Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Kalimantan Timur telah menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) melalui Peraturan Daerah nomor 1/2016 tentang RTRW Kaltim tahun 2016-2036. Koalisi masyarakat sipil di Kalimantan Timur, terdiri dari Pokja 30, Jatam Kaltim, Walhi, Aman Kaltim, dan Prakarsa Borneo, menilai perda RTRW ini cacat secara proses, substansi, dan materi. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers “Judicial Review RTRW Kaltim: Kembalikan Ruang Hidup Rakyat,” yang berlangsung di Samarinda (28/2) lalu.
Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang menyatakan raperda RTRW ini lebih memfasilitasi sektor pertambangan dan perkebunan dalam skala besar. Rupang mencontohkan, di pasal 4 ayat 2 (d) berbunyi “Membatasi potensi baru kawasan ekplorasi dan mengoptimalkan kawasan eksploitasi eksisting.” Klausul ‘membatasi’ artinya masih dimungkinkan adanya kawasan eksplorasi baru dengan pembatasan. Hal ini justru menjadi kemunduran dari Pergub nomor 17/2015, klausul ‘membatasi’ seharusnya ‘hentikan eksplorasi baru’ karena adanya pemberlakuan moratorium izin tambang baru minerba selama 2 tahun kedepan.
Koalisi menilai, RTRW ini merupakan ‘akal-akalan’, hal itu terlihat dalam luasan kawasan pertambangan batubara yang mencapai 5,2 juta hektar dan perkebunan kelapa sawit 3,5 juta hektar. Sementara luasan lahan tanaman pangan alokasinya sangat kecil, yaitu 412 ribu hektar.
Begitu juga dengan penetapan kawasan karst, hanya 307 ribu hektar untuk luasan kawasan Karst yang ditetapkan sebagai kawasan lindung, atau hanya 8,43 % dari seluruh kawasan karst di Kalimantan Timur. Padahal, data dari Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregional Kalimantan (P3EK) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Provinsi Kaltim memiliki luasan karst sebesar 3.642.860 hektar. “Ini ancaman bagi Karst di Kaltim, terlebih bagi sumber air dan ruang hidup!” tukas Buyung Marajo, Aktivis Pokja 30 Kaltim. Koalisi masyarakat sipil telah mendaftarkan uji materi perda RTRW ke Mahkamah Agung. [ASR]