Rabu, 26 Maret 2014 | 18:49 WIB

Tim Advokasi Rakyat untuk Kedaulatan Tambang yang terdiri dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat menilai pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) Pasal 102 dan Pasal 103 keliru. Tim yang menjadi pihak terkait dalam pengujian UU dengan perkara nomor 10/PUU-XII/2014 menilai UU tersebut konstitusional.

Kuasa hukum Tim Advokasi Rakyat untuk Kedaulatan Tambang Ridwan Darmawan meminta Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (APEMINDO) sebagai Pemohon mencermati ketentuan yang terdapat dalam pasal yang diujikan secara mendalam. Berdasarkan Pasal 103 ayat 1 UU Minerba, pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengelolaan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, Pemerintah mengamanatkan kepada pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

“Pemerintah melaksanakan amanat yang terkandung dalam konstitusi melalui pemberlakuan undang-undang serta memastikan bahwa UU Minerba untuk dapat dipahami, dilaksanakan, dan dipenuhi oleh segenap unsur melalui peraturan pemerintah, peraturan menteri terkait, serta peraturan pelaksana lainnya,” jelas Ridwan dalam sidang lanjutan yang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (26/3).

Lebih lanjut, Ridwan memaparkan Pasal 102 dan 103 UU tersebut telah memberikan kepastian hukum. Apabila Pemohon mempermasalahkan adanya ketidakpastian hukum dengan mendalilkan pada Peraturan Pemerintah No. 23/2010, Permen ESDM No. 7/2012, Permen ESDM No. 20/2013, PP No. 1/2014, dan Permen ESDM No. 1/2014, hal tersebut bukan merupakan kewenangan MK untuk menguji pertentangan peraturan-peraturan tersebut.

Pasal-pasal tersebut juga dinilai Pihak Terkait sudah sangat jelas dan tegas sehingga tidak perlu ditafsirkan lagi. “Menurut hemat Pihak Terkait, Pasal 102 dan Pasal 103 undang-undang a quo sudah jelas dan tegas mengatur tentang nilai tambah dengan cara pengolahan dan pemurnian hasil tambang dalam negeri,” tegasnya.

Sebelumnya, APEMINDO yang diwakili Refly Harun sebagai kuasa hukum menilai pemerintah tidak konsisten dalam mengimplementasikan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba. Kedua pasal diartikan oleh pemerintah sebagai larangan ekspor biji (raw material) secara langsung yang diberlakukan sejak 12 Januari 2014. Namun, tafsir pemerintah itu dinilai pemohon bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945. Selain itu, tidak konsistennya Pemerintah dalam menerbitkan peraturan di bawah UU juga menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Inti dari peraturan pemerintah itu sesungguhnya tidak melarang ekspor, tapi muncul peraturan pemerintah terbaru No. 1 Tahun 2014 pada poin 59, misalnya di situ dikatakan bahwa pemegang IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang melakukan kegiatan penambahan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan dapat melakukan penjualan dalam jumlah tertentu. Jadi, satu dapat melakukan ekspor, ini cuma jumlah tertentu, kemudian jumlah tertentu itu dielaborasi lagi di dalam peraturan Menteri ESDM yang mengakibatkan ada yang boleh menjual, ada yang tidak,” ujarnya.

Dengan kata lain, PP No 23 Tahun 2010 tidak melarang ekspor biji mentah, sementara peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 total melarang tiga bulan sejak permen itu diterbitkan. Kemudian perubahannya mengatakan ada boleh mengekspor asal kemudian memenuhi syarat-syarat tertentu. Perubahan berikutnya, yaitu Permen No. 1 Tahun 2014 tidak boleh mengekspor setelah waktu 5 tahun, tetapi setelah diprotes boleh mengekspor dengan syarat-syarat tertentu.

Selain itu, kendati pemohon mempersoalkan peraturan di bawah UU, Refly menegaskan persoalan yang terkait peraturan di bawah UU bisa jadi persoalan konstitusional apabila penerapannya berulang-ulang dan exhausted. “Kami memandang hal ini bukan lagi masalah peraturan di bawah undang-undang, tetapi masalah konstitusional, yaitu menimbulkan ketidakpastian hukum menyangkut tafsir Pasal 102 dan Pasal 103 yang kami persoalkan,” tegasnya. (Lulu Hanifah/mh)

Sumber : www.mahkamahkonstitusi.go.id