RABU, 04 DESEMBER 2013

“Konsep, peran dan bentuk kelembagaan harus sesuai dengan mandat konstitusi.”

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya No. 36/PUU-X/2012 menyatakan, minyak dan gas termasuk cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Pasalnya, migas sebagai kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia. Tentunya, kekayaan alam tersebut harus dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana dimaksud di Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

“Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga sektor hulu migas ini memiliki mandat yang penting,” tandas Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia (PWYP), sebuah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi dan Akuntabilitas Tata Kelola Sumberdaya Ekstraktif di Jakarta, Rabu (4/12).

Lebih lanjut perempuan yang akrab disapa Marry itu mengatakan mandat sektor hulu migas harus terjelma dalam lima fungsi. Ia merinci, fungsi itu adalah mandat untuk mengadakan kebijakan (beleid)dan tindakan kepengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad).

Oleh karena itu, menurut Marry, kelembagaan merupakan persoalan yang sangat penting dalam pengelolaan migas. “Konsep, peran dan bentuk kelembagaan di sektor hulu migas ini agar sesuai dengan mandat konstitusi. Selain itu juga supaya dapat bekerja secara efektif, efisien dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak bagi hasil secara transparan danakuntabel,” tegasnya.

Sebagaimana diketahui, tata kelembagaan sektor hulu migas di Indonesia telah  mengalami beberapa kali pergantian. Sektor hulu migas pernah digawangi Pertamina, kemudian digantikan oleh BPMigas melalui UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas.

Terakhir, melalui putusan atas permintaan uji materi UU Migas terhadap UUD 1945, MK menyatakan bahwa BPMigas inkonstitusionalsehingga memerintahkan penggantiannya. Kini, SKK Migasdi bawah koordinasi Kementerian ESDM melalui Perpres No. 9 Tahun 2013 menjalankan fungsi itu hingga terbentuk peraturan baru sesuai putusan MK.

Spesialis Utama Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis SKK Migas,Sampe L. Purba, menyebutkan model kelembagaan untuk sektor hulu migas dapat dipilih dari tiga model. Pertama, pemerintah secara langsung menjadi pihak dalam kontrak. Model kedua, pemerintah menugasi salah satu BUMN nasional. Sementara itu, model ketiga adalah UU Migas membentuk dan menugaskan satu lembaga yang diberi otoritas untuk melakukan kuasa pertambangan.

“Tentunya masing-masing model memiliki kelebihan dan kelemahan. Model kelembagaan pengelolaan dalam pengusahaan sumber daya alam bervariasi di tiap negara. Perlu diingat pula, tidak ada satu model yang cocok untuk semua keadaan,” kata Sampe.

Sampe menyebutkan, model pertama menunjukkan secara nyata dan langsung keterlibatan negara dalam pengelolaan migas. Namun, hal ini membawa konsekuensi akan ada degradasi peran negara sebagai pemegang kedaulatan publik. Selain itu, negara juga akan berkedudukan setara dengan investor dalam hubungan keperdataan.

Negara juga akan terekspos dalam risiko kontraktual, termasuk harta dan kekayaannya. Kekuarangan model ini, menurut Sampe adalah kurangnya fleksibilitas dalam merespon transaksi komersial.

Model kedua yang dikatakannya, menurut Sampe akan mengoptimalkan peluang ekonomis dalam pengelolaan sumber daya migas di Indonesia. Namun demikian, model ini membawa dampak beban bagi BUMN untuk melaksanakan tugas dan fungsi non-komersial.

Akibatnya, daya saing BUMN terhadap perusahaan sejenisnya di tingkat global akan berkurang. “Kalau dilaksanakan oleh BUMN, bisa saja ada pertentangan kepentingan antara sebagai pelaku bisnis dengan pengatur. Di sisi lain, kalau mau membentuk BUMN baru juga memerlukan sumber daya yang besar untuk meopangnya mulai dari jaringan, aset, finansial, sampai karyawan,” tambah Sampe.

Sampe juga menjelaskan, model ketiga sebenarnya diadopsi dari Otoritas Jasa Keuangan yang diatur UU No. 21 Tahun 2011. Ia juga mengatakan, sebelumnya telah ada lembaga serupa yang diatur UU No. 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor.

Menurutnya, model ketiga mengamanatkan agar UU Migas nantinya mengatur ketentuan bahwa penguasaan migas oleh negara. Kemudian, penguasaan itu dipegang oleh pemerintah dalam wujud kuasa pertambangan. Selanjutnya, hak pengelolaan dan pengusahaan ada pada otoritas migas nasional.

“Jadi bisa saja otoritas migas nasional mengadopsi otoritas jasa keuangan,” pungkasnya.

Sumber : hukumonline