BANDA ACEH – Koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstraktif migas, pertambangan dan sumber daya alam Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengaku sektor pertambangan (ekstraktif) merupakan salah satu leading sektor yang paling banyak bermasalah di seluruh provinsi Indonesia terutama terkait pengeluaran izin usaha pertambangan.

” Selama ini yang mengeluarkan izin usaha tambah itu adalah kepala daerah. Seringkali perusahaan tidak bisa mempertanggungjawabkan pembayaran NPWP, sewa lahan maupun biaya reklamasi paska tambang. Dari total 11.000 izin yang diterbitkan pemerintah, hanya 5000 izin yang mematuhi uturan yang berlaku,” ujar Arianto pegiat PYWP Indonesia usai menggelar diskusi bekerja sama dengan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, tentang Tata Ruang dan Mekanisme Perizinan yang Transparan Bagi Industri Ekstraktif Berbasis Hutan dan Lahan di Provinsi Aceh, Selasa (22/07/14) di Hermes Palace Hotel Banda Aceh.

Di Aceh, jelas Arianto penertiban Izin juga semakin meningkat setiap tahunnya apalagi lanjutnya, pemerintah Aceh juga memiliki kekhususan, seperti ada Qanun Pertambangan termasuk Undang ” Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

” Jadi izin itu diterbitkan bukan sekedar akan mendorong penerimaan daerah dari sektor pertambangan, namun pemerintah juga harus mengevaluasi dan menganalisa, terutama dampak yang ditimbulkan dari usaha pertambangan tersebut,” jelas Arianto

Semantara itu, Kepala Divisi Advokasi dan Korupsi Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Hayatuddin tanjung menilai proses penerbitan izin untuk perusahaan pertambangan masih ada yang belum memenuhi mekanisme sesuai peraturan perundang ” undangan yang berlaku. Hal ini berdasarkan hasil kajian GeRAK Aceh di beberapa wilayah di provinsi Aceh, khusus pada sektor ektraktif tersebut penerbitan izin untuk usaha pertambangan pemerintah daerah belum sepenuhnya melibatkan para pemangku kepentingan di usaha pertambangan.

“Proses penerbitan izin itu tidak melalui mekanisme teknis dengan melibatkan semua stakholder, dalam hal ini Dinas Kehutanan, dinas perkebunan dan Dinas Pertambangan dalam pembagian tugas. Kami melihat para dinas ini tidak melakukan duduk bersama terkait izin yang dikeluarkan sehingga kami menilai ini rawan terjadinya kecurangan dan pelanggaran administrasi,”kata Hayatuddin Tanjung

Terkait proses pengeluaran izin untuk sektor pertambangan di Aceh, jelas Hayatuddin pihaknya mendorong pemerintah dalam mengeluarkan izin usaha pertambangan harus melibatkan semua leading sektor, terutama komponen masyarakat yang berada di wilayah pertambangan.

“Peran pemerintah harus lebih efesien dalam melakukan sosialisasi di masyarakat, terutama soal izin usaha, pendapatan tambang, biaya reklamasi paska tambang, maupun dan sosial yang diberikan perusahaan,” tambah Hayatuddin.

Jika pemerintah tidak gencar melakukan sosialisasi dan publikasi kepada masyarakat terkait usaha pertambangan, tambah Hayatuddin, masyarakat akan menilai usaha pertambangan tidak baik dan dianggap merugikan masyarakat sehingga ini akan berdampak pada buruknya pengelolaan sektor pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah.

Sementara itu Kepala Bidang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi Aceh Mahdinur mengatakan jika ditemukan perusahaan yang melanggar aturan yang berlaku, pemerintah akan memberikan sanksi administratif, termasuk memberhentikan secara permanen perusahaan ” perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh.

” Peringatannya memang melalui beberapa tahapan, mulai dari teguran sampai dengan pemberhentian permanen,” jelas Mahdinur

Menurut pengakuan Mahdinur, ada beberapa perusahaan di Aceh memang tidak memenuhi kewajibannya, seperti membayar uang jaminan reklamasi dan ada juga perusahaan yang tidak membayar uang sewa lahan.

” Izin usaha pertambagan itu diterbitkan oleh kepala daerah, Distamben provinsi hanya melakukan pembinaan dan pengawasan, jika ada ditemukan pelanggaran, kami hanya bisa mengingatkan kabupaten, karena yang mengeluarkan izin adalah kabupaten,” imbuhnya. (Saradi Wantona)

Sumber : Aceh Online