Di pertengahan Bulan Ramadhan tahun ini, warga Kendeng yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) bertemu dan berkonsolidasi dalam kegiatan sahur bareng di Langgar Yu Patmi, yang berlokasi di Tambak Romo, Pati Jawa Tengah.
Kegiatan sahur bareng ini menjadi momentum bagi warga di sekitar Pegunungan Kendeng untuk saling berbagi mengenai kondisi di wilayahnya masing-masing. Warga menguatkan kembali gerakan yang sempat melemah di beberapa daerah, kembali fokus mengawal implementasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), RTRW, dan RPJMD, serta menyusun aksi tindak lanjut bersama yang akan diambil.
Dalam acara Kendeng Tadarus ini hadir Ustadz Ubaidillah Ahmad. Dalam tausiyahnya, Ustadz Ubaidillah mengingatkan kembali kewajiban manusia dalam menjaga keseimbangan alam. “Perintah menjaga keseimbangan alam itu sudah ada dalam Al-Quran. Manusia mempunyai relasi suci dengan lingkungan atau dikenal dengan wahdatul wujud, karenanya manusia harus hidup selaras dengan lingkungan,” ujar Ubaidillah.
“Nenek moyang kita dulu mengatakan jangan menebang pohon, nanti penunggunya ngamuk,” ujar Kyai Ubaidillah. “Padahal kata siapa alam tidak marah, dengan menebang pohon, oksigen berkurang, sedangkan makhluk hidup membutuhkan oksigen. Pepohonan menyerap air dan air mempunyai nilai urgensi lebih dari emas. Manusia tidak bisa hidup tanpa air, karenanya kita harus menjaga air dan menjaga lingkungan,” tambahnya.
Maryati Abdullah Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyampaikan, kawasan Kendeng menyimpan 62% kandungan air di Pulau Jawa. Tak heran, kawasan Pegunungan Kendeng kaya dengan potensi pertanian, karenanya perlu terus dijaga kelestariannya. Maryati juga mengingatkan tentang hak-hak yang dimiliki oleh warga. Menurutnya, warga mempunyai hak untuk menentukan siapa pemimpinnya dan warga berhak terlibat dalam pengambilan kebijakan publik yang berdampak terhadap ruang hidup mereka. Di sisi lain, pemimpin perlu bersikap adil dan mendengarkan apa keinginan masyarakat.
Maryati juga mengingatkan warga untuk terus mengawal implementasi KLHS, RTRW, dan RPJMN. Juga mengawal penetapan Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih sebagai kawasan lindung. “Pembangunan perlu dipastikan berkelanjutan, salah satunya dengan memperhatikan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan,” pungkas Maryati.
Dr. Laksanto Utomo, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) yang menjadi narasumber dalam diskusi Kendeng tadarus menyampaikan bahwa masyarakat berhak untuk mempertanyakan suatu kebijakan publik. Laksanto mengingat bagaimana Mbah Tarno—tetua Sedulur Sikep pernah mengatakan bahwa “Yen Pulau Jawa kuwi wetenge diodol-odo, ya rusak sak menungsane.” Artinya, jika perut Pulau Jawa terus dikeluarkan isinya, maka rusaklah bumi dan manusianya. Menurut Laksanto, penolakan aktivitas tambang oleh masyarakat Kendeng merupakan upaya menjaga lingkungan, menjaga sumber pangan untuk generasi mendatang.
Di penghujung, Zainal Arifin Direktur LBH Semarang menyampaikan bagaimana kondisi terakhir dari upaya hukum dalam penolakan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng. Selain dihadiri oleh warga di sekitar langgar Yu Patmi di Tambak Romo, hadir juga masyarakat dari daerah lain seperti dari Surokonto, Kabupaten Kendal.