Rabu, 12 Maret 2014 | 14:34 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Tambang mendaftarkan gugatan intervensi terhadap Permohonan Uji Materi Undang-Undang Minerba yang dimohonkan Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketua Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHSC), Gunawan, saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (12/3/2014) menjelaskan ada sejumlah alasan oihaknya mengajukan gugatan intervensi tersebut.

Pertama, Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) tegas melarang ekspor mineral mentah dan tegas mewajibkan pembangunan smelter.

“Pertambangan adalah jenis usaha yang padat modal, berteknologi tinggi dan penuh resiko. Maka hanya perusahaan yang kuat yang dapat maju di pertambangan. Oleh karenanya tidak cukup beralasan kalau perusahaan-perusahan menolak pembangunan smelter,” papar Gunawan.

Kedua, lanjut Gunawan, renegosiasi pertambangan seharusnya selesai setahun setelah UU Minerba diundangkan. Sementara itu pembangunan pabrik pemurnian bijih mineral (smelter) dilakukan selambat-lambatnya 5 tahun setelah UU Minerba diundangkan.

Kenyataannya, jangankan menjalankan amanat UU Minerba, perusahaan tambang justru menolak sejumlah poin UU Minerba. Keterlambatan renegosiasi pun dinilai sebagai bentuk ketidaktegasan pemerintah terhadap pengusaha tambang.

“Alasan yang ketiga, pengolahan dan pemurnian hasil penambangan, serta pembangunan pabrik smelter akan menambah penerimaan negara dari sektor tambang,” imbuh Gunawan.

Atas dasar alasan itu, Selasa (11/3/2014) lalu, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Tambang yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti IHSC, IGJ, PWYP, FITRA, dan lainnya mendaftarkan gugatan intervensi ke MK.

Sementara itu dihubungi terpisah Ladjiman Damanik, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) mengakui pasal 102 dan 103 dalam beleid minerba menjadi keresahan bagi para pengusaha tambang.

Kepada Kompas.com, Rabu, dia berkilah, kedua pasal tersebut hanya menyebut kewajiban untuk meningkatkan nilai tambah, dan bukannya pelarangan ekspor. “Di situ berisi kewajiban untuk meningkatkan nilai tambah minerba. Tidak terdapat larangan ekspor bijih seperti pasal 5 ayat 2. Hanya mengendalikan ekspor dan produksi. Bukan melarang,” tegas Ladjiman.

Sumber : kompas.com