Irman I. Pangeran 25 June 2014 – 19:31 pm

MASYARAKAT Transparansi Aceh (MaTA) menilai pengelolaan dana bersumber dari sektor seumberdaya ekstraktif di Aceh Utara belum mengarah kepada upaya-upaya pengentasan kemiskinan.

“Meski pun mendapat DBH SDA Migas (dana bagi hasil sumber daya alam minyak dan gas) dengan jumlah yang lebih besar dari kabupaten kota lainnya, namun tingkat kemiskinan di Aceh Utara termasuk yang tinggi dibanding angka rata-rata nasional,” ujar Hafidh Polem dari MaTA.

Hafidh mengungkapkan hal itu kepada ATJEHPOSTcom di sela-sela Seminar dan Lokakarya Transparansi Penggunaan Penerimaan dari Sektor Ekstraktif, di Lido Graha Hotel, Lhokseumawe, Rabu, 25 Juni 2014.

Menurut Hafidh, Aceh Utara menerima DBH Migas terbanyak di Provinsi Aceh karena sebagai penghasil dari Wialayah Kerja (WK) Migas yang dioperatori ExxonMobil.

“DBH SDA Migas yang diperoleh Aceh Utara tahun 2012 sebesar 96,7 miliar (sesuai Peraturan Menteri Keuangan No 8/PMK.07/2012), sedangkan kabupaten kota lainnya berkisar pada angka 5 miliar (tahun 2012) dan 8,2 miliar (tahun 2013), kecuali Aceh Tamiang,” katanya.

Di sisi lain, hasil monitoring peradilan di tahun 2012 yang dilakukan MaTA, menempatkan Aceh Utara sebagai kabupaten dengan tingkat kebocoran keuangan daerah tertinggi dibandingkan kabupaten kota lain di Aceh. Total kerugian negara ditaksir senilai Rp220,5 miliar.

“Kondisi tersebut merupakan tantangan lain yang harus dihadapi Pemerintah Aceh Utara dalam memanfaatkan penerimaan sektor ekstraktif secara transparan dan akuntabel, untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Semiloka kerja sama MaTA dan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia tersebut dibuka Wakil Bupati Aceh Utara Muhammad Jamil. Peserta kegiatan ini antara lain para kepala Satuan Kerja Perangkat Kabupaten (SKPK) Aceh Utara, Tim Koordinasi Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Daerah, kalangan LSM, dan wartawan.

Dalam semiloka dengan tema “Pemanfaatan pendapatan yang bersumber dari industri ekstraktif untuk penanggulangan kemiskinan; urgensi dan realitasnya di Aceh Utara”, MaTA menghadirkan narasumber, yaitu Ir. Zulkifli Yusuf, MTP (Kepala Bappeda Aceh Utara), Hamdan (Komisi Informasi Aceh), dan Dr. Islahuddin, M.Ec (Akademisi FE Unsyiah).

Menurut Hafidh, kegiatan tersebut untuk menyatukan persepsi para stakeholder dalam upaya percepatan pengentasan kemiskinan; adanya kesepahaman bersama dalam mendorong penggunaan pendapatan yang bersumber dari kegiatan ekstraktif untuk percepatan pengentasan kemiskinan; dan lahirnya kesepahaman untuk mendorong keterbukaan informasi publik di Aceh Utara.

Semiloka itu akhirnya melahirkan delapan poin rekomendasi untuk Pemerintah Aceh Utara.

Berikut rekomendasi tersebut:

  1. Pemerintah Aceh Utara menyusun masterplan pengelolaan penerimaan daerah bagi pengentasan kemiskinan
  2. Lahirnya qanun yang mengatur pengelolaan penerimaan dan penggunaan APBK bagi program pengentasan kemiskinan
  3. Segera bentuk tim pengendali inflasi daerah (TPID) untuk menekan ketidakmampuan daya beli masyarakat
  4. Perlu peningkatan kapasitas masyarakat dalam mendorong transparansi sektor ekstraktif
  5. Program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan ke depan lebih fokus pada pembangunan sektor pertanian dan perikanan
  6. Meningkatkan upaya Pemerintah Aceh Utara untuk pemanfaatan pengelolaan dana CSR perusahaan-perusahaan di Aceh Utara
  7. Penguatan kelembagaan TKPK khususnya soal penyediaan data
  8. Mendorong keterlibatan swasta melalui penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

Sumber : atjehpost.com