c55770da-f5cc-46e8-bcc7-5d9f253335dd

 

Berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) berimplikasi terhadap pengelolaan pertambangan mineral dan batubara (minerba) di daerah. Pengelolaan dan pengawasan pertambangan minerba tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, melainkan pemerintah provinsi. Belum adanya peraturan petunjuk teknis (juknis) sebagai regulasi turunan dari UU Pemda membuat pemerintah -propinsi dan kabupaten/kota; kebingungan terkait dengan pelimpahan kewenangan di sektor pertambangan minerba. Padahal sebelum munculnya undang-undang ini, persoalan pengelolaan pertambangan masih cukup semrawut.

Merujuk pada hasil koordinasi dan supervisi (Korsup) minerba KPK tahun 2014 – 2015 menunjukkan masih banyaknya Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang statusnya tidak Clean and Clear (CnC). Data terakhir dari hasil Korsup KPK dengan Kementrian ESDM yang dirilis awal tahun 2016 ini menemukan 3.966 IUP yang belum CnC. Dan dari tiga-ribuan IUP yang belum CnC tersebut, kebanyakan tidak mempunyai dokumen reklamasi pasca tambang (jaminan reklamasi/jamrek). Disamping itu, masih banyaknya tagihan kewajiban keuangan pertambangan, seperti royalti, land rent, dan pajak; yang belum disetorkan perusahan pertambangan ke negara.

Beranjak dari kesemrawutan persoalan pertambangan diatas, kemudian berlakunya UU Pemda sejak tanggal ditetapkan, serta belum adanya peraturan petunjuk teknis (juknis) sebagai regulasi turunan dari UU Pemda -; mendorong DPRD Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menginisiasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang pengelolaan pertambangan di DIY. Dalam pertemuan perdana yang bertajuk FGD Penyusunan Raperda Inisiatif DPRD DIY tentang Pengelolaan Pertambangan, yang diadakan 1 April 2016 kemarin, belum banyak CSO yang konsen di isu pertambangan ikut dilibatkan.

“Agenda dari pertemuan ini (masih) sebatas membangun kesepahaman bersama antar pemangku kepentingan tentang persoalan tata kelola pertambangan di DIY, serta kaitannya dengan – UU Pemda ,” papar Sutata, salah satu pimpinan Komisi C DPRD DIY yang menjadi moderator dalam diskusi ini. Jadi menurut dia, proses Raperda Inisiatif DPRD tentang Pengelolaan Pertambangan ini masih panjang.

Arifudin Idrus, salah satu narasumber diskusi dari Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, memaparkan tentang perlunya peta jalan (roadmap) pertambangan sebagai dasar komitmen pemerintah dalam mengelola sumber daya alam (minerba) secara lebih terarah. “Kegiatan eksplorasi beserta pelaporannya, penyusunan dokumen studi kelayakan, ANDAL, UKL-UPL, dan Reklamasi Pasca Tambang (RPT); harus dipandang secara integral satu dengan lainnya,” jelasnya. Maka dokumen-dokumen tersebut harus dikawal dengan cermat oleh instansi sesuai regulasi yang berlaku, serta keterlibatan publik mutlak diperlukan dalam upaya pengawasan pertambangan di DIY.

Dari beberapa paparan dari Arifudin Idrus, terdapat satu statemen yang menarik yakni mengusahakan posisi tawar adanya golden share (saham kosong) bagi pemerintah daerah. Dengan adanya golden share ini, pendapatan atau revenue daerah dari sektor pertambangan dapat melonjak naik. Sebagai contohnya, Pemkab Banyuwangi yang mendapatkan 10% golden share dari PT BSI (Tumpang Pitu Gold Project). Tawaran inovatif ini tentu sangat menarik bagi pemerintah daerah, namun akan membuka banyak problematika lain di sektor pertambangan, seperti korupsi “mark down”, perubahan mindset pemerintah daerah menjadi sektor swasta, dan mulai terabaikannya aspek ekologi.

Pada sesi selanjutnya, hadir Mustapa Ali Mohammad, Kepala Bagian Dinas ESDM Kabupaten Kulonprogo. Mustapa memaparkan substansi UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Minerba, PP Nomor 22/2010 tentang Wilayah Pertambangan, PP Nomor 23/ 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, PP Nomor 55/2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Minerba, PP Nomor 78/2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang, dan Permen ESDM Nomor 32/2013 tentang Tata Cara Pemberian Ijin Khusus di Bidang Pertambangan Minerba. Selain itu, dipaparkan pula mekanisme perijinan pertambangan di DIY pasca implementasi UU Pemda yang berkaitan dengan WIUP, IUP Eksplorasi, dan IUP Produksi.

Berlakunya UU – Pemda mempunyai beragam dampak bagi sektor pertambangan. Kesemuanya tidak berdampak negatif, ada pula yang positif. Maka sudah semestinya implementasi undang-undang ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah daerah dalam melakukan tata kelola pertambangan minerba yang transparan, akuntabel, dan ramah lingkungan. Dan langkah awal itu dimulai dengan mendorong adanya regulasi tentang pengelolaan pertambangan minerba di daerah. [YP]