Tindak pidana korupsi, khusunya berkaitan dengan kejahatan korporasi seringkali sulit terungkap akibat struktur kepemilikan yang didesain secara rumit dan bertingkat guna menyamarkan pemilik manfaat atau beneficial ownership (BO) dari suatu korporasi. Karenanya, keterbukaan BO menjadi agenda penting untuk dikawal. “Peluang advokasi keterbukaan BO terbuka lebar dengan adanya momentum positif penerbitan Perpres 13/2018 yang menjadi payung hukum pengaturan BO di Indonesia,” jelas Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Jaringan PWYP Indonesia sekaligus fasilitator dalam Pelatihan “Memahami Beneficial Ownership dan Pemetaan Kepemilikan Korporasi” yang diselenggarakan oleh PATTIRO Semarang, LBH Semarang, dan WALHI Jateng di Semarang, pada 27-28 Maret lalu.
Aryanto menjelaskan dalam praktiknya pemetaan kepemilikan korporasi tidaklah sederhana. Banyak ditemukan kepemilikan korporasi secara tidak langsung, yakni penggunaan perantara perusahaan untuk memiliki saham di perusahaan lain. Skema demikian memungkinkan individu untuk melakukan penghindaran pajak. “Dengan adanya pengungkapan BO, individu yang sebelumnya tidak terdeteksi bisa terungkap”, tandas Aryanto.
Berkaitan dengan pengungkapan data BO, Pengacara LBH Semarang Ivan Wagner sekaligus peserta pelatihan menanyakan kepastian akses publik terhadap data BO di Indonesia. “Merujuk pada Perpres 13/2018, pengaturan akses informasi BO menggunakan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang mana untuk mendapatkan informasi tersebut publik harus melakukan uji akses. Sementara berkaca pada kasus yang sudah ada, seringkali hasil uji akses berbeda-beda tiap daerah,” jelas Ivan.
Aryanto mengakui masih ada sejumlah kelemahan dalam Perpres. Bahkan menurutnya, Perpres ini baru gerbang pembuka advokasi keterbukaan BO. Sebagaimana menjadi praktik global, keterbukaan data BO tidak hanya diterapkan lintas lembaga pemerintah, namun pemerintah harus menerapkan kebijakan pro-active disclosure terhadap data BO ini. Sehingga publik dapat mengakses secara penuh.
Melengkapi materi memahami BO, Rizky Ananda, peneliti PWYP Indonesia memaparkan cara mengidentifikasi politically exposed person (PEP) dalam struktur kepemilikan korporasi. PEP dimaknai sebagai penyelenggara negara maupun anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan negara maupun partai. “Temuan PEP dalam struktur kepemilikan korporasi mengindikasikan potensi konflik kepentingan. Semisal, penyelenggara negara di sektor tambang yang memiliki saham maupun menjabat sebagai komisaris di perusahaan tambang. Besar peluang regulator tersebut menyusun kebijakan yang menguntungkan industrinya,” tandas Rizky.
Di akhir pelatihan, peserta menyusun rencana tindak lanjut advokasi. Salah satunya, Muhammad Syufii, peserta yang berasal dari PATTIRO Semarang akan menganalisis data pemenang lelang di Kota Semarang untuk melihat potensi monopoli grup perusahaan tertentu dan indikasi praktik korupsi. Sementara Ghofar, peserta dari WALHI Jawa Tengah akan mengkontekskan dengan izin-izin tambang kaitannya dengan pilkada.