Hari ini, 28 September 2025, kembali kita memperingati International Right to Know Day atau Hari Hak atas Informasi Sedunia. Tanggal ini diperingati secara global sebagai pengingat bahwa akses informasi merupakan hak fundamental setiap orang, sekaligus fondasi bagi transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas, termasuk di dalamnya sektor sektor energi dan sumber daya alam (SDA). Di tengah transisi energi global dan tuntutan keberlanjutan, keterbukaan informasi bukan sekedar slogan, melainkan pondasi untuk mencegah korupsi, melindungi manusia dan lingkungan, serta memastikan keadilan dan manfaat energi dan SDA benar-benar kembali ke rakyat.

Momentum ini bukan hanya perayaan, melainkan panggilan untuk meng-klaim kembali hak rakyat atas informasi publik yang selama ini dirampas. Secara kolektif, kita harus mendesak pemerintah dan perusahaan untuk menghentikan praktik ketertutupan, dan mengajak seluruh masyarakat untuk aktif mengklaim hak ini—karena informasi adalah kekuasaan yang harus dikembalikan ke tangan rakyat.

Perjalanan 17 Tahun UU Keterbukaan Informasi Publik: Rebut Kembali Hak Rakyat Atas Informasi Publik

17 tahun pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sejak diundangkan pada 30 April 2008. UU yang lahir dari semangat reformasi pasca-1998, dengan adanya jaminan hak setiap orang atas informasi publik, kewajiban badan publik untuk menyediakan informasi secara proaktif, dan mekanisme penyelesaian sengketa melalui Komisi Informasi—telah menjadi landasan penting. Namun, implementasinya selama 17 tahun ini penuh liku, di mana hak rakyat masih diabaikan.

Kajian Komisi Informasi Pusat (2024) menunjukkan bahwa implementasi UU KIP belum optimal, dengan banyak badan publik yang lambat dalam respon permintaan informasi, serta kurangnya sanksi tegas bagi pelanggar. Kajian Indonesian Parliamentary Center (IPC) dengan mengumpulkan 2.380 putusan Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Provinsi selama 2010-2016, menemukan bahwa mayoritas sengketa informasi pada sektor lingkungan hidup disebabkan karena badan publik tidak menanggapi permohonan informasi.

Publik tentu terus mengingat bagaimana Keputusan Mahkamah Agung No 121K/TUN/ 2017 terkait sengketa informasi antara Forest Watch Indonesia (FWI) dan Kementerian ATR/BPN, dimana MA telah memutus, data Hak Guna Usaha (HGU) sebagai informasi publik yang bersifat terbuka. Namun sayang, sampai sekarang Kementerian ATR/BPN belum melaksanakan putusan itu. Terbaru, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengajukan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas Putusan Komisi Informasi Pusat yang memenangkan aktivis Kutai Timur, Erwin Febrian Syuhada, dalam sengketa informasi publik terkait dokumen AMDAL PT. Kaltim Prima Coal, melawan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ternyata belum berakhir. Gugatan keberatan itu terdaftar dengan nomor perkara 282/G/KI/2025/PTUN-JKT pada 29 Agustus 2025. Yang perlu dicatat, perlu waktu sekitar 3 tahun bagi Erwin untuk dapat bersengketa di Komisi Informasi Pusat terkait AMDAL. Ini jika dihitung berdasarkan permintaan informasi yang dijaukan Erwin pada 1 Desember 2022 silam.

Ini menunjukkan perjalanan pelaksanaan UU KIP sering terhambat oleh birokrasi yang rumit dan resistensi dari pihak-pihak yang diuntungkan oleh ketertutupan, terutama di sektor ekstraktif.

Transparansi dan Akuntabilitas Sektor Energi dan SDA: Tantangan dan Masalah yang Mengakar

Sektor energi dan SDA Indonesia, yang menyumbang sekitar 20% dari PDB nasional, seharusnya menjadi model transparansi. Namun, realitasnya justru menunjukkan “transparansi semu” dimana informasi ada tapi sulit diakses, atau hanya sebatas laporan formal tanpa substansi. Tantangan utama meliputi uji konsekuensi yang berbelit-belit untuk menentukan apakah informasi boleh dibuka, yang sering menjadi alasan untuk menutup data sensitif seperti kontrak pertambangan atau dampak lingkungan.

Di sektor energi, ketergantungan pada bahan bakar fosil (85% dari total energi) memperburuk masalah, dengan regulasi yang rentan terhadap “regulatory capture” di mana regulator justru dipengaruhi oleh kepentingan bisnis besar.

Beberapa kasus nyata mengilustrasikan masalah ini. Pertama, skandal korupsi di sektor timah Bangka Belitung, dimana PT Timah Tbk terlibat dalam penambangan ilegal yang merugikan negara triliunan rupiah. Korupsi ini berkembang karena kurangnya transparansi kepemilikan beneficial ownership, yang memungkinkan pejabat publik menyembunyikan keterlibatan mereka. Kedua, kasus overlapping licenses di sektor pertambangan, di mana ribuan izin tumpang tindih menyebabkan konflik lahan dan hilangnya pajak dan PNBP, akibat sistem registrasi perusahaan yang lemah dan kurangnya akses publik ke data perizinan. Ketiga, di sektor minyak dan gas, masyarakat sekitar tambang sering kesulitan mengakses informasi tentang izin lingkungan dan aktivitas pertambangan, yang berujung pada degradasi lingkungan dan konflik sosial. Kasus-kasus ini bukan isu sporadis, melainkan sistemik, di mana hak masyarakat atas informasi—seperti yang diamanatkan UU KIP—sering diabaikan demi kepentingan korporasi.

EITI dan Potret Keterbukaan Sektor Ekstraktif

Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) dimana Indonesia sebagai salah satu negara pelaksanaanya sejak 2010, seharusnya menjadi instrumen utama untuk transparansi di sektor ekstraktif. Namun, perjalanannya menunjukkan kemunduran. Validasi EITI terbaru pada November 2024 memberikan skor 67 poin, dikategorikan sebagai “fairly low”, yang mencerminkan kegagalan dalam transparansi, keterlibatan pemangku kepentingan, dan dampak nyata.

Sementara itu, kepatuhan perusahaan pelapor semakin rendah, seperti terlihat dari data EITI Indonesia tahun 2023. Di subsektor migas (minyak dan gas), jumlah perusahaan yang melapor ke ETI Indonesia hanya 52 dari 79 perusahaan. Di sub sektor minerba (mineral dan batubara), lebih parah, perusahaan batubara yang melapor hanya 11% atau 24 dari 212 perusahaan dan perusahaan mineral sangat rendah, yaitu 0,02% atau hanya 4 dari 212 perusahaan. Data ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan ekstraktif enggan mematuhi standar EITI, yang berdampak pada hilangnya akuntabilitas pendapatan negara.

Sekali lagi, di International Right to Know Day mari kita tuntut transparansi nyata di sektor energi dan SDA. Hanya dengan keterbukaan sejati, sektor energi dan SDA Indonesia bisa benar-benar lestari dan berkeadilan bagi rakyat.

Oleh: Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP)
Indonesia

Refleksi Hari atas Informasi Sedunia 2025: Mengklaim Kembali Hak Rakyat atas Informasi Publik di Sektor Energi dan Sumber Daya Alam

Unduh PDF

Privacy Preference Center

Skip to content