Setelah Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan telah tercapainya kesepakatan negosiasi dengan PT Freeport Indonesia (PTFI), saat ini publik masih menunggu dituangkannya butir-butir kesepakatan tersebut ke dalam sebuah dokumen yang memiliki kekuatan hukum. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, keberadaan Freeport di Indonesia setelah ini akan berdasarkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) menggantikan Kontrak Karya (KK).

“Ketika freeport menyatakan sepakat divestasi 51% dan ketika pemerintah menyatakan berhasil menaklukkan freeport, itu hanya dalam konteks pernyataan-pernyataan yang belum ada dokumen hukumnya,” ujar Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute, Ahmad Redi, dalam diskusi tentang “Menimbang Langkah Divestasi Pemerintah Terhadap Freeport”, Kamis (14/9), di Kampus Pasca Sarjana Universitas Pancasila, Jakarta.

Redi menilai pernyataan pemerintah di media beberapa waktu lalu mengenai kesepakatan negosiasi dengan PTFI baru sebatas komitmen semata. Hal ini mengingat belum adanya satupun dokumen hukum, baik dalam bentuk IUPK ataupun peraturan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai tindak lanjut dari kesepakatan negosiasi tersebut.

Menyoal kesepakatan tersebut, Redi menyoroti butir divestasi saham PTFI sebesar 51% yang baru disepakati menjelang berakhirnya masa perpanjangan KK PTFI di tahun 2021. Seharusnya, menurut Redi, pemerintah sudah menyelesaikan pembahasan terkait divestasi 51% saham PTFI jauh-jauh hari sebelum masa berlaku KK berakhir. Ia mengidentifikasi beberapa hal yang menjadi penyebab tidak terealisasinya divestasi saham PTFI selama ini.
Pertama, terdapat problem dalam law making process (pembentukan regulasi). Problem pembentukan regulasi mengenai pertambangan di sektor mineral dan batu bara terkesan tidak konsisten mengatur besaran divestasi saham PTFI. “Konsistensi pemerintah juga tak jelas,” ujarnya.

Selain itu, sebenarnya ketentuan divestasi telah ada sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Pengaturan mengenai divestasi dalam UU No.11 Tahun 1967 tersebut kemudian diperkuat dalam beberapa aturan turunannya seperti dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing.

“Kenapa tetap tidak bisa dilaksanakan? karena law making process problem. Politik hukumnya tak jelas,” tegas Redi.

Kedua, Interpretation problem. Problem interpretasi di sini berkaitan dengan ketentuan UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Pasal 169 huruf b menyebutkan, ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.
Menurut Redi, berdasarkan ketentuan Pasal 169 huruf b tersebut, sudah harus dilakukan renegosiasi kontrak yang di dalamnya juga mengatur soal divesatsi 51%, maksimal 1 tahun setelah UU ini berlaku, yakni tahun 2010. “Kalau renegosiasi baru dilakukan saat ini, itu sudah kadaluarsa,” ujar Redi.

Ketiga, implementation problem. Terkait hal ini, KK tahun 1991 telah mengatur divestasi 51% saham sampai ke ranah yang cukup teknis. Pasal 24 ayat 4 berbunyi, “…setelah semua hasil penjualan saham tersebut dan setiap saham yang sekarang atau selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah, 45% dari modal saham perusahaan yang diterbitkan dengan ketentuan bahwa sekurang-kurangnya 20% dari modal saham yang diterbitkan tersebut tidak dijual di Bursa Efek Jakarta, perusahaan diharuskan menjual atau berusaha menjual pada penawaran umum di bursa efek Jakarta, atau dengan cara lain kepada pihak Nasional Indonesia dengan saham yang cukup untuk mencapai suatu jumlah yaitu 51% dari modal saham perusahaan yang diterbitkan, tidak lebih lambat dari ulang tahun ke-20 tanggal ditandatangninya persetujuan ini…”.

Keempat, capacity problem. Redi merujuk kepada Peraturan Menteri ESDM No.5 Tahun 2017 dan Permen ESDM No 6 Tahun 2017 yang menurutnya bertentangan dengan UU Minerba. Menurut Redi, ketentuan dalam kedua Permen tersebut menimbulkan problem hukum yang serius karena bertentangn dengan UU Minerba.

Diskusi tentang “Menimbang Langkah Divestasi Pemerintah Terhadap Freeport”, Kamis (14/9), di Kampus Pasca Sarjana Universitas Pancasila, Jakarta. Foto: DAN
BERITA TERKAIT

Negosiasi Pemerintah dengan Freeport Indonesia Sepakati Badan Hukum dan Smelter
Polemik Freeport, Ini Alasan Pemerintah Tak Perlu Khawatir Asas Kesucian Kontrak
Pemerintah, Akademisi, Pelaku Bisnis, dan Aktivis Bicara Nasib Freeport
Soal Kesepakatan Pemerintah dengan Freeport, Ini Tanggapan PUSHEP
Negosiasi Freeport, Babak Baru yang Semu?

Setelah Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan telah tercapainya kesepakatan negosiasi dengan PT Freeport Indonesia (PTFI), saat ini publik masih menunggu dituangkannya butir-butir kesepakatan tersebut ke dalam sebuah dokumen yang memiliki kekuatan hukum. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, keberadaan Freeport di Indonesia setelah ini akan berdasarkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) menggantikan Kontrak Karya (KK).

“Ketika freeport menyatakan sepakat divestasi 51% dan ketika pemerintah menyatakan berhasil menaklukkan freeport, itu hanya dalam konteks pernyataan-pernyataan yang belum ada dokumen hukumnya,” ujar Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute, Ahmad Redi, dalam diskusi tentang “Menimbang Langkah Divestasi Pemerintah Terhadap Freeport”, Kamis (14/9), di Kampus Pasca Sarjana Universitas Pancasila, Jakarta.

Redi menilai pernyataan pemerintah di media beberapa waktu lalu mengenai kesepakatan negosiasi dengan PTFI baru sebatas komitmen semata. Hal ini mengingat belum adanya satupun dokumen hukum, baik dalam bentuk IUPK ataupun peraturan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai tindak lanjut dari kesepakatan negosiasi tersebut.

Menyoal kesepakatan tersebut, Redi menyoroti butir divestasi saham PTFI sebesar 51% yang baru disepakati menjelang berakhirnya masa perpanjangan KK PTFI di tahun 2021. Seharusnya, menurut Redi, pemerintah sudah menyelesaikan pembahasan terkait divestasi 51% saham PTFI jauh-jauh hari sebelum masa berlaku KK berakhir. Ia mengidentifikasi beberapa hal yang menjadi penyebab tidak terealisasinya divestasi saham PTFI selama ini.

(Baca Liputan Khusus: Meneropong Bisnis Tambang Pasca Terbit PP Minerba)

Pertama, terdapat problem dalam law making process (pembentukan regulasi). Problem pembentukan regulasi mengenai pertambangan di sektor mineral dan batu bara terkesan tidak konsisten mengatur besaran divestasi saham PTFI. “Konsistensi pemerintah juga tak jelas,” ujarnya.

Selain itu, sebenarnya ketentuan divestasi telah ada sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Pengaturan mengenai divestasi dalam UU No.11 Tahun 1967 tersebut kemudian diperkuat dalam beberapa aturan turunannya seperti dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing.

“Kenapa tetap tidak bisa dilaksanakan? karena law making process problem. Politik hukumnya tak jelas,” tegas Redi.

Kedua, Interpretation problem. Problem interpretasi di sini berkaitan dengan ketentuan UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Pasal 169 huruf b menyebutkan, ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.

(Baca Juga: Negosiasi Freeport, Babak Baru yang Semu?)

Menurut Redi, berdasarkan ketentuan Pasal 169 huruf b tersebut, sudah harus dilakukan renegosiasi kontrak yang di dalamnya juga mengatur soal divesatsi 51%, maksimal 1 tahun setelah UU ini berlaku, yakni tahun 2010. “Kalau renegosiasi baru dilakukan saat ini, itu sudah kadaluarsa,” ujar Redi.

Ketiga, implementation problem. Terkait hal ini, KK tahun 1991 telah mengatur divestasi 51% saham sampai ke ranah yang cukup teknis. Pasal 24 ayat 4 berbunyi, “…setelah semua hasil penjualan saham tersebut dan setiap saham yang sekarang atau selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah, 45% dari modal saham perusahaan yang diterbitkan dengan ketentuan bahwa sekurang-kurangnya 20% dari modal saham yang diterbitkan tersebut tidak dijual di Bursa Efek Jakarta, perusahaan diharuskan menjual atau berusaha menjual pada penawaran umum di bursa efek Jakarta, atau dengan cara lain kepada pihak Nasional Indonesia dengan saham yang cukup untuk mencapai suatu jumlah yaitu 51% dari modal saham perusahaan yang diterbitkan, tidak lebih lambat dari ulang tahun ke-20 tanggal ditandatangninya persetujuan ini…”.

Keempat, capacity problem. Redi merujuk kepada Peraturan Menteri ESDM No.5 Tahun 2017 dan Permen ESDM No 6 Tahun 2017 yang menurutnya bertentangan dengan UU Minerba. Menurut Redi, ketentuan dalam kedua Permen tersebut menimbulkan problem hukum yang serius karena bertentangn dengan UU Minerba.

(Baca Juga: Soal Kesepakatan Pemerintah dengan Freeport, Ini Tanggapan PUSHEP)

“Soal hilirisasi, 2014 itu sudah tidak boleh lagi ekspor ore dan konsentrat tapi di permen 5 dan permen 6 di ubah lagi. Kemudian di permen 5 dan permen 6 dikatakan bahwa IUPK dan Kontrak Karya dapat diberikan kepada obyek yang sama. Jadi hukum publik dan hukum privat digabung,” ujarnya.

Koordinator Publish What You Pay (PWYP), Maryati Abdullah, menyampaikan adanya tahapan yang terlompati dari dikusi mengenai Freeport. Seharusnya, 5 tahun menjelang terminasi atau berakhirnya kontrak PTFI, Pemerintah fokus kepada pembahasan mengenai diperpanjang atau tidaknya kontrak PTFI di Indonesia

“Dari sisi proses negosiasi, kalau kontrak sudah mau berakhir dan kita sebagai pemerintah sebagai pemegang kuasa hak milik mineral, apakah isunya sudah langsung ke membangun smelter dan divestasi? Ada satu proses yang kita lewati yaitu 5 tahun menjelang kontrak berakhir satu hal yang harusnya didiskusikan adalah kontrak freeport akan diperpanjang atau tidak. Operatorship oleh freeport akan diperpanjang atau tidak, itu dulu sebenarnya,” ujar Maryati.

Meryati menyayangkan tidak dilakukannya evaluasi terlebih dahulu terhadap KK PTFI yang akan berakhir di 2021, sehingga bisa menjadi basis data untuk menentukan nasib kontrak PTFI akan diperpanjang atau tidak. “Tidak ada kewajiban kita untuk memperpanjang,” tegasnya.

Pakar Hukum Ekonomi Universitas Yarsi, Chandra Yusuf, di kesempatan yang sama mengingatkan saat ini Freeport-McMoran memiliki utang yang sangat besar. Oleh karena itu, Freeport membutuhkan kas untuk mengurangi ‘massive debt’ yang dimiliki. Oleh karena itu, Chandra mensinyalir divestasi saham sebesar 51% merupakan strategi Freeport untuk menyegarkan kembali struktur aset perusahaan.

“Selama ini Freeport-McMoran belum pernah melakukan restrukturisasi asset perusahaannya,” Chandra mengingatkan.

Chandra juga menyebutkan bahwa selama dua dekade ini, saham Freeport McMoran telah menawarkan nilai yang nihil meskipun pembagian keuntungan dengan pemerintah telah ditahan. Freepot masih mengalami kerugian 1 persen setiap tahunnya. Oleh karena itu, pemerintah mesti mencari tahu lebih jauh kapasitas Freeport saat ini.

 

Sumber: Hukum Online


Bagikan