin perubahan yang efektif.

Panel kedua dari sesi diskusi mengundang (1) Kerfalla Yansane, Duta Besar Republik Guinea; (2) Vera Mashana, Program Officer Sumber Daya Alam dan Perubahan Iklim, Ford Foundation; (3) Ashok Parameswaran, Pendiri, Aliansi Investor Pasar Berkembang; dan (4) Landry Signe, Anggota Africa Growth Initiative, Brooking Institution. Sesi ini dimoderatori oleh Ian Gary, Direktur Program Power and Money, Oxfam America.

Sesi kedua ini dimulai dengan Ian Gary yang menceritakan kondisi kesenjangan atau ketidaksetaraan di berbagai dimensi: dimana terdapat banyak aspek mengenai hal tersebut seperti, kaya versus miskin, kota versus desa, masyarakat adat versus bukan bukan masyarakat adat, ketidaksetaraan informasi, pengetahuan, akses dan banyak hal yang perlu ditangani. Panelis pertama, Kerfalla Yansane, Duta Besar dari Republik Guinea berbicara mengenai nilai-nilai dari inisiatif transparansi dan akuntabilitas, sementara Bapak Duta Besar menekankan hal-hal utama yang perlu di atasi terkait kombinasi tata kelola dan kapasitas, yakni kapasitas manusia dan kapasitas sumber daya. “Jika kapasitas hilang, terjadi informasi yang bersifat asimetris antara perusahaan dan negara yang menciptakan kesenjangan antara ekspektasi dengan dampak yang diharapkan dari keberadaan cadangan/deposit”. Ia memberikan contoh kasus proyek pertambangan Simandou (Iron Ore): dimana ketika dilakukan audit, banyak penemuan korupsi dan akhirnya perusahaan diwajibkan membayar pinalti sampai 700 juta untuk mendapatkan hak tambangnya kembali. Setelah itu, pemerintah membentuk tim transparansi dan akuntabilitas dari tingkat akar rumput sampai tingkat tinggi untuk mencegah kasus serupa terulang kembali.

Ashok, dari Emerging Market Investor Alliances mengomentari topik penting mengapa asosiasi para investor sangat peduli dengan transparansi, yakni pertama bahwa kliennya sangat peduli mengenai hal tersebut untuk tujuan memastikan investasi mereka produktif. Selain itu, investor juga peduli dengan isu lingkungan, sosial dan pemerintahan. Kedua, transparansi minyak dan pertambangan merupakan hal penting karena itu menjadi bagian dari portofolio investasi mereka. Lebih dari 25% dari dunia obligasi korporasi pasar negara berkembang terdiri dari perusahaan logam, pertambangan, minyak, dan gas. Lebih dari 15% dari dunia ekuitas pasar negara berkembang terdiri dari material dan energi, dan sekitar 60 persen dari utang negara pasar negara berkembang terdiri dari negara pengekspor minyak dan produk pertambangan. “Jadi itu adalah bagian penting dari apa yang kami investasikan” ujarnya. “Kami tidak dapat menghindari investasi di suatu perusahaan maupun di suatu pemerintahan,” kata Ashok. Alasan ketiga mengapa transparansi di sektor ekstraktif penting yakni karena hal itu mempengaruhi penilaian saham dan obligasi yang mereka investasikan.

Vera, dari organisasi pemberi hibah Ford Foundation mengingatkan kami tentang beberapa masalah terkait tata kelola dan ruang kebebasan sipil. Ia mengkritisi mengenai fenomena state captured– menurutnya meskipun kita memiliki kerangka kebijakan dan praktik data yang baik, tetapi jika state captured menjadi fenomena global, maka perwujudan transparansi dan keadilan akan tetap terhambat. Vera juga menyoroti poin-poin terkait pendapatan dan mobilisasi sumber daya yang dalam beberapa kasus mereka (Nat.Res.Rich) mengalami kegagalan. Tetapi dalam kasus lain, penting untuk memobilisasi dana bagi hasil pada masyarakat sebagai tujuan mengatasi kesenjangan. Selain itu, ia juga menekankan isu ekonomi digital, perpajakan di ekstraktif dan juga transisi energi.

Terakhir, Landry dari The Brooking Institute menyoroti poin-poin kesimpulan dan pelajaran yang dapat diambil dari forum. The Brooking Institute sangat percaya bahwa mobilisasi sumber daya domestik dari sumber daya alam membawa hasil dan kemajuan untuk jangka panjang, dalam hal outcome dan proggress. Ia menyoroti beberapa hal dari transparansi dan akuntabilitas yakni (1) kualitas dan aksesibilitas data, pekerjaan di sektor migas dan pertambangan membutuhkan kualitas dan aksesibilitas data; (2) kemandirian dan kualitas analisis, sangat penting untuk menghadirkan solusi berbasis data. Beberapa praktik baik dilakukan di Malawi, Indonesia dan lain-lain; (3) inklusifnya proses yang melibatkan masyarakat sipil, kemitraan publik-swasta-pemerintah adalah hal penting; (4) membuka frame pertanggungjawaban pengelolaan sektor migas dan pertambangan, dimana akuntabilitas horizontal dan diagonal sangatlah penting; (5) proses legislasi yang efektif, juga melibatkan partisipasi masyarakat sipil dan media; (6) peningkatan pendapatan yang optimal, terkait alokasi dan belanja yang efektif; (7) dana antar generasi, penting untuk memastikan bahwa manfaat sumber daya tak terbarukan tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi mampu ditransformasikan ke generasi berikutnya; (8) pentingnya meningkatkan tata kelola secara keseluruhan yang memungkinkan untuk dicapai; dan (9) kemitraan global, hal penting seperti G7 atau G20 dalam mewaspadai aliran keuangan ilegal (illicit financial flows), serta memastikan bahwa uang tidak dicuri dan ditransfer ke belahan negara besar lainnya secara tidak adil, sebagai contoh. Kami membutuhkan komitmen yang lebih baik dari mitra pembangunan melebihi dari sekedar formalitas yang hanya retoris [MA].

Link Terkait

Video, session-1 : https://www.youtube.com/watch?v=JhBCgSZiDEQ&list=PLP2g3h_bCmB_H-SCPg6bSel-9zw9pAL7m&index=2&t=0s

Video, session-2 : https://www.youtube.com/watch?v=-z2eCMd5yGU


Bagikan